Serdadu D Dalam Tubuh
Namanya sering kali disebut belakangan ini. Keberadaannya kembali meroket dengan banyaknya informasi yang tersedia di media sosial dan laman internet. “Mengapa baru sekarang pada gembar-gembor tentang vitamin D?” ujar saya dalam hati. Sewaktu kecil, saya selalu diingatkan oleh ayah untuk berjemur meski sebentar saja. Perlahan kebiasaan itu tumbuh di diri saya, setiap berlibur hal yang saya lakukan hanyalah berenang dan berjemur dari pagi hingga petang. Setelah membaca informasi yang sama berulang kali di internet, akhirnya tergoda untuk berkenalan lagi dengan vitamin yang tengah menjadi primadona saat ini bersama dr. Widya Murni, seorang dokter umum yang praktik dalam bidang ilmu integrative and functional medicine, khususnya di bidang anti-aging berbasis hormon, dan dr. Zie selaku general practitioner yang fokus pada estetika.
PERAN VITAMIN D
Banyak sekali kegunaan vitamin yang sebenarnya juga hormon ini, lebih dari hanya untuk tulang dan sistem imun. “Reseptor vitamin D itu tersebar di seluruh organ tubuh,” tutur dr. Widya. “Kalau strok ternyata kita kekurangan vitamin D. Sama dengan penyakit jantung, itu kurang vitamin D. Ketidakseimbangan hormon pada gonad seperti infertility, gangguan siklus menstruasi juga karena kekurangan vitamin D. Begitu juga dengan tumor di payudara, gangguan tiroid, usus, ginjal, hingga prostat. Hampir segala gangguan disebabkan karena rendahnya vitamin D,” jelasnya lagi. Vitamin D juga memiliki sifat anti mutasi gen. “Apabila Anda mengonsumsi dalam jumlah yang cukup, tubuh akan terjaga dari mutasi genetik. Mutasi itu yang menyebabkan kanker,” imbuh dr. Widya. Sampai di sini, pahamkah Anda bahwa defisiensi vitamin D akan menimbulkan 1001 penyakit atau penyakit komorbid? Terlebih di saat seperti sekarang ini.
KADAR VITAMIN D DALAM DIRI
Ternyata hidup di negara beriklim tropis bukan jaminan bahwa Anda akan senantiasa memiliki kadar vitamin D yang cukup dalam tubuh. Itu yang saya pelajari dari jawaban dr. Widya dan dr. Zie ketika bertanya mengapa penduduk Indonesia masih kekurangan vitamin D. Dokter Zie masih melihat luasnya khalayak yang takut hitam, enggan berpanas-panasan, dan tidak mau flek. Meski demikian, dr. Zie pun paham dengan kenyataan bahwa sebagian besar aktivitas itu selalu dilakukan di ruangan tertutup atau indoor. Perbedaan budaya juga disebut oleh dr. Widya, seperti berjemur yang tidak lazim di sini. Saking jarangnya dilakukan dan bukan merupakan kebiasaan, masih banyak penduduk Indonesia yang tidak mengetahui cara yang baik dan benar untuk memanfaatkan vitamin D gratis di negara ini. Padahal sepaham saya, waktu yang dibutuhkan untuk berada di bawah sinar matahari itu tidak perlu lama-lama. “Memangnya Anda berani menerima tantangan untuk berjemur selama 30 menit tanpa busana?” tanya dr. Widya.
Dokter Widya dan dokter Zie menyebut bahwa kadar normal vitamin D adalah 30-100 ng/ml, fakta tersebut juga tertulis dalam panduan internasional, dan bukan Indonesia. Tidak ada yang lebih akurat dari hasil laboratorium jika Anda ingin tahu kadar vitamin D yang terkandung dalam darah Anda. Namun mengapa jika hasil Anda mengeluarkan angka 100 itu disebut beracun? “Jadi sebenarnya angka toxic ini adalah 300, bukan 100,” jelas dr. Widya.
Ada yang mutlak untuk Anda ketahui sebelum memutuskan dosis vitamin D setiap harinya, yaitu seberapa sensitif kadar reseptor vitamin D atau VDR yang Anda miliki. Untuk mengetahui ini Anda dapat melakukan satu-satunya cara yang dianjurkan oleh dr. Widya dan dr. Zie, yaitu dengan pengecekan di laboratorium. Berdasarkan hasil laboratorium tadi, Anda juga akan diberikan anjuran dosis vitamin D setiap harinya. Menurut dr. Widya, satu bulan adalah jarak yang cukup untuk Anda melakukan tes darah lagi untuk mengetahui apakah VDR Anda cukup atau kurang sensitif. “Hampir pasti jika setiap orang yang belum pernah periksa vitamin D melakukan pengecekan, mereka pasti kekurangan vitamin D,” tambah dr. Widya. Sebenarnya ini masih sering dilupakan oleh banyak orang, kenyataan bahwa setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, termasuk asupan vitamin D.
BERSAMA DUA DOKTER AHLI, DR. WIDYA MURNI DAN DR. ZIE, SABRINA SULAIMAN MEMAHAMI PERANAN HORMON YANG SELAMA INI TERLUPAKAN, VITAMIN D.
PENGONSUMSIAN VITAMIN D
Seperti vitamin A, E, dan K, vitamin D juga larut dalam lemak. Maka dianjurkan dalam pengonsumsian berbarengan dengan lemak baik. Di sini, lemak baik bekerja seperti “kendaraan” agar vitamin D bisa terserap dengan optimal. Lemak baik dapat Anda dapatkan dari Virgin Coconut Oil (VCO), Virgin
Olive Oil (VOO), dark chocolate, alpukat, kelapa, yoghurt, dan kacang-kacangan. Sama halnya dengan mengonsumsi bakteri baik atau probiotik. “Rendahnya kadar vitamin D juga saling berhubungan erat dengan rendahnya kadar mikrobium. Jika seseorang memelihara bakteri baik dalam ususnya sebanyak mungkin, itu menentukan seberapa besar kualitas sistem imun yang dimiliki. Semakin rendah kadar vitamin D, semakin jatuh juga kadar human microbiome yang bisa dimiliki seseorang,” tambah dr. Widya.
“DOSIS 1.000 INI BAGAIKAN UMR.
KITA SUSAH BERTAHAN, MATI.”
— DR. WIDYA MURNI
DEFISIENSI VITAMIN D
Kurangnya kadar vitamin D dalam tubuh seseorang harus dinilai dari berbagai hal. Seperti kondisi fisik, kalau Anda gemuk atau overweight, pasti Anda kurang vitamin D. Kebiasaan merokok juga mengurangi kadar vitamin D. Begitu juga dengan konsumsi obat. “Obat kolesterol itu menurunkan vitamin D,” kata dr. Widya. Seringnya obat penurun kolesterol ini digunakan dalam jangka waktu yang begitu panjang dengan risiko penyakit jantung. “Dokter yang meresepkan obat ini sudah mengunci bahwa pasien ini harus menggunakan obat kolesterol yang juga menjadi penyumbang kematian. Seharusnya, terlebih di masa pandemi ini, kita harus menimbang syarat apa obat statin ini mutlak dikonsumsi. Karena kalau untuk life survival, harusnya tidak digunakan.” Sebagai seorang dokter, dr. Widya juga memberikan pengetahuan bahwa cara ideal menurunkan kolesterol adalah dengan mengatur pola makan. “Namun ilmu obat adalah ilmu obat, mereka tidak mempelajari pola makan. Kolesterol ini adalah bahan pembuat hormon, dan vitamin D adalah hormon. Saat Anda menggunakan statin, bukan hanya vitamin D yang rendah, tapi hormon-hormon yang lainnya. Di situlah muncul risiko kepikunan,” tegasnya. Sebisa mungkin hindarilah gorengan yang masuk di bawah payung proinflammatory food, atau kasarnya makanan mematikan. “Bukan tidak mungkin bahwa pasien yang sedang terkena Covid-19 adalah penyuka makanan yang menyebabkan inflamasi. Hindari junk food, gorengan, dan semua yang manis apa pun bentuknya. Jika ingin hidup (lebih lama), hindari makanan pro-inflamasi.”
Ada juga cara lain untuk “melihat” sistem imun tubuh, seperti dengan reka ulang berapa kali dalam satu tahun Anda menderita batuk pilek? Jika jawabannya ada pada angka tiga hingga lima kali, maka tandanya sistem imun Anda rendah. Itu merupakan salah satu tanda kekurangan vitamin D. Menurut dr. Zie, tidak ada satu penanda khusus yang secara otomatis mengategorikan
Anda kekurangan vitamin D. Kondisi tubuh seperti linu otot, badan mudah pegal, sering sakit kepala, masuk angin, dan berbagai macam penyakit lainnya juga bisa menjadi penanda kekurangan vitamin D, tapi begitu juga dengan hal lainnya. Ada cara jitu untuk memastikan hal ini adalah dengan pengecekan ke laboratorium.
DOSIS TINGGI, PANDEMI, DAN VITAMIN D
Sejak pandemi, saya selalu mempunyai pikiran bahwa sedikitnya kesempatan para pasien komorbid untuk sembuh jika terkonfirmasi positif virus Covid-19. Pengertian “wajar” pada pasien komorbid yang meninggal karena coronavirus inilah yang ingin dimusnahkan oleh dr. Widya, “Kita cari cara apa yang bisa ikut mengurangi risiko kematian dari seorang komorbid. Ternyata semua penderita komorbid tadi mengalami kekurangan vitamin D. Itulah titik temunya.”
Menurut dr. Widya, khusus selama pandemi ini setiap orang harus memiliki kadar vitamin D kurang lebih sebanyak 100, dan ini sudah tidak bisa ditawar lagi. “Pandemi Covid-19 dengan varian delta ini mampu menurunkan vitamin D sekitar 70. Makanya banyak sekali yang meninggal, dan menyisakan kadar vitamin D hanya 30,” jelasnya. Seperti yang sebelumnya sudah dituturkan oleh dr. Widya, bahwa angka toxic itu bukan 100, melainkan 300. Menggunakan vitamin D dengan dosis tinggi ini ia pelajari dari seorang mahaguru vitamin D asal India, dr. Renu Mahtani, yang merupakan murid dari dr. Cicero Coimbra asal Brazil. Keduanya adalah dokter yang mengobati pasien penyakit autoimun dengan dosis vitamin D yang amat sangat tinggi. “Nah, dosis vitamin D tinggi ini sering kali ditakuti oleh banyak kalangan kedokteran di mana pun di dunia,” jelasnya lagi.
Untuk menaikkan kadar vitamin D dalam darah, Anda tidak bisa bisa hanya menggunakan dosis 1.000 IU (International Unit). “Dosis 1.000 ini bagaikan UMR. Kita susah bertahan, mati. Kalau Anda melamar kerja pasti bertanya, kan? Gaji sesuai UMR atau tidak?” jelas dr. Widya melalui analogi yang dekat dengan kehidupan di zaman ini. “Dosis pencegahan untuk bisa bertahan hidup dan melewati pandemi adalah 10.000 IU. Sekali lagi, itu pencegahan, bukan pengobatan. Namun di Indonesia sendiri, dosis 5.000 IU dua kali sehari masih digunakan
untuk pengobatan,” jelasnya. Menurut sang dokter, menaikkan dosis menjadi 50.000 IU per hari untuk pengobatan Covid-19 itu akan memberikan efek baik dalam mengurangi angka kematian dan juga meningkatkan penyembuhan. “Kalau saya, saya berani memberikan dosis 50.000 IU per hari hingga hasil swab negatif, dan mudahmudahan dalam dua minggu hasil PCR akan negatif. Kalau dengan dosis (vitamin D) konvesional, bisa-bisa sampai pulang ke rumah dari perawatan Covid-19 di RS, hasil PCR belum kunjung negatif. Sehingga harus berlama-lama di rumah sakit, mengeluarkan biaya. Atau lanjut isolasi mandiri di rumah tanpa bisa beraktivitas. Kita juga harus segera memulihkan ekonomi, kalau orang sakit disuruh istirahat satu hingga dua bulan di rumah, alangkah tidak efektif.”
Dokter Widya juga menerapkan penggunaan dosis sejumlah 600.000 IU yang berupa suntikan booster. “Dulu memang pemakaian ini hanya untuk kanker semata. Mengapa demikian? Karena saking rendahnya vitamin D, mereka terkena kanker.” Dalam percakapan yang terjadi lewat sambungan internet, dr. Widya menjelaskan ke saya bahwa saat pandemi ini, kita diberi waktu dua minggu untuk bertahan atau mati. “Bahkan dalam lima hari, ada yang mencapai badai sitokin, kalah, lalu meninggal dunia. Kalau sistem imun kita menang, kita sembuh. Kalau sistem imun kita kalah, kita masuk ICU, memakai ventilator, gagal napas, gagal multi organ, dan meninggal.” Dokter Widya juga mengakui bahwa mungkin tidak semua orang membutuhkan injeksi booster 600.000 IU, apalagi melihat kondisi negara kita yang sangat besar, ada pertimbangan mengenai kenaikan dosis, dan sangat perlu melihat keparahan penyakit dari satu individu ke individu secara menyeluruh. Teknik tersebut lantas dr. Widya terapkan kepada pasien dan juga dirinya sendiri, sejauh ini semua dalam keadaan sehat. Dokter Widya pun berujar sudah waktunya mengganti dosis “cukup” untuk bertahan hidup di hari-hari pandemi. Perlu dicatat bahwa suntikan booster ini hanya dilakukan sebanyak satu kali saja, lalu dipertahankan dengan oral dose.
EFEK SAMPING VITAMIN D
Jangankan Anda, saya saja cukup kaget ketika mendengar injeksi booster dengan dosis besar. Namun semuanya ia jelaskan secara rinci hingga akhirnya saya mengerti. Sering kali orang mengaitkan vitamin D yang berlebihan ke organ ginjal, “Saya katakan, orang yang ginjalnya rusak belum pernah terbukti karena pemakaian vitamin D. Ginjal mereka rusak karena mengonsumsi obatobatan dalam jangka waktu yang lama, sehingga menyebabkan gagal ginjal dan harus cuci carah,” jelas dr. Widya.
Dalam teori yang ditakutkan dari vitamin D dosis tinggi adalah pengapuran pembuluh darah, lalu ada juga hypercalcemia atau penyerapan kalsium yang meningkat. “Secara umum, banyak dari kita yang mengenal suplementasi kalsium itu untuk memadatkan tulang, namun ternyata orang mengonsumsi kalsium dosis tinggi itu bukan tulangnya yang memadat, melainkan pembuluh darahnya yang tersumbat dengan kalsium. Nah, takutnya orang ini adalah meningkatkan hypercalcemia tadi. Untuk mengurangi risiko pemadatan, makanya diberikanlah kombinasi K2 supaya penyerapannya lebih baik.” Dokter Widya sendiri berpendapat bahwa vitamin K2 ini tidak wajib dikonsumsi oleh semua orang karena sifatnya hanya untuk menyeimbangkan. Bahkan menurutnya, hypercalcemia adalah efek yang diinginkan. Mengapa? “Karena banyak sekali orang yang minum vitamin D itu saat tulangnya sudah mulai rapuh, sudah osteopeni yang merupakan penurunan pemadat tulang. Lantas bukankah saat meminum vitamin D dalam dosis tinggi tadi akan mempercepat proses hypercalcemia? Bukankah ini efek samping yang diinginkan untuk memperbaiki kesehatan tulang yang sudah mulai rapuh? Namun begitu banyak orang yang takut,” pungkasnya. Semua praktik ini juga ia lakukan terhadap dirinya sendiri.
Sampai di sini tentu Anda sudah memahami bahwa kekurangan vitamin D dapat menimbulkan 1.001 penyakit. Namun di sisi lain, apabila Anda mencukupi ataupun lebih, vitamin ini akan mendatangkan 1.001 keajaiban dalam tubuh Anda. Tidak ada kata terlambat dalam menaikkan kadar vitamin D dalam tubuh Anda. Ini juga berlaku untuk Anda yang sudah atau belum vaksin. Yang harus dilakukan adalah pengecekan vitamin D dan antibodi. Andai kata antibodi tidak ada, maka tambahlah dosis vitamin D, bersama nutrisi peningkat sistem imun optimal, dan ini harus dikonsumsi seterusnya. Menurut dr. Widya, bukan hanya sertifikat vaksinasi yang mampu membuat Indonesia mencapai herd immunity, namun juga dosis tinggi vitamin D yang dapat berkontribusi besar dalam mengakhiri pandemi.
MENURUT DR. ZIE, TIDAK ADA SATU PENANDA KHUSUS YANG SECARA OTOMATIS MENGATEGORIKAN ANDA KEKURANGAN VITAMIN D.