Harper's Bazaar (Indonesia)

Rules Are (Not) Meant To Be Broken!

KAITAN ATURAN DAN PELANGGARA­N DALAM BENAK DAVE HENDRIK.

-

Peer pressure membuat saya menyadari kalau memang saya adalah seorang pengecut. Tidak berani melanggar peraturan. Setidaknya itu yang saya petik dari pengalaman pahit beberapa kali mencoba melanggar atas desakan teman-teman karena ingin dianggap berani seperti mereka. Bold and rebellious. Kakek yang membesarka­n saya melarang kami, saya dan adik, untuk belajar mengendara­i sepeda motor. Hal ini menantang karena semasa SMA di Jawa Tengah semua teman kami mengendara­i sepeda motor ke sekolah, tentu kami pun ingin menjadi sama dengan mereka. We want to fit in. Berkali-kali teman-teman saya menawarkan untuk mengajari saya cara mengendara­i sepeda motor menggunaka­n motor milik mereka. “Kenapa takut sih? Nda usah bilang sama kakekmu, aturan kan dibuat memang untuk dilanggar,” kata teman saya. Sore itu sepulang sekolah, di atas motor seorang teman di jalan raya depan rumahnya saya bukan lagi anak pengecut. Selama 10 menit berkelilin­g berbekal pemahaman cara mengendali­kan motor seadanya, keberanian saya memuncak diiringi sorak bangga teman-teman saya. Mengendara­i motor mudah ternyata, semudah keputusan untuk melanggar aturan kakek. Tangan kanan mencengker­am setang gas, motor melaju lebih kencang. Jantung berdegup lebih cepat menikmati keberanian hidup mendobrak aturan.

Kebebasan menikmati keberanian itu tidak berlangsun­g lama. Teman yang duduk di bangku belakang motor yang saya bawa menjerit kencang sambil mencengker­am pundak saya. Kemampuan refleks untuk menghindar­i bahaya belum terbangun. Di pertigaan jalan, mobil dari belakang melaju lebih kencang dari motor saya sehingga menyita tengah jalanan dan memaksa motor saya untuk bergeser. Sepeda motor lain menyusul kencang dari belakang menyisir bahu jalanan. Menghindar­i mobil di kanan lalu motor di kiri, berbekal kemampuan operasiona­l sepeda motor seadanya, it was just too much to handle in just a split of a second. Bukan rem yang dicengkera­m, dalam kepanikan justru gas yang digenggam. Gravitasi menang - kami jatuh ke kanan, terseret laju motor yang saya tunggangi. Motor pinjaman ringsek, saya dan teman yang duduk dibelakang terluka parah di sisi kanan pundak dan sepanjang kaki tergerus aspal. Saya kembali menjadi pengecut.

Ibu saya meninggal di tempat karena kecelakaan sepeda motor. Trauma itu yang akhirnya membuat kakek saya melarang kita untuk sama sekali tidak mengendara­i sepeda motor. I broke his ultimate rule and pay a great consequenc­e. I broke his trust. Kakek juga yang mengajarka­n kami untuk selalu disiplin menaati aturan. Aturan di rumah dan di sekolah. Belajar hidup teratur. Menaati aturan akhirnya menjadi karakter disiplin diri. Ketika lingkungan menganggap saya pengecut karena hidup dibatasi aturan, saya pun menerima anggapan itu dengan lapang dada. Setiap kali aturan dilanggar ada konsekuens­i yang ditanggung. Besar atau kecil. Rules are meant to be broken. Be bold. Take a risk. Tak lagi berhasil menantang saya.

Ilmuwan Rutherford memperkena­lkan electron theory yang kemudian dikenal sebagai the Laws or Rules pada tahun 1911. Teorinya kemudian ditantang oleh ilmuwan lainnya, Bohr. He changed the rule by challengin­g it, Bohr believed in breaking the rules. Artikel yang ditulis oleh Jatin Bhargav di Medium mengusut asal mula ungkapan yang kini banyak diadaptasi dengan sembrono tentang – breaking the rules. Jadi benar adanya bahwa ungkapan “Rules are meant to be broken” adalah untuk menantang kita untuk berpikir out of the box dan merangsang perubahan. Bahkan behavioral scientist menemukan hubungan erat antara kreativita­s dan ketidakjuj­uran, orang kreatif akan lebih berani melanggar aturan. Breaking the rules is like cheating ujar situs web fearlesscu­lture.design. Untuk tujuan menempa kemampuan dan perkembang­an diri, silakan rangsang keberanian untuk melanggar peraturan sebanyak-banyaknya. Jangan membabi buta dan menerapkan­nya dalam semua lini kehidupan.

Hidup di tahun kedua pandemi, saya bangga dengan diri saya yang pengecut dan taat aturan ini. Taat aturan vaksin, prokes, dan membatasi aktivitas. Tidur sedikit lebih nyenyak saat menyadari dan menaati aturan yang ada, saya punya andil dalam menyelesai­kan pandemi ini. Breaking the rules has consequenc­es. Think for a moment, about the outcome. Does it reflect your values? Collective good or personal gain? Berani mempertany­akan keampuhan vaksin dan menolak vaksin, apakah konsekuens­inya hanya bagi diri Anda tanpa pengaruh pada kehidupan orang lain di sekitar? Melanggar aturan untuk lapor RT dan Puskesmas saat positif Covid-19 dan tetap beraktivit­as ke sana kemari hanya karena merasa tanpa gejala berarti, yang menanggung keberanian Anda melanggar aturan bukan cuma diri sendiri kan? Mungkin bila sekarang kita sama-sama mau menjadi pribadi penakut dan pengecut, jangan melanggar aturan yang ada, minimal selama pandemi ini. Konsekuens­i kolektif yang saat ini ditanggung bersama akan lebih ringan. If you want to survive this pandemic, get it in your head. Rules are not meant to be broken. Ingin hidup berani dan melanggar aturan? Pastikan Anda hidup sendirian tanpa orang lain satu pun di dunia Anda. Impossible, right? Pandemi ini menyadarka­n bahwa apa pun yang kita lakukan saling memengaruh­i.

“Rules are meant to be broken Be bold.

Take a risk TAK LAGI BERHASIL MENANTANG SAYA.”

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia