SERBA-SERBI ADIBUSANA
YUDITH KINDANGEN MEMAPARKAN PERJALANAN MODE haute couture DENGAN SEGALA KERUMITANNYA DARI MASA KE MASA.
Lembaran baru dari gelaran adibusana musim dingin baru saja ditampilkan. Dalam waktu yang cukup singkat, busana-busana dengan harga luar biasa mahal dan memiliki tingkat kerumitan tinggi dalam pembuatannya berseliweran di atas panggung, memamerkan keunikan dan ideologi yang dibawa oleh para desainernya. Meski masih berada di tengah pandemi, kini ratusan pasang mata tak terpaku lagi untuk melihatnya dari rumah, mereka hadir untuk menyaksikan langsung reinkarnasi makna dari gelaran adibusana teranyar.
Setelah bertahan pada dua perhelatan dengan tetap menggelar pekan haute couture secara virtual, Fédération de la Haute Couture et de la Mode berkesempatan menyelenggarakan rangkaian pertunjukan secara langsung pada bulan Juli lalu. Sebagian rumah mode seakan merayakan peluang kebangkitan ini lewat ragam pesan pada pekan adibusana koleksi musim gugur/dingin 2021.
Tentu saja Paris Haute Couture Week menjadi gelaran yang ditunggu-tunggu karena eksklusivitasnya. Menjadi simbol keterampilan artisanal yang menunjukkan kepiawaian akan elaborasi kostum dan mode, haute couture yang diterjemahkan menjadi adibusana ini telah mengukuhkan eksistensi selama lebih dari seabad. Sebuah representasi dari fashion yang menggabungkan entitas modern dengan sinergi dari teknik menjahit dan kerajinan tangan yang kompleks. Memang jika diartikan secara harfiah, haute couture memiliki arti seni dari “menjahit tingkat tinggi”, dibuat dengan tangan dari awal sampai akhir, dengan kualitas tinggi, menggunakan bahan-bahan berkualitas terbaik, dihiasi detail, dan memakan waktu lama dalam pembuatannya. Ya, semua ini berawal di Paris pada abad ke-19, suatu zaman saat industri mode pada masa kejayaan.
Jika menilik ke masa tersebut, sudah pasti belum secanggih sekarang, gaun-gaun mewah disusun manual menggunakan tangan, dan disesuaikan langsung pada tubuh pemakainya. Prosesnya melibatkan tim desainer yang sangat khusus, juga penjahit dan perajin terlatih untuk menggunakan teknik warisan haute couture dengan lokasi pembuatan yang hanya ada di Paris. Terminologi ini pun dikontrol dengan ketat dan dilindungi hukum-hukum di yuridiksi negara Prancis, yang berarti pemakaian label haute couture hanya ditujukan bagi rumah-rumah mode yang diberi izin oleh Chambre Syndicale de la Haute Couture, yang didirikan oleh Charles Frederick Worth pada tahun 1868 di Paris.
Hal ini membuat tak semua desainer dan rumah mode bisa menyematkan label haute couture sebagai embelembel nama labelnya. Bahkan ada pula sederet nama besar yang “pensiun” atau sudah tidak mendapat “cap” desainer adibusana lagi. Dicatat dalam situs milik Fédération de la Haute Couture et de la Mode, hingga musim Fall/winter 2021, ada 16 anggota resmi haute couture. Di antaranya yaitu Adeline André, Alexandre Vauthier, Alexis Mabille, Bouchra Jarrar, Chanel, Christian Dior, Franck Sorbier, Giambattista Valli, Givenchy, Jean Paul Gaultier, Julien Fournié, Maison Margiela, Maison Rabih Kayrouz, Maurizio Galante, Schiaparelli, dan Stéphane Rolland.
Selain itu, untuk memperluas potensi haute couture, Kementerian Perindustrian Prancis menambah anggota khusus yang diberi nama Correspondent Members. Mereka sudah diuji kelayakan dan kualitas setaraf haute couture, namun berbasis di luar Paris. Ada yang di Italia, Belanda dan Rusia, seperti Alaïa, Atelier Versace, Elie Saab, Fendi Couture, Armani Privé, Iris Van Herpen, Miu Miu, Ulyana Sergeenco, Valentino, dan Viktor & Rolf. Oleh karenanya, mereka hanya berhak mendapat label couture saja (tanpa penggunaan kata haute). Tak hanya itu saja, Kementerian Perindustrian Prancis juga mengundang desainer lain yang disebut Guest Members, anggota tamu ini bergantiganti setiap tahunnya. Mereka diundang untuk meramaikan Paris Haute Couture Week. Ada Rahul Mishra dari India dan Guo Pei dari China. Sama seperti Correspondent Members, Guest Members juga berhak memberi nama koleksinya dengan sebutan couture collection.
Dengan adanya “cap” itu, tak heran bila sebagian besar para desainer adibusana masih terus berpegang teguh pada teknik kompleks yang dikuasai hingga sekarang. Mereka selalu menawarkan suatu kerumitan yang baru dalam berkarya. Seiring dengan perkembangan zaman, ragam isu politik dan sosial ikut memberi pengaruh besar pada evolusi busana couture. Namun di musim yang baru ini, ada yang cukup menarik perhatian untuk disimak. Sejumlah desainer seakan sedang mencoba mendobrak pakem adibusana yang telah ada. Tidak lagi sekadar impresi mewah dan hiasan detail yang indah dengan tingkat kerumitan tinggi atau rancangan yang eksentrik, namun kini pakaian yang lebih membumi dan sederhana justru tampak berani mewarnai panggung adibusana.