SABDA PANDEMI PADA SENIMAN
DARI KACAMATA gallerist MUDA, RIO PASARIBU, MENJELASKAN HUBUNGAN ANTARA PANDEMI, SENIMAN, DAN merchandise SENI.
Pandemi yang sudah berumur lebih dari satu setengah tahun telah berdampak kepada hampir seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu dampak tersebut terkait persoalan kebertahanan ekonomi, baik yang sudah dialami secara riil bagi sebagian masyarakat Indoensia, maupun masih dibayangkan dalam bentuk kecemasan atas ketidakpastian situasi yang belum terlihat titik terangnya. Tentunya, hal yang sama sedikit banyak juga dialami oleh para pelaku seni rupa, yang pada esensi profesinya memiliki potensi untuk menawarkan kreativitas dan/atau terobosan dalam situasi seperti ini.
Pada awal pandemi, hampir seluruh pelaku dalam seni rupa, terutama di Indonesia, dipaksa untuk beradaptasi terhadap keadaan. Dimulai dari pameran virtual, webinar-webinar seni rupa, sampai maraknya seniman seni kontemporer yang mulai turun dan menjajaki peruntungannya di dunia crypto.
Terlepas dari keadaan tersebut, yang menarik dari pandemi adalah bergairahnya budaya “nongkrong” secara virtual bagi seluruh pelaku seni rupa di Indonesia semasa pandemi ini. Memang harus diakui bahwa budaya “nongkrong”, untuk melakukan pembahasanpembahasan ringan atas berbagai hal baik terkait langsung dengan seni rupa, maupun fenomena umum yang menggelitik di kehidupan sehari-hari, merupakan budaya yang telah menjadi kelaziman untuk semua pelaku seni rupa yang saya amati setidaknya 6 tahun ke belakang (sejak saya menjebloskan diri ke dunia seni rupa untuk menjadi seorang gallerist sembari masih menjadi konsultan hukum yang mencintai seni). Keterbatasan pertemuan yang biasanya terjadi di acara-acara seni rupa, yang hampir seluruhnya harus terhenti secara mendadak, akhirnya disiasati dengan pertemuan virtual melalui aplikasi Club House. Pertemuan-pertemuan yang dilakukan secara virtual tersebut telah mampu menerobos batasan ruang dan waktu, dan menjadi sarana untuk menjalin kembali koneksi antar pelaku seni, medium penciptaan gagasan-gagasan baru dalam dunia seni rupa, bahkan mempertemukan pelaku seni satu sama lain yang sebelumnya tidak pernah bertemu, tegur sapa, apalagi berdiskusi. Terlepas dari pertemuan-pertemuan digital di era pandemi yang biasanya erat dengan konotasi kelelahan digital (atau digital fatigue), silaturahmi digital melalui aplikasi tersebut berhasil meneruskan budaya “nongkrong” tadi tanpa rasa keterpaksaan, tidak hanya bagi teman-teman di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Bali, tetapi sampai kepada temanteman pelaku seni yang berada di luar negeri, termasuk Australia, Jerman, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.
Dalam salah satu pembahasan ringan dalam pertemuan virtual tersebut, seorang teman yang juga seorang kurator seni rupa, pada suatu malam memberikan komentar dan masukan yang cukup menohok semua pelaku seni yang hadir malam itu. Kurator tersebut mempertanyakan kontribusi apa yang sudah seniman lakukan semasa pandemi ini, yang terkait langsung dengan