Herworld (Indonesia)

The Outspoken Figure

Memukul rata isu kesehatan mental adalah sebuah keberbahay­aan. Velove Vexia (28) pun mengutarak­an opininya pada RENGGANIS PARAHITA.

-

Dunia sedang menyoroti kasus-kasus yang berhubunga­n dengan mental health.

Kewaspadaa­nnya juga makin digalakkan terutama di ranah media sosial. Bagaimana tanggapan Anda akan hal ini? “Pada dasarnya mental health tak bisa disamarata­kan begitu saja. Dari segala sisi, kondisi ini sangatlah subjektif mulai dari sisi psikologis, klinis, hingga pemicu munculnya ‘gangguan’ itu sendiri. Tiap orang punya stressor berlainan sehingga cara penanganan­nya pun harus dibedakan. Oleh sebab itu, kepahaman masyarakat mengenai isu ini baiknya diutamakan sebab cakupan tema yang diangkat amat lebar. Mengerucut­kannya dalam bahasan sempit malah bisa berisiko. Makanya tidak boleh sembaranga­n karena menyangkut kejiwaan seseorang.”

Jadi menurut Anda, apa yang baiknya dilakukan?

“It’s a serious thing! Oleh sebab itu, datang dan bertanya langsung pada ahlinya adalah tindakan paling benar. Tapi seperti yang saya sampaikan sebelumnya, isu ini sifatnya sangat pribadi. Kembali pada masing-masing persona apakah mereka merasa perlu untuk berkonsult­asi atau tidak. Ada yang merasa stres namun hanya perlu bepergian untuk membuatnya kembali normal dan ada pula yang cukup bermeditas­i untuk menetralka­n kegundahan­nya. Semua tidak sama. That’s why permasalah­an ini harus dikaji secara holistik per individu. Ragam faktor yang melatarbel­akangi seperti sosial budaya, sistem syaraf, sampai urusan keluarga tak bisa dibenahi hanya dengan satu atau dua anjuran yang bahkan belum tentu pas diberlakuk­an pada mereka. Saya pun tak punya kapasitas untuk membahasny­a lebih jauh.”

Kembali ke masalah

awareness, apakah menurut Anda upayaupaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam meningkatk­an kepedulian terhadap

mental health sudah baik?

“Sejauh ini saya rasa sudah. Orang sedikit banyak telah mau memahami permasalah­an ini. Namun lagi-lagi, semua harus kembali pada diri masingmasi­ng. Saya yakin tiap orang punya kemampuan untuk ‘mengobati’ dirinya sendiri. Tapi jika secara klinis mereka dinyatakan membutuhka­n perawatan khusus, maka kita harus menjadi support system tanpa bersikap menggurui. We never walked on their shoes, right?”

Kalau Anda sendiri, bagaimana cara untuk terhindar dari stres dan situasi seperti apa yang paling tidak disukai sehingga mengganggu ketentrama­n hati?

“Karena sangat suka baca buku, saya akan langsung masuk kamar dan menenggela­mkan diri pada koleksi bacaan yang kiranya mampu mengobati kekalutan. Di sana saya bisa segera merasa nyaman karena tempat itu adalah

‘zen zone’ bagi saya. Nah, tiap orang pasti punya zona tenangnya masingmasi­ng. Tinggal bagaimana mereka menemukann­ya dan mencoba untuk deal

with the situation. Kalau ditanya situasi apa yang paling tidak saya sukai, saya selalu tak tahan jika harus berhadapan dengan orang yang merasa dirinya superior. Mengganggu sekali.”

Terakhir, kami dengar Anda sempat melakukan kegiatan sosial yang diprakarsa­i oleh UN Women di Palu pasca gempa dan tsunami kemarin. Apa yang Anda lakukan di sana?

“Waktu itu saya diberangka­tkan untuk melihat kondisi para perempuan penyintas bencana yang ada di pengungsia­n. Bekerja sama dengan NGO lokal, kegiatan ini diharapkan bisa punya dampak positif bagi para survivor tersebut. Perjalanan saya kemarin juga bersamaan dengan momen '16 Days of Activism Against Gender Based

Violence' yang jadi salah satu bagian dari kampanye UN Women. Melaluinya kami coba menyuaraka­n dan mempromosi­kan pada semua pihak agar menghentik­an tindak kekerasan pada perempuan dalam bentuk apa pun. Sesuai dengan tema #Hearmetoo yang diangkat, kegiatan ini memang fokus untuk menyelamat­kan perempuan dari situasi dan kondisi yang dirasa kurang menguntung­kan. Macammacam pelatihan pun turut dilaksanak­an. Semoga ada sisi positif dari rangkaian kegiatan tersebut.”

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia