Archie Prameswara, 26, Chef
@archiepelagic
Indonesia memiliki potensi kuliner yang besar namun masih banyak yang belum menyadarinya. Hal ini mendorong Archie untuk terjun ke dunia kuliner, khususnya sebagai seorang chef yang fokus pada makanan Indonesia yang berempah. Ketika chef muda lainnya bertekad untuk belajar di bawah arahan chef Michelin di Barat, Archie memutuskan untuk bergabung dengan Javara, sebuah social enterprise yang ingin memajukan industri rempah dan bahan baku lokal asli Indonesia ke pasar dunia. Bagi lelaki yang mengeluarkan tesis seputar Co-evolution Between Food Processing Industry and Agriculture ini, memasak merupakan sebuah bagian dari identitas budaya.
Selain memasak, traveling juga jadi hal lain yang dicintai Archie, dan ia berusaha mengombinasikan keduanya. Ia bahkan memiliki tagar khusus di Instagram yang menggambarkan pribadi ini, yakni #travelingcook.
“Terinspirasi dari
term ‘wonderlust’, di mana seseorang enggak bisa berdiam lama di satu tempat dan selalu ingin keluar. Indonesia kaya akan tradisi kulinernya dan saya berusaha untuk mengingatkan kembali tradisi yang dimiliki setiap daerah, namun disajikan secara lebih cantik,” jelas laki-laki yang menghabiskan masa di rumah selama pandemi dengan belajar membuat roti.
Banyak pengalaman menarik yang mengubah pandangan hidup Archie selama
traveling. Salah satunya adalah saat ia bertandang ke Maluku Utara. “Di desa, pandangan mereka lebih simpel tapi ngena di hati. Buat apa cari banyak uang? Kalau mau makan, tinggal petik dari kebun. Ingin makan ikan, cukup memancing. Ingin minum, langsung memanjat pohon aren. Mereka seolah memberi perspektif baru bahwa ada banyak cara untuk hidup, terserah pada kita, mau pilih yang mana. Namun, kita enggak pernah
menyadarinya akibat terlalu sering stuck di pikiran itu-itu saja,” kenang Archie.
Banyak hal yang berubah kala pandemi. Ini pula yang dirasakan oleh Archie hingga ia berusaha mensyukuri lebih banyak hal. “Hal simpel seperti interaksi keluarga dan makanan enak yang ada di meja makan setiap hari. Di masa kritis, makanan adalah sebuah kemewahan karena tidak semua orang bisa merasakan hal ini,” ujarnya. Menghadapi new normal, ia juga mengaku punya sikap positif. “Sebagai manusia, kalau kita tidak bisa beradaptasi dan menyesuaikan pada situasi, kita tak akan pernah bisa berevolusi. Khususnya di bidang kuliner, harus ada cara lain untuk menyajikan hidangan. New normal adalah sesuatu yang baru, bukan berarti lebih buruk. It’s just a different way to serve things and be creative,” tutupnya.