Herworld (Indonesia)

POLITIK, IDEALISME, DAN PERAN IBU

Kita mengenal sosok Yenny Wahid, 45, sebagai perempuan multiperan yang powerful. Siapa sangka kalau dulunya ia cengeng, malas belajar dan… suka mengkhayal.

-

Mengenal lebih dalam sosok Yenny Wahid sebagai perempuan multiperan.

Obrolan bersama Her World Indonesia sore itu terasa sangat seru, diselingi tawa tergelak dari keduanya: Iwet Ramadhan sebagai host acara A Chat With.. dan sang tamu, Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang lebih populer dipanggil Yenny Wahid. Awal tahun ini, Yenny dipercaya menduduki jabatan sebagai Komisaris Independen PT Garuda Indonesia Tbk, selain menjadi Direktur Wahid Institute sejak tahun 2004 dan Ketua Federasi Panjat Tebing Seluruh Indonesia. Spontanita­s, kejujuran, dan gaya bicara Yenny yang blak-blakan namun tegas membuat sesi wawancara ini terasa hidup dari awal hingga akhir.

Sesi dibuka dengan pertanyaan tentang dampak pandemi bagi seorang Yenny Wahid. Spontan ia menjawab, “Penghasila­n jauh lebih menurun.” Tentu disambut tawa semua yang hadir, karena merasa senasib. Stres kah? “Saya kebetulan termasuk orang yang cukup optimis. Sehingga selalu mencoba melatih pikiran untuk fokus ke hal-hal positif,” jawabnya.

Wartawan & Karier Politik

Karier pertama Yenny dimulai saat ia diterima bekerja sebagai jurnalis di sebuah surat kabar Australia, The Sydney Morning Herald. Saat itu ia baru saja menyelesai­kan kuliahnya di Jurusan

Desain Komunikasi Visual Universita­s Trisakti. Tidak tangung-tanggung, Yenny yang saat itu masih menjadi reporter, ditugaskan di dua area konflik di Indonesia, yaitu Timor Timur dan Aceh. “Saya sempat menyaksika­n langsung baku tembak di depan mata. Dan saya pun pernah ditodongka­n senapan di kepala,” kenangnya.

Jurnalisme dulu dan sekarang, terlebih di era digital sangat berbeda menurutnya. “Kita dibanjiri aliran informasi yang cepat, sehingga standar akurasi berita menjadi lebih relaks yang menurut saya menurunkan kualitas jurnalisme itu sendiri. Masyarakat menjadi skeptis dan sering percaya pada halhal yang tidak faktual, hoax.”

“Saya kebetulan termasuk orang yang cukup optimis. Sehingga selalu mencoba melatih pikiran untuk fokus ke hal-hal positif,”

Diakuinya, ia pernah menjadi korban jurnalisme gaya sensasiona­lis, saat judul ditulis tanpa adanya fakta. “Saya gemas,” tuturnya. Berbeda ketika ia ia masih bertugas sebagai reporter di akhir tahun 90-an, prinsip jurnalisme sangat wajib diikuti, misalnya fact check atau cover both side.

Saat sang ayah, Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI ke-4, Yenny pun mendamping­i sebagai staf khusus kepresiden­an bidang Komunikasi Politik. “Tapi saya tidak dibayar lho,” katanya seraya tersenyum. Tugas ini berlanjut di masa pemerintah­an Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, Yenny telah lulus sebagai Magister Administra­si Publik dari Universita­s Harvard, Amerika Serikat. Tak lama mengemban tugas itu, Yenny pun mengundurk­an diri karena ingin terjun langsung ke dunia politik dengan aktif di partai.

Aktivitas di partai inilah yang sungguh menggemble­ng Yenny yang kala itu masih berusia 30 tahun, dan harus memimpin banyak orang dengan berbagai karakter, kepentinga­n, dan tujuan. “Saya masih muda, baru pulang dari sekolah di luar negeri, idealis. Di situ saya belajar untuk menjadi seseorang yang humble, tidak sok tau,” kenangnya. Yenny juga mengaku sangat stres dan kekurangan waktu. Kapok? “Terus terang saya trauma. Hati nurani serasa ditekan dengan menyaksika­n politik yang kotor, meskipun banyak juga yang baik. Namun saya tetap merasa bersyukur mengalami masa-masa itu.”

Kenangan Gus Dur

Banyak nilai dan kenangan Yenny akan seorang Gus Dur yang melekat dan menjadi pedoman hidupnya hingga kini. Keikhlasan dalam menjalani hidup dan idealisme bernegara ia dapatkan dari sang ayah. Yang paling menempel di benaknya hingga kini adalah nasehat bahwa hidup itu harus digunakan untuk orang banyak, bukan untuk diri sendiri saja. “Hidup itu pengabdian dan ikhlas.”

Pedoman ini ia pegang kuat, termasuk saat mendalami politik. “Politik adalah tempat mengabdi. Jika kita berhasil membuat kebijakan untuk kemajuan rakyat, luar biasa rasanya. Hidup akan jadi lebih bermakna.” Saat masih menjadi presiden, Gus Dur sering curhat dengan gaya humor. Yenny melihat, bagaimana sang ayah bekerja untuk rakyat.

Saat kecil, Yenny mengaku cengeng, malas belajar, suka menggambar, pengkhayal, dan dapat nilai 3 untuk fisika. Oleh karena itulah saat diterima di Fakultas Psikologi UI, Gus Dur melarangny­a untuk masuk. “Ayah tau persis saya suka menggambar, enggak akan betah kuliah psikologi.”

Kenangan lain yang ia ingat dari seorang Gus Dur adalah cara mengekspre­sikan rasa sayang terhadap anak-anaknya. Ayah adalah seorang Jawa yang dibesarkan dalam tradisi pesantren. Jadi sangat kaku dan berjarak dengan anak-anaknya. Yenny sering iri melihat hubungan temanteman seusianya dengan ayahnya masing-masing. “Bisa gelendotan dengan bapaknya,” kenangnya. Suatu hari, Yenny memberanik­an diri merangkul sang ayah yang sedang duduk santai di sofa. “Bapak kaget, saya pun sempat kaku. Tetapi setelah itu, barrier kami runtuh dan menjadi relaks. Alhasil, adikadik tidak mengalami kekakuan seperti yang saya alami lagi.”

Peran Ibu & Bahasa Cinta

Kesan powerful yang menempel dengan segudang peran yang diemban, tak membuat Yenny menomordua­kan keluarga. Ia juga

mengalami dilema seperti kebanyakan ibu bekerja. “Guilty feeling,” jawabnya saat ditanya. Seorang ibu yang bekerja punya beban yang lebih berat dibandingk­an bapak. Yenny tidak mengendurk­an ‘komando’-nya terhadap anak-anak walaupun sedang bertugas di luar rumah, bahkan luar negeri.

Siasat menghalau guilty feeling? Yenny mencari panduan informasi dari segala sumber, termasuk buku-buku psikologi dan juga para ahli. “Dari semua itu saya menyimpulk­an satu hal yang paling penting, yaitu kita tetap harus memiliki quality atau bonding time. Dan saya punya itu,” lanjutnya.

Ibu tiga anak perempuan ini masih mendongeng tiap malam, bergilir untuk anak-anaknya. “Kelonin mereka bergantian, dan siap menjadi pendengar sehingga saya tahu mereka sedang di titik apa.” Yenny dan suami sepakat untuk menjadi orang tua yang dapat memberi support system bagi anak-anak, kapan saja dibutuhkan. Ia pun menerapkan aturan dan disiplin yang cukup keras yang perlu dipatuhi semua. “Misalnya soal nonton TV, pakai gadget, semua ada waktunya. Jika mereka ingin bonus, maka harus menyelesai­kan beberapa ‘tugas’, seperti mengaji, baca buku, atau menemani Eyang seharian. Maka mereka akan dapat slot tambahan untuk bermain gadget di hari itu.”

Menerapkan aturan pada anak, tidak membuat Yenny ‘melupakan’ hubungan romantis dengan sang suami. Di samping menghormat­i, menjaga dan mengerti hak dan kewajiban masingmasi­ng, ia percaya ada yang namanya ‘Bahasa Cinta’. “Setiap orang punya bahasa cinta yang berbeda. Begitu kita mengerti bahasa cinta masingmasi­ng maka sebuah hubungan akan lebih smooth,” jelasnya.

“Bahasa cinta suami saya bukan perkataan, tetapi act of service. Saat suami dinas ke luar kota, saya selipkan

snack kesukaanny­a di koper, dan dia pun akan spontan menelpon saya dan mengucapka­n terima kasih,” ujar Yenny memberikan contoh. Diakuinya, sang suami juga adalah orang yang sangat suportif, dan selalu membantu Yenny dalam mengembang­kan potensi “Ia bisa menjadi ayah ASI saat anakanak masih bayi dan ketika saya harus tugas ke luar negeri. Jika ada tugas ke luar kota, salah satu dari kami stay di rumah dengan anak-anak,” tuturnya lagi.

Satu hal yang pasti, Yenny tidak akan mengurangi perannya untuk bisa berbuat lebih banyak lagi bagi masyarakat luas. “Sekarang saya sudah menjadi ibu, keyakinan saya dalam berjuang bagi masyarakat lebih kental lagi. Saya ingin mereka punya masa depan dengan kualitas hidup lebih baik. Tidak ada korupsi, transporta­si publik membaik, kualitas udara meningkat dan air sungai jernih.” Hal itu hanya bisa tercapai jika fondasi yang ditanam kuat. “Masih banyak yang harus diperjuang­kan. Bersama-sama,” katanya menutup pembicaraa­n.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? (Dirangkum dari wawancara Iwet Ramadhan dalam rubrik “A Chat With” di Youtube channel Her World Indonesia)
(Dirangkum dari wawancara Iwet Ramadhan dalam rubrik “A Chat With” di Youtube channel Her World Indonesia)
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia