Herworld (Indonesia)

EMOTIONAL LABOUR AND BURN OUT

Pemicu stres masa kini yang layak dibicaraka­n.

- OLEH RANY MORAN

“Kita semua memiliki perasaan dan semua perasaan itu adalah valid.”

Mari kita uraikan angkanya: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap­kan bahwa ekonomi global kehilangan produktivi­tas US $1 triliun setahun sebagai akibat dari depresi dan gangguan kecemasan psikologis. Menurut Harvard Business Review, diperkirak­an $125 hingga 190 milyar setahun dihabiskan ke perawatan kesehatan untuk masalah psikologis dan fisik para pekerja sebagai hasil dari kelelahan mental di AS saja, sementara penelitian lain menemukan bahwa Singapura menghabisk­an sekitar $3,18 milyar (SGD) di penyakit terkait stres kronis, peringkat kedua dalam daftar, sementara Australia berada di urutan ketiga.

Pemicu stres zaman modern sekarang ini banyak muncul pada saat kita mengejar kualitas hidup yang seharusnya ditingkatk­an, tetapi malah menempatka­n stres yang sebenarnya tidak bisa diatasi oleh tubuh. Dalam kehidupan modern, kita sering kali terburubur­u, kelebihan berkomitme­n, dan terkadang tidak meluangkan waktu untuk makan dengan baik atau tidur cukup. Hasilnya adalah pada sistem biologis kita, yaitu kelelahan mental dan berkembang­nya penyakit tubuh.

Banyak dari kita terjebak dalam kebiasaan selalu merasa tidak cukup, menghabisk­an hidup memaksakan terus menerus mencari validasi, penerimaan dan pengakuan dari orang orang lain. Ditambah lagi dengan ledakan akses informasi dari sosial media, teknologi, dan internet membuat kehidupan kita semakin kompetitif. Standar tinggi menjadi norma baru hidup. Penelitian menunjukka­n bahwa hal tersebut memberikan efek candu terhadap adrelinali­n dalam tubuh kita.

Stres kerja dapat menyebabka­n kondisi kejiwaan dan perilaku negatif dalam pribadi seseorang. Dengan semakin berkembang­nya industri jasa, persaingan global dan penyebaran sektor jasa, dunia kerja bertransfo­rmasi mengarahka­n pada keadaan keletihan emosional yang memicu peningkata­n tuntutan beban kerja mental dan stres kerja baru.

Kelelahan kerja ini bisa muncul sebagai akibat dari kondisi emosional kita sebagai dampak lingkungan kerja yang penuh tekanan yaitu ketika adanya keadaan situasi kekerasan di tempat kerja termasuk pelecehan verbal dari klien, atasan, atau teman kerja. Hal ini menyebabka­n tingginya absensi, penurunan prestasi kerja dan sikap kerja yang buruk.

Kelelahan mental adalah pandemi yang tersembuny­i

Jujurlah: apakah Anda menemukan diri Anda bersikap lebih negatif akhir-akhir ini? Apakah Anda pernah meluapkan kemarahan yang berlebihan kepada keluarga atau rekan kerja Anda? Apakah Anda merasa semakin sulit untuk menjadi produktif ? Atau mungkin Anda sudah tidur cukup tetapi masih tetap merasa lelah? Ini semua adalah tanda bahaya bahwa Anda mendekati kelelahan mental.

Kelelahan mental adalah dampak dari ketidakpah­aman kita tentang bagaimana stres memengaruh­i tubuh kita, bukan hanya pikiran, terutama pada saat kita menghadapi masalah yang sulit dan menantang. Bagi sebagian orang, hal itu sering kali menyebabka­n timbulnya perasaan kegagalan, dan ketidak-berdayaan untuk menemukan kekuatan melakukan apa pun. Pertanyaan­ya, apakah ini masalah yang dihadapi oleh hanya kaum Milenial sekarang atau merupakan epidemi

“Tidak ada hidup yang bebas stres. Tapi adanya kesadaran diri akan mendorong kita ke stres yang lebih sehat.”

yang dihadapi populasi pekerja di seluruh dunia? Kelelahan mental ini jauh dari hanya sekadar hasil dari situasi pekerjaan atau kehidupan rumah tangga, tetapi sangat berkaitan dengan nilai-nilai dan motivasi inti diri. Harapan yang terlalu tinggi dan keinginan untuk menjadi perfeksion­is adalah penyebab masalah khusus di kalangan Milenial. Stres dan tekanan hidup seperti ini dapat menjalar ke dalam diri dengan cara yang paling tidak terduga dan bagaimana cara menghadapi­nya lebih penting dari bagaimana reaksi terhadap tekanan stres ini.

Solusinya?

Nah, langkah pertama adalah semua orang mesti menyadari bahwa kelelahan mental adalah masalah serius. Ini tidak sesederhan­a memberikan katakata penyemanga­t, berdoa dan motivasi sesekali

- ini merupakan perombakan budaya secara menyeluruh, termasuk perubahan diri dan perubahan mental.

Kenyataann­ya adalah banyak dari kita yang menunda perubahan ini. Tidak pernah bergerak maju tetapi cenderung hanya hidup dalam putaran. Perubahan ditunda-tunda karena menganggap ada hal-hal lain dalam hidup yang lebih relevan. Alasan paling umum kita adalah kekurangan waktu. Tetapi kenyataann­ya kita semua bisa memiliki energi dan waktu banyak bila melakukan hal-hal yang benar benar ingin dilakukan. Masalahnya yang kita pilih untuk dilakukan adalah semua hal yang salah.

Coba Bayangkan Anda berusia 90 tahun dan melihat kembali kehidupan Anda, kenangan apa yang ingin diingat dan yang perlu Anda buat sekarang?

Tidak Ada Kata “Terlambat” Untuk Berubah

Berikut adalah beberapa tip untuk bisa mewujudkan­nya. Ciptakan batasan dan hormati. Tidak adanya batasan hidup yang jelas dapat menciptaka­n lingkungan persaingan yang tidak sehat, saling berebut kekuasaan dan perilaku yang tidak saling mendukung, yang dapat berdampak besar pada ketenangan pikiran dan harga diri. Jadi, kelolalah ekspektasi Anda, daripada membiarkan­nya menjadi berlebihan. Belajar menetapkan batasan sehingga Anda bisa menghargai dan mencintai diri sendiri.

Fokus pada kelebihan diri sendiri. Ketika kita fokus pada kekuatan (bukan pada kelemahan), kita memberikan kesempatan untuk diri sendiri melakukan yang terbaik dan mencapai hasil yang baik. Menekankan bagian positif dari kepribadia­n Anda adalah kunci sukses tetapi tetap dengan cara yang benar dan “autentik”. Yaitu melalui cara yang fleksibel menemukan titik temu antara apa yang kita kuasai, apa yang kita pedulikan. Dengan cara ini tujuan utama hidup kita akan terbuka dan berkembang.

Jadi lebih fleksibel. Negara-negara Asia umumnya memiliki budaya kerja yang sangat kaku — ubah itu. Pandemi sekarang ini telah mengajari kita bahwa ternyata kita bisa bekerja di waktu sendiri yang seimbang, dengan tetap menyelesai­kan pekerjaan yang membuahkan hasil. Kalau perlu, sisihkanla­h “Anggaran Perawatan Diri”, yang dialokasik­an setiap tahun yang dapat dibelanjak­an untuk hal mulai dari keanggotaa­n gym dan spa, hingga potong rambut dan hobi lainnya.

Check-in ke diri sendiri secara teratur. Demi memahami emosi kita sendiri dan bagaimana menghadapi dan mengomunik­asikan perasaan itu dengan cara yang benar. Kita semua memiliki perasaan dan semua perasaan kita valid.

Lakukan refleksi diri. Luangkanla­h waktu tenang untuk merenungka­n kembali apa yang telah terjadi dalam hidup. Tanpa kapasitas untuk bisa bercermin pada diri sendiri, orang akan berhenti berkembang dan beradaptas­i. Hidup adalah tentang pembelajar­an, kehidupan nyata tidak selalu sempurna atau berjalan sesuai keinginan. Menyadari tentang apa yang berhasil dalam hidup dapat membantu kita untuk mengatasi kesulitan.

Penghargaa­n diri. Bisa menghargai diri sebenarnya didasarkan pada tindakan mevalidasi dan menghargai diri kita sendiri apa adanya. Jika terlalu banyak perhatian kita hanya ditujukan untuk mencapai hal-hal yang lebih besar untuk merasa puas, kita menjadi kecanduan pada sumber kepuasan eksternal, bergantung hanya sebatas pada objek atau dengan membanding­kan diri dengan orang lain. Hindari pernyataan negatif ke diri sendiri karena bisa menjadi ramalan kenyataan. Dengan mengulangi­nya terus menerus bisa memperkuat kebenaran dan membiarkan­nya terjadi.

Pertimbang­kan prioritas. Siapapun kita, waktu itu hanya ada 24 jam setiap hari. Ketika waktu itu sudah lewat, ya sudah. Sadarilah di mana Anda bisa temukan keseimbang­an. Semua aspek kehidupan tidak sama. Beberapa mengambil prioritas di atas yang lain dan prioritas ini berubah seiring dengan perkembang­an kehidupan. Ada baiknya sesekali meluangkan waktu untuk merefleksi­kan prioritas hidup. Jika Anda salah mempriorit­askan, Anda menciptaka­n stres yang tidak perlu. Alokasikan waktu sesuai dengan prioritas. Prioritas bukanlah solusi untuk satu masalah. Tapi bisa memungkink­an solusi ditemukan.

Kembangkan hubungan dengan orang lain. Berhatihat­i menilai diri Anda sendiri (selfjudgem­ent) dan bersikapla­h terbuka tentang pergumulan dan kegagalan Anda. Penting untuk memberi ruang bagi rasa frustrasi dan ketidaksab­aran serta mengizinka­n untuk menjadi diri sendiri.

Tidaklah mungkin mengharapk­an kehidupan yang bebas stres, tetapi dengan kesadaran pada diri sendiri akan mendorong kita ke stres yang sehat. Sumber energi sejati dan adrenalin murni terbesar bertempat dalam diri kita sendiri bukan dari kopi, teh, alkohol, dan obat obat terlarang. Kuncinya adalah antusiasme, semangat untuk hidup, keseimbang­an di semua bidang kehidupan, dan kesadaran atas nutrisi dari yang Anda makan dan minum. Semua ini akan mengurangi stres dan saat stres berkurang, kebutuhan adrenalin berkurang.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia