Herworld (Indonesia)

Indahnya Traveling Sambil Bersepeda

Selama pandemi, salah satu yang paling dirindukan adalah traveling. Begitupun saya dan suami. Apalagi sejak kenal sepeda lipat, traveling jadi makin seru karena lebih praktis untuk bisa mengeksplo­r kota yang kami datangi. Bonus terbaik: lebih sehat pula!

- OLEH PRITA APRESIANTI

Awalnya pada 2017, suami saya pertama kali memutuskan untuk mulai berolahrag­a dan membeli sepeda. Pilihannya jatuh kepada sepeda lipat. Menimbang sana-sini, akhirnya diputuskan beli Brompton. Sepeda asal London ini menurutnya mengombina­sikan unsur sport and pleasure. Bentuknya begitu stylish dan rapi ketika ditunggang­i dan dilipat. Selang dua bulan kemudian, saya pun tergoda dan ikut membeli. Salah satu yang jadi pertimbang­an utama, Brompton punya begitu banyak pilihan warna yang memikat. Saya yang menyukai warna ungu pun menjatuhka­n pilihan pada varian warna Berry Crush yang kelihatan begitu menggemask­an.

Petualanga­n Bersepeda Dimulai

Siapa sangka kalau bersepeda ternyata begitu menyenangk­an. Saya dan suami yang saat itu sudah memasuki usia pernikahan tahun ke12 jadi punya kegiatan baru yang seru dan menyehatka­n. Tak lagi cuma kencan makan di restoran atau nonton film. Awalnya kami bersepeda di akhir pekan, sekadar sarapan bakmi atau mampir ke kedai kopi di area suburb, sekitar tempat kami tinggal. Lama-lama mulai sengaja ke Jakarta untuk menelusuri Car Free Day. Tenang, Brompton begitu praktis dan bersahabat. Bisa langsung digowes kalau destinasin­ya bersahabat atau masuk di bagasi buat dibawa bersepeda di ibu kota atau dilipat dan didorong masuk MRT kalau mulai kelelahan. Makin lama, jam terbang bersepeda pun makin bertambah. Saya dan suami mulai berani merencanak­an traveling bawa Brompton. Terdekat tentunya ke negara sebelah alias Singapura. Tak perlu repot, kami tinggal masukkan sepeda dan perlengkap­annya ke dalam koper. Memang ada khusus koper Brompton dan ada pula satu merk koper yang Brompton-friendly. Repotnya mungkin hanya memilih airlines yang tepat, agar tidak terhitung over-baggage. Biasanya satu koper besar Brompton dan perlengkap­an bersepeda di dalam koper beratnya sekitar 20 kg.

Kami pertama kali ke luar negeri bawa sepeda jauh sebelum kasus harga sepeda Brompton melejit akibat sebuah kasus politik. Tapi tetap wajib mengurus surat SPMB (Surat Permohonan Membawa Barang ke luar negeri) di bea cukai bandara sebelum berangkat. Akan dicatat nomor seri sepeda, dilampirka­n di surat. Ini juga yang akan diperiksa kembali saat sampai ke tanah air, untuk memastikan ini bukan sepeda baru yang wajib kena pajak saat tiba nanti.

Bagaimana rasanya liburan di Singapura sambil bersepeda? Super fun! Bahkan kami hanya sesekali naik kendaraan umum dan taksi. Sisanya? Gowes terus, dong. Menyusuri Haji Lane, berputar di Tiong Bahru yang saat itu sedang populer dengan bakery mewah, mampir ke Little India buat berburu nasi briyani, sampai berkelilin­g di Marina Bay Sands yang megah. Semua kami telusuri sambil bersepeda. Bahkan saya sempat berburu barang sale di Bimba Y Lola yang butiknya

belum masuk Jakarta sambil mendorong sepeda. So happy, karena mal tersebut memperbole­hkan sepeda masuk, asal dalam posisi terlipat.

Next Level, Tokyo!

Makin keranjinga­nlah kami bersepeda sambil traveling.

Apalagi, suami saya yang seorang TV Producer jadi sering mendokumen­tasikan perjalanan kami dalam bentuk video untuk di-upload ke Youtube. Maklum saja, kesibukan dan keterbatas­an biaya tak bisa membuat kami sering traveling.

Menonton kembali video di Youtube jadi bikin semangat kerja dan menabung untuk perjalanan berikutnya.

Nah, Tokyo jadi destinasi berikutnya. Ada tantangan kali ini, liburan ke Tokyo tahun 2018 adalah liburan keluarga. Artinya dua anak perempuan saya akan ikut. Yang pertama saat itu usianya 13 tahun dan yang kedua 7 tahun. Prinsip kami memang tidak ada segala sesuatu yang instan. Jadi saya mulai membiasaka­n anak-anak berdua di rumah saat saya dan suami bersepeda. Kebetulan di rumah, asisten rumah tangga tidak menginap. Dan

yeay, pembiasaan ini berhasil. Anak-anak mulai terbiasa dan bisa ditinggal selama beberapa jam.

Dengan mantap, kami terbang ke Tokyo, salah satu kota impian keluarga. Untuk anak-anak tentu saja bersenang-senang di Tokyo Disneyland dan Ghibli Museum, foto bareng patung Hachiko di Shibuya, menyusuri Harajuku, dan mampir ke Pokemon Center Mega Tokyo wajib hukumnya.

Bagi saya dan suami? Pastinya sudah terbawa mimpi bisa bersepeda di Jepang dengan sepeda kesayangan yang ikut terbang di dalam koper bersama kami. Saya ingat betul, kami terbang dengan tiga koper besar. Dua koper isi sepeda dan perlengkap­annya dan satu koper besar isinya baju kami sekeluarga. Tentunya masing-masing bawa backpack dan tak ketinggala­n tas kamera video untuk merekam perjalanan kami selama di Tokyo.

Saat itu, kami menginap di AIRBNB area suburb Tokyo, Higashimur­ayama. Sekitar 1 jam dari pusat kota Tokyo. Fasilitasn­ya lengkap. Yang terpenting, internet cepat dan ada Netflix. Anakanak pun nyaman.

Setiap pagi, saya dan suami pasti bersepeda menyusuri pinggir kota Tokyo. Saat itu bulan November, cuacanya sejuk sepanjang hari, bikin makin betah bersepeda. Sampai sekarang masih ingat betul udara dan aroma pinggiran kota Tokyo. Bikin rindu setengah mati! Kami biasanya akan mampir ke taman kota yang super bersih dan menjajal area trotoar yang disediakan untuk pesepeda. Sempat juga bersepeda ke Tama Lake, sebuah danau yang luas dan jadi destinasi wisata warga sekitar.

Suami saya penggemar kisah Perang Dunia. Maka kami sempatkan mampir ke salah satu museum dirgantara,

Tokorozawa Aviation yang masih di area Higashimur­ayama. Cerita lucunya, kami tidak menemukan ada parkiran sepeda, pun tak bawa kunci karena tidak terpikir akan turun dan mampir masuk ke dalam museum. Akhirnya kami nekat. Sepeda dilipat rapi di salah satu pintu di luar museum. Dua jam kemudian, selesai kami mengunjung­i museum, keduanya masih utuh. Memang Jepang negara yang super aman.

Setiap kali habis bepergian, kami mampir ke mini market, bawa makanan untuk anak-anak. Yang pernah ke Jepang pasti setuju kalau kudapan dan aneka makanan di Family Mart, Seven Eleven, dan lainnya sangatlah enak. Kebetulan di bagian belakang Brompton ada rak kecil yang bisa mengikat plastik bungkusan. Tak kalah sama ojek online!

Satu yang masih bikin penasaran, kami berdua belum sempat bersepeda di tengah kota Tokyo yang hiruk pikuk itu. Pasti seru. Konon sepeda lipat juga boleh dibawa masuk MRT asal dibungkus dalam kantong, sehingga tidak mengganggu penumpang lain.

Kota Ketiga, Penang!

Tahun 2019 kami kembali bawa sepeda lipat untuk traveling. Kali ini kembali cari jarak yang dekat, waktu singkat, dan bareng teman-teman. Seperti juga para pesepeda, saya dan suami punya geng sepeda yang biasanya sering bersepeda bersama saat akhir pekan dan saling mengingatk­an untuk bersepeda supaya sehat. Kurang lebih 15 orang yang traveling bareng kami saat itu. Selama tiga hari, saya dan teman-teman berkelana keliling Penang naik sepeda. Mulai dari foto-foto di Armenian Street yang jadi destinasi turis, melihat Pinang Peranakan Mansion, sampai ke kuil Budha Sri Mahamariam­ma, semua kami jalani sambil bersepeda bersama. Dari pagi sampai malam. Biasanya usai istirahat makan siang, malamnya kami kembali night ride! Serunya tidak kalah dengan bersepeda berdua, lho. Jadinya jarak dan tanjakan di beberapa sudut kota Penang yang penuh bangunan vintage tak

terasa melelahkan. Biar lebih seru, kami sampai bikin seragam. Dan kalau traveling pastinya wisata kuliner jadi destinasi utama. Makan durian Musang King, berburu roti bakar arang, sampai makan nasi Kandar dan Laksa. Makin lahap karena disantap habis lelah bersepeda. Walaupun jadinya sehat bersepeda dibayar dengan kalori makanan serba enak di Penang.

Batal Traveling Karena Pandemi

Seharusnya Mei 2020 saya dan keluarga terbang ke Osaka untuk liburan, sudah pasti bersama dua sepeda kesayangan. Rencana sudah disusun. Menyusuri sungai Dotonburi pakai Brompton, pasti seru. Tapi, akibat pandemi, rencana pun batal. Entah kapan bisa kembali ke Jepang dan bersepeda di negara favorit keluarga.

Tapi di tengah pandemi, saya dan suami sempat satu kali traveling. Saat itu setelah perjuangan melelahkan mengurus penundaan tiket ke Osaka, kami kesulitan untuk menunda tiket liburan berdua ke Yogyakarta. Akhirnya dengan mengikuti protokol kesehatan, kami nekat terbang ke Kota Gudeg, yang belum pernah kami sambangi untuk bersepeda. Selain liburan, pastinya bikin konten untuk channel Youtube yang bisa untuk dinikmati setelah liburan. Lagi-lagi, kami full gowes selama di Jogja. Sisanya hanya istirahat di hotel. Makanan pun kami pesan online. Ternyata Kota Pelajar ini begitu friendly untuk pesepeda. Karena waktunya singkat, kami berdua hanya sempat mengelilin­gi kota. Dari alun-alun Kidul, menyusuri Malioboro, Prawirotam­an yang sekarang sunyi akibat pandemi, hingga ke pinggiran area Sleman. Tidak lupa mampir ke toko oleh-oleh buat belanja Bakpia Tugu yang sedang digemari. Begitu tenang dan menyenangk­an! Walaupun pasti akan lebih seru jika tidak dalam masa pandemi.

Sambil menunggu giliran vaksin dan berakhirny­a pandemi, saya dan suami kembali menyusuri ibu kota atau Tangerang Selatan, tempat tinggal saya dengan bersepeda. Akhir pekan hukumnya wajib untuk bersepeda. Dan sekarang kesibukan kami bertambah dengan membuat konten Youtube modifikasi sepeda bernama Yaraditya. Jangan lupa subscribe, ya.

Ah, memang bersepeda adalah hobi yang ternyata membawa begitu banyak berkah baru untuk saya dan suami.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia