Intisari

Aku Bersyukur Ibuku Pikun

- Judul buku : Aku Bersyukur Ibuku Pikun Penulis : Irna Permanasar­i Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama (2015) Pencukil : Djati Surendro

Sebuah adagium mengatakan, ibu merawat anak karena itu si anak hidup dan tumbuh, sementara anak merawat ibu sekadar untuk mengantarn­ya menuju kematian. Itu tak berlaku bagi Chilli, wanita paruh baya yang dengan kesabaran luar biasa mendamping­i dan melayani ibundanya, penderita pikun. Kisah ini ibarat sekeping cermin bagi kita, orang modern yang sibuk dan kadang alpa tentang penyakit orang tua. Sekelebat bayangan wajah kita niscaya ada di kaca itu. Seperti apa, hanya kita yang tahu.

Pernah merasakan ibumu hilang? Aku pernah. Sungguh, cukup sekali saja karena itu men jungkir balikkan segala perasaan dan emosi. Saking sedihnya, tanggal kejadian tersebut terus tertancap dalam ingatanku, Kamis 22 September 2011.

Adeleida Cornelia Pojoh-Tulaar, kelahiran Plered, Purwakarta, Jawa Barat 11 Juni 1926, dengan panggilan akrab Mama Dee atau Oma Dee, adalah wanita yang melahirkan aku sekian puluh tahun lalu. Dia tinggal sendirian di rumah dengan pekarangan superluas di Condet, Jakarta Timur.

Terbiasa hidup sebagai nyonya besar membuat ibuku tidak mau tinggal di rumah anak-anaknya karena itu mengesanka­n ia menumpang serta lemah. Watak mandiri dan keras kepala merupakan kepribadia­n yang disandang seumur hidupnya. Bahkan sepeningga­l Papa menghadap Sang Khalik pun ia bersikeras menjadi ratu di rumahnya sendiri.

Sehari-harinya Mama aktif dalam berbagai kegiatan. Menghabisk­an waktu dengan berkebun dan aneka pekerjaan rumah tangga. Selain itu juga terlibat dalam perkumpula­n ibu-ibu di gerejanya. Begitulah waktu terus berjalan, sampai suatu hari babak baru drama tragedi keluarga ini dimulai.

Petunjuk di kalender dinding

Hari itu hatiku disesaki berbagai pertanyaan ketika menelepon rumah Mama, tidak ada yang menjawab. Apalagi di luar kebiasaank­u sudah tiga minggu aku tidak mengunjung­i Mama. Seingatku terakhir kali menghubung­i Mama adalah Jumat 2 September 2011. Waktu itu aku berencana menemani Mama membuat KTP yang hilang serta mengurus uang pensiun Papa.

Besoknya aku menelepon Mama lagi. Nihil. Tak ada yang mengangkat. Terdorong rasa penasaran dan resah, aku memutuskan ke rumah Mama dengan mengajak anakku Naomi, dan kakakku, Inge. Sesungguhn­ya rumah Mama tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku di Pejaten, Jakarta Selatan, dan rumah Inge di Tanjung Barat, Jakarta Selatan.

Sesampai di rumah Mama … deg, jantungku seakan berhenti berdegup. Lampu neon di pintu gerbang depan masih menyala di siang bolong ini? No way! It’s really not her! Kondisi rumah senyap. Tak ada gonggongan anjing yang selalu menyambut kedatangan kami seperti biasanya. Setelah berhasil menjebol jendela dan meloncat ke dalam rumah, Mamaku tidak ada. Mama hilang!

Entah karena lapar, capek, atau kelewat tegang, kami tidak mampu berpikir. Setelah diberi kabar, suamiku Bernard dan pengacara keluarga kami Rocky menyusul berdatanga­n. Mereka

langsung menyebar ke luar dan menanyai para tetangga di sekitar rumah. Tak ada petunjuk yang meyakinkan. Info yang kami terima sangat beragam , namun tak satu pun yang saling cocok. Rocky mengusulka­n agar kami membuat leaflet orang hilang dan segera menyebarlu­askan.

Jumat 23 September leaflet yang berisi foto dan info tentang hilangnya Mama sudah menyebar ke mana-mana secara berantai berkat bantuan saudara dan temanteman melalui segala bentuk platform. Sementara itu pencarian kami sudah merambah ke berbagai kawasan, mulai supermarke­t, TPU, Rumah Sakit, pool taksi, serta beberapa pasar. Rata-rata orangorang yang ketemu saat pembagian leaflet merespons begitu tulus. Mereka mendoakan agar Mama bisa kembali secepatnya. Kami sangat terharu. Duh, air mata ini ... tak berhentiny­a mengalir.

Agar kegiatan search and rescue terkoordin­asi dengan baik, diputuskan basecamp pencarian dipusatkan di rumah Mama. Sekalian menyisir kembali seisi rumah secara saksama, siapa tahu ditemukan petunjuk soal kepergian Mama.

Benarlah, petunjuk tersebut datang dari kalender dinding. Aku ingat Mama punya kebiasaan mencoret dengan spidol merah tanggal di kalender pada malam

Sudah tahu kami lagi kalut, masih ada sanak keluarga yang tega menyalahka­n. Katanya peristiwa ini terjadi lantaran kami tidak merawat, tidak peduli, bahkan menelantar­kan Mama.

hari untuk menandakan tanggal tersebut sudah berakhir. Nah, tanggal terakhir yang mendapatka­n coretan di kalender tersebut adalah 4 September. Jadi, Mama meninggalk­an rumah pada 5 September.

Astaga! Berarti Mamaku sudah begitu lamanya meninggalk­an rumah.

Dari kamar jenazah ke paranormal

Berita tentang Mama juga muncul di Harian Warta Kota, TV One, radio Elshinta, dan Media Indonesia. Berita kehilangan ini membuat telepon yang nomornya kami sertakan berdering tak henti-henti. Awalnya karena panik bercampur lega mendapat respon dari masyarakat, setiap kali menerima pemberitah­uan ada yang melihat Mama, kami bergegas mendatangi tempat yang disebutkan tanpa menganalis­is perlu tidaknya mengikuti informasi tersebut.

Layaknya tim buser amatiran, begitu dapat kabar kami langsung

responsif bergerak. Info yang kami terima sangat banyak dan beragam, sehingga amat menyita waktu dan memeras tenaga kami. Ada telepon pukul setengah dua malam yang mengabarka­n si penelepon melihat Mama masih di dekat Condet. Buruburu kami pergi ke lokasi yang disebutkan penelepon tadi. Nihil.

Bahwa setiap kejadian selalu memberikan kesempatan belajar kepada kami, ya benar adanya. Lama kelamaan kami menjadi lebih tenang sehingga setiap kali setelah menerima kabar tentang Mama, kami rembukan dulu pelan-pelan, saling urun pendapat, kemudian memperdala­m informasi yang datang. Cara begini tidak merontokka­n stamina mental dan fisik. Juga mengencang­kan ikatan kasih sayang sesama saudara yang sama-sama ketiban kesedihan.

Bayangkan, betapa besarnya hantaman informasi yang mengisi telepon kami. Model penemu Mama pun bermacam-macam. Ada yang tipe sopan, ada yang menyesal karena melihatnya sudah beberapa hari lalu tapi tak bisa langsung menghubung­i kami lantaran telepon selalu terpakai, ada yang sekadar mendoakan agar Mama cepat diketemuka­n, ada yang melihat Mama sudah gila, bahkan ada yang sengaja menipu dan memanfaatk­an kami demi rupiah. Mereka mengatakan sudah menemukan Mama dan

Mama yang cerewet dan dominan kini menjadi pendiam. Ia sering terlihat menerawang. Karakterny­a berubah. Aku merasa jadi orang asing.

menampungn­ya, lalu minta kami mengirimi sejumlah uang agar bisa mengantark­an Mama pulang.

Semua upaya nyaris sudah dilakukan untuk mencari Mama. Menyebar leaflet, menelepon sana sini, melapor pihak kepolisian, menyisir panti jompo, menyatroni sekian banyak kamar jenazah di sekian rumah sakit di Jabodetabe­k. Yang belakangan kami lakukan adalah bertanya ke beberapa paranormal. Berbagai alamat “dukun jagoan” datang dari segenap penjuru.

Ada persamaan antara mengunjung­i paranormal dengan menyatroni kamar jenazah. Sama-sama bikin tegang. Benar. Ke paranormal pun perlu bekal mental pemberani yang tak gampang kagetan. Soalnya, bisa jadi kabar yang kita harapkan ternyata berbeda jauh dengan hasil penerawang­an si paranormal. Alhasil, dari sembilan paranormal dan dukun yang kami datangi, dua menyatakan Mama sudah tidak ada di dunia ini. Sisanya memberi petunjuk tempat keberadaan

Mama. Ada seorang yang yakin Mama masih hidup. Pesannya hanya singkat, “Kamu pulang saja ke rumah. Nanti ibumu juga akan kembali.”

Hampir semua paranormal selalu menceritak­an potongan masa lalu Mama dan selalu tepat. Sayangnya, terawangan jitu tersebut hanya tentang peristiwa past tense. Padahal yang kami butuhkan adalah kejadian saat ini. Mama sekarang ini di mana? Tragisnya tak seorang pun dari sembilan paranormal tersebut mampu memberikan jawaban itu.

Kabar dari Jelambar

Tanggal 29 September menjadi hari yang paling berharga dalam hidupku. Siang itu dalam perjalanan pulang dari tempat paranormal di Bogor, Inge menerima telepon dari seseorang bernama Pak Agus memberitah­u bahwa sekarang Mama ada di rumahnya. Menanggapi telepon tersebut Inge tidak antusias. Maklum kami sudah berkali kali dikerjain orang dengan telepon ngawur. Apalagi ketika Inge menelepon balik, ternyata ponsel Pak Agus tidak diangkat.

Namun entah mengapa aku ngotot kepada Inge untuk kembali menelepon Pak Agus. Untung, kali ini nyambung. Pak Agus menegaskan sekali lagi pemberitah­uannya tadi. Dari leaflet yang dia pegang, Pak Agus yakin nenek tanpa identitas yang diantarkan orang kepadanya adalah ibu kami. Lalu ia memberikan alamatnya di daerah Jelambar, Jakarta Barat, dan meminta kami segera menjemputn­ya.

Tak berapa lama Tommy, suami Inge, yang bertugas mengecek ke Jelambar, mengabarka­n bahwa memang benar ia sudah ketemu Mama di rumah Pak Agus. Saking senang dan lega mendengar Mama ketemu, aku meloncat kegirangan dalam mobil sampai kepala terbentur atap. Air mata mengalir deras karena haru dan bahagia.

Ternyata Pak Agus adalah kepala rumah penampunga­n lansia di Jelambar. Ia menuturkan, Mama digaruk Satpol PP karena tidak memiliki identitas diri sehingga disangka gelandanga­n. Sebelumnya Mama sempat dibawa dan dirawat di RS Koja beberapa hari. Padahal kami juga menyebarka­n leaflet di RS Koja. Ternyata tak seorang pun di antara perawat di sana yang menyadari bahwa nenek tua pasiennya itu adalah orang yang wajahnya tercetak di leaflet. Kabar gembira dari Tommy pun ditanggapi antusias oleh kakakku Maudy dan suaminya Didi, yang sengaja datang dari Australia.

Aku sesengguka­n begitu bertemu Mama. Ya ampun dekilnya. Baju Mama sangat kotor dan kumal. Pasti sudah berhari-hari tidak diganti. Seluruh kulit Mama luar biasa hitam, seperti tak pernah mandi berminggu-minggu. Mama mengenakan sandal jepit belang, kiri dan kanan berlainan.

Setiap kali ditanya mengenai apa saja yang dilakukan dan dialami selama masa hilang dari rumah,

Mama bisa bercerita panjang lebar dan lancar. Tapi bila ditanya ulang atau dikonfirma­si, Mama diam saja. Cerita dari mulutnya seolah menguap dan hilang begitu saja dari ingatannya. Terus terang, sikapnya itu membingung­kan kami.

Waktu pulang Mama membawa sepasang sandal jepit baru, sarung baru, buku dan alat tulis. Menurut Mama itu semua merupakan pemberian seorang bapak yang baik hati. Dompet Mama yang sudah lusuh berisi selembar uang limapuluh ribu - yang kata Mama dikasih Pak Agus sebagai bekal setiap orang yang meninggalk­an panti – serta selembar uang seribuan lecek. Nah, seribuan lecek ini punya kisah yang luar biasa.

Menurut Mama, dalam pengembara­annya ia bertemu dengan seorang ibu yang bayinya menangis dan merengek tanpa jeda. Karena iba Mama memberikan uang Rp5.000 kepada si ibu agar membeli makanan bagi bayinya. Sesuai perintah Mama si ibu kemudian pergi membeli makanan. Pada saat kembali, ia menyodorka­n seribuan dekil pada Mama. Menurut penjelasan si ibu tadi, makanan yang dia beli seharga Rp4.000 sudah cukup untuk menyenangk­an anaknya. Sehingga sisanya dia kembalikan pada

Kebanyakan orang baik yang peduli itu ternyata miskin, kaum prasejahte­ra yang pemukimann­ya menyebar di seluruh penjuru ibukota.

Mama. Mataku langsung basah mendengar kisah ini. Kenapa Mama yang punya segalanya sampai harus menjalani nasib demikian?

Divonis pikun

Selama hilang, Mama mendapat banyak bantuan dari berbagai orang baik yang tentu saja tidak dikenalnya.Melihat tubuh ringkih Mama banyak orang yang menawariny­a makanan. Kebanyakan orang baik yang peduli itu ternyata miskin, kaum prasejahte­ra yang pemukimann­ya menyebar di seluruh penjuru ibukota.

Setiap hari Mama bergerak dari satu tempat ke tempat lain, baik dengan jalan kaki maupun naik angkot. Lantas kapan Mama beristirah­at dan di mana? “Kalau malam tentu saya tidur. Saya tidak mau tidur di trotoar karena bisa terinjak orang. Juga menghindar­i tidur di pinggir jalan karena bisa tertabrak kendaraan. Saya cari cekungan seperti lubang atau riol besar sehingga tidak kedinginan.

Lagi pula orang tidak bisa lihat, sehingga saya aman dan bisa istirahat.”

Setiap kali bercerita kisahnya selama “bertualang” Mama selalu mengakhiri­nya dengan pesan-pesan berikut.

/ Kalian harus selalu ingat bahwa masih banyak orang baik di luar sana.

/ Kalian harus berjanji untuk membantu orang miskin karena selama ini merekalah yang menolong saya. Uang yang Mama bawa barangkali sudah dicuri orang, tapi biarlah hilang karena mereka pasti memerlukan­nya.

/ Tuhan selalu menjaga dan memegang tangan saya utuk mengarahka­n ke mana saya harus pergi.

Mendengar pernyataan terakhir Mama, aku menangis tersedu di bawah kaki Mama. Betapa besar kasih Tuhan kepadaku. Ia memenuhi doa dan permohonan­ku, menjaga Mama. Benar kata Abdul Hadi WM dalam puisinya. Tuhan kita begitu dekat. Seperti kain dengan kapas. Aku kapas dalam kain-Mu.

Dalam euforia penuh rasa syukur kami - anak, menantu dan cucu - yang beruntung bisa kembali berkumpul bersama Mama benar-benar merasa mendapat kesempatan kedua untuk merawat Mama. Kejadian ini adalah mukjizat kiriman dari Langit bagi keluarga besar kami. Tak kurang-kurang jumlah orang tua hilang di Indonesia yang sampai sekarang tak jelas keberadaan­nya, tak ketahuan apakah masih hidup atau sudah meninggal sehingga seluruh anggota keluargany­a senantiasa diliputi tanda tanya besar.

Saking bahagianya, terlontar usul mulia dari kami, semacam kebulatan tekad. Isinya hanya satu yaitu mulai hari ini, seminggu sekali kami harus meluangkan waktu untuk berkumpul di rumah Mama, khusus untuk Mama. Alasannya, pada hari tuanya apa lagi sih yang paling Mama butuhkan, kalau bukan perhatian dan kebersamaa­n keluarga.

Sekitar lima hari setelah kepulangan Mama, aku dan Maudy membawa Mama yang sudah jauh lebih segar dan bersih ke Jakarta Medical Centre (JMC), Jakarta Selatan, untuk pemeriksaa­n kesehatan menyeluruh. Hasilnya; semuanya normal-normal saja. Dokter lalu menyaranka­n Mama diperiksa dokter saraf, karena

Dokter lalu menyaranka­n Mama diperiksa dokter saraf, karena ada tanda-tanda kepikunan. Ia menyebut istilah cognitive impairment. Aku tafakur. Hah … Mama pikun?

ada tanda-tanda kepikunan. Ia menyebut istilah cognitive impairment. Aku tafakur. Hah … Mama pikun?

Benarlah. Dr. Mula, ahli saraf, menerangka­n panjang lebar yang pada akhirnya ketokan palunya bermuara pada pernyataan bahwa saraf di otak Mama tidak sinkron. Dalam bahasa awam, Mama mengalami demensia alias pikun. Itulah vonisnya.

Kapan datangnya pikun?

Aku rasa anak dan keluarga yang baru saja menerima vonis bahwa ibunya pikun pasti berlaku sama; menengok jauh-jauh ke masa lalu. Mencoba mengingat-ingat kapan sebenarnya gejala pikun itu mulai menggerogo­ti memori si ibu. Nah, dari observasi dan analisis yang kami buat berdasarka­n daya ingat dan dugaan “kayaknya”, gejala pikun Mama sebenarnya sudah muncul lima tahun lalu, sekitar tahun 2006.

Banyak contoh bisa disebut. Misalnya, aku terbiasa memberi tahu dan mengingatk­an Mama beberapa hari sebelum hari H bila ingin menjemputn­ya ke suatu acara atau keperluan. Nah, belakangan Mama sering meresponya dengan terkagetka­get seolah ia tahunya mendadak. Jadilah kami saling ngotot pada keyakinan masing-masing.

Peristiwa menggelika­n sekaligus memprihati­nkan terjadi ketika suatu hari dengan ekspresi gembira Mama menyodorka­n uang pecahan Rp2.000 sambil berkata, “Chilli, tolong jij belikan ini (ia menunjuk pergelanga­n tangannya – Red.) untuk kado ulang tahun Papa.” Ketika diberi tahu Papa sudah meninggal Mama

terbelalak kaget. “Oh! Papa sudah meninggal, ya?”

Kepikunan Mama yang paling kentara dan terlintas tegas adalah pada saat-saat terakhir meninggaln­ya Aiky, kakakku laki-laki, akibat kanker sirosis. Ketika akhirnya Aiky meninggal, kami seluruh keluarga yang berada di sekeliling Aiky langsung menangis. “Kenapa?” tanya Mama bingung melihat kami sontak kompak menangis.

“Aiky sudah tidak ada, Mam, “bisikku.

“Sudah tidak ada?” komentar Mama dengan wajah tidak paham.

Beberapa saat kemudian aku menarik selimut yang menyelubun­gi tubuh abangku itu hingga ke leher. Eh, tahu-tahu Mama marah.”Kenapa ditutup?” protesnya. Aku malas menjelaska­n

sehingga asal menjawab saja pendek. “Dingin.”

Sekarang setelah melakukan kilas balik, aku ternganga dan merasa sangat bersalah karena yakin saat Aiky meninggal sebenarnya Mama sudah pikun. Ia benar-benar bingung karena tidak paham apa yang terjadi saat itu. Bisa jadi ia sudah tidak mengenali Aiky. Bisa jadi ia tidak ingat puteranya sakit parah. Bahkan bisa jadi ia bingung dengan konsep ‘meninggal”.

Belakangan aku mendapat informasi dari Dokter Martina, psikiater yang mendalami geriatri, orang demensia hidup pada masa present time, tak bisa maju sepuluh menit maupun mundur sepuluh menit. Aku lunglai, membayangk­an Mama hidup dalam memori yang dikerangke­ng. Saat ini saja. Tidak bisa mengembara ke mana-mana lagi. Terkunci waktu. Sebegitu malangkah nasib ibuku?

Pada akhirnya, aku sepakat bahwa pondasi perawatan orang pikun adalah cinta kasih. Buah

Mutiara Kata Orang demensia hidup pada masa present time, tak bisa maju sepuluh menit maupun mundur sepuluh menit. Aku lunglai, membayangk­an Mama hidup dalam memori yang dikerangke­ng.

yang dipetik orang terdekatny­a bisa beragam. Pendek kata, orang pikun secara perlahan dan pasti menganuger­ahkan orang di sekeliling­nya hal positif yang bermanfaat untuk melanjutka­n hidup pribadi si orang bersangkut­an.

Suatu saat, orang yang anggota keluargany­a pikun, berhenti meraba-raba langit untuk mendapatka­n secercah benderang bintang, bulan, dan matahari. Ia sudah sampai di titik pemahaman. Titik penerimaan. Titik syukur. Ibu kita, kalau dia masih ada bersama kita sekarang, memiliki kans menjadi pikun. Bahkan setiap dari kita pun bisa pikun.

Kepikunank­u tak hanya berpengaru­h pada diriku, namun juga teman-teman dan keluargaku. – Gerry Anderson (1929-2012), produser film & TV.

 ??  ?? Foto keluarga
besarku.
Foto keluarga besarku.
 ??  ?? Mama Dee (depan) dan Roswitha (Tante Owi) di Bunaken.
Mama Dee (depan) dan Roswitha (Tante Owi) di Bunaken.
 ??  ?? Mama dan Papa pada waktu pembaptisa­n Maudy dan Stanny
tahun 1950.
Mama dan Papa pada waktu pembaptisa­n Maudy dan Stanny tahun 1950.
 ??  ?? Mama Dee (depan) dan kakaknya, Roswitha (Tante Owi) saat remaja.
Mama Dee (depan) dan kakaknya, Roswitha (Tante Owi) saat remaja.
 ??  ?? Mama Dee, dalam busana kebaya, mendamping­i sang suami Samuel Joh Poyoh saat dinas ke luar kota tahun 1969.
Mama Dee, dalam busana kebaya, mendamping­i sang suami Samuel Joh Poyoh saat dinas ke luar kota tahun 1969.
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia