RAHASIA DOKTER YANG JARANG DIKETAHUI PASIEN
Pernah mengalami pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan oleh dokter ataupun rumah sakit? Atau merasa dicurangi hingga harus mengeluarkan biaya lebih dari yang seharusnya? Berikut adalah penelusuran dan penjelasan sehingga kita bisa lebih memahami dokter serta terhindar dari hal-hal yang merugikan.
Menemukan dokter yang cocok dan pas di hati memang gampang-gampang susah. “Saya pernah berobat ke dokter. Tidak ada pemeriksaan tapi oleh si dokter langsung dituliskan resep obatnya,” keluh Linna (30).
Padahal Linna berharap lebih dari itu. Karena tidak puas dan tidak yakin sebab hanya sekadar ditanya keluhannya apa lalu diberikan resep, akhirnya Linna pun mendatangi dokter lain di rumah sakit berbeda.
Anda pernah mengalami hal serupa?
Etika profesi dokter
Memang tidak semua dokter seperti itu. Tapi bolehkah seorang dokter melakukan hal tersebut?
“Jujur saya pernah melakukan hal seperti itu, “ungkap dr. Gilang ( bukan nama sebenarnya), dokter umum di salah satu rumah sakit pemerintah. Kejadian tersebut terjadi lantaran antrean pasien yang membludak. Khususnya pasien asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sehingga penanganan pasien tidak dapat dilakukan secara komprehensif.
Selain itu, penerapan aturan bahwa dokter tidak boleh menolak pasien menyebabkan penumpukan pasien di beberapa pusat kesehatan. Walau dokter sudah kewalahan, pasien tetap harus diterima.
“Sejatinya, kami para dokter sudah mengucapkan sumpah dokter. Salah satu isinya adalah mengutamakan dan mendahulukan kepentingan pasien di atas kepentingan pribadi,” kata Prof. Dr. I. Oetama Marsis, SpOG (K), Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PBIDI). Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia telah diatur bahwa pasien merupakan prioritas utama.
Masalahnya, aku Marsis, memang ada dokter yang tidak melakukan tugasnya dengan baik. Ini bergantung kepada situasi dan kepribadian dokter itu sendiri.
Menanggapi soal peresepan obat tanpa pemeriksaan tadi, Marsis menduga hal itu mungkin terjadi. Misal, seorang dokter yang bertugas di Puskesmas. Ia harus menangani sekitar 200 pasien/ hari. Aturannya, pemeriksaan dan diagnosis mesti dilakukan sekitar 15-20 menit. Tapi bayangkan, satu orang dokter harus menangani 200 pasien, mungkin seharian pun tidak akan cukup.
Hal itu yang membuat dokter kadang begitu terburu-buru dalam melakukan pemeriksaan. Tapi, perlu digarisbawahi, dokter wajib melakukan prosedur pemeriksaan sesuai dengan urutan dan standar. Jadi, kalau ada dokter yang tidak melakukan analisis dan pemeriksaan fisik, tapi langsung meresepkan obat, artinya ia tidak menjunjung tinggi etika profesi.
“Dokter yang baik tidak akan melakukan itu. Soal pemeriksaan cepat, kami akui, kami melakukannya karena keterbatasan waktu. Tapi tanpa diagnosis, itu namanya terkun, dokter dukun,” tegas Marsis.
Masalahnya, fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia belum merata dan bagus betul. Coba kita lihat penerapan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui asuransi BPJS. Program ini, sebut Marsis, merupakan program yang sangat positif meski pelaksanaannya belum sempurna.
Di Indonesia, ada sekitar 9.800 Puskesmas, tapi 30% di antaranya dalam keadaan rusak. Artinya, sarana dan prasarananya tidak baik. Bahkan, ungkap Marsis, 10% Puskesmas di Indonesia, tidak mempunyai dokter. Bagaimana mau memberi pelayanan maksimal jika Puskesmas rusak, tidak ada peralatan, tidak ada obat, dan prasarana lainnya?
“Ya satu-satunya cara ya membuat rujukan. Jadi bukan karena kompetensi dokternya yang kurang, namun fasilitas tadi tidak mendukung,” ujar Marsis lagi.
Meski begitu, penyebab dokter memberikan resep tanpa memeriksa tidak melulu karena keterbatasan fasilitas. “Saya pernah langsung meresepkan obat karena pasien langsung datang menjelaskan penyakitnya sendiri sembari meminta obat yang direkomendasikan dokter lain,” tutur Gilang.
Gilang merasa tidak menyalahi etika kedokteran sebab ia menghargai hasil pemeriksaan dokter sebelumnya. Namun sejujurnya, kata Gilang, ia enggan berdebat dengan pasien yang sok tahu dan tidak percaya pada dokter. Pasalnya pasien lain sudah antre menunggu di luar.
Menanggapi hal ini, sesama rekan sejawat, dr Haris ( bukan nama sebenarnya) yang juga bekerja di rumah sakit pemerintah menyarankan agar pasien bisa lebih cermat dan cerdas. Biar tidak rugi dan sama-sama saling menghargai.
“Tunjukkan kekhawatiran pasien pada dokter. Sampaikan bahwa pasien benar-benar khawatir dengan keadaannya,” kata Haris memberikan tips. Hal ini akan memancing dokter untuk memberi respons dan waktu yang lebih pada pasien.
Efek samping obat
Banyak kasus terjadi, pasien dan dokter sering terjebak dalam komunikasi satu arah. Pasien hanya diam saja atau tidak aktif bertanya kepada dokter tentang penyakit dan obatnya. Akibatnya banyak terjadi kesalahpahaman. Soal efek samping obat, misalnya.
Fakta berbicara semua obat pasti punya efek samping. Namun tidak semua efek samping itu diketahui oleh pasien. Penyebab utamanya adalah kurangnya komunikasi dua arah. Ditambah
lagi, karena keterbatasan waktu, dokter sering lupa menjelaskannya. Padahal pasien dan keluarganya berhak untuk mengetahui semua penanganan si dokter dengan detail.
“Dalam pendidikan kedokteran, kami juga diajari bagaimana membangun komunikasi dengan pasien. Kalau dokter itu punya pribadi yang baik, dia akan mengejawantahkannya dengan baik. Kalau ia tidak baik, ya itu soal oknum, tidak bisa digeneralisasikan,” terang Marsis.
Marsis mencontohkan, misal penggunaan antibiotik dan obat keras. Dokter wajib memberikan penjelasan efek samping obat yang mungkin saja terjadi pada pasien. Misalnya, alergi dan penurunan kesadaran. Sehingga apabila hal itu terjadi, pasien juga bisa langsung sigap.
Oleh karena itu, penting sekali untuk bertanya pada dokter. Silakan bertanya dengan sopan kepada dokter. Dokter yang baik pasti akan menjawab. Kecuali, pasien bertanya dengan tidak sopan bahkan cenderung tahu segalanya. “Kadang ada pasien yang lebih percaya analisisnya sendiri ketimbang analisis dokter,” kata Haris menyesalkan.
Jangan takut bertanya
Tidak hanya Linna, ternyata Mulio juga mengalami hal pengalaman buruk dengan pelayanan kesehatan. Saat membawa putrinya ke rumah sakit akibat demam tinggi yang tak kunjung reda, anaknya disarankan untuk rawat inap. Tentu sebagai orangtua, Mulio khawatir. Jadilah Anya, putri sulungnya itu terdaftar sebagai pasien rawat inap.
Esoknya, sebenarnya kondisi Anya sudah membaik. Wajahnya juga segar tanda sehat. Namun, saat Mulio menanyakan apakah ia sudah boleh pulang, pihak rumah sakit menolak. Karena takut terjadi sesuatu, Mulio mengiyakan saja. Padahal si anak sudah pulih. Namun mereka harus tinggal selama empat hari di rumah sakit tersebut.
“Perlu diketahui, pemberi pelayanan kesehatan (PPK) yaitu klinik, Puskesmas, dan rumah sakit juga
mengeluarkan dana untuk pelayanan kesehatan itu. Itulah sebabnya ada kalanya PPK tersebut mewajibkan rawat inap pada pasien,” aku Haris. Sebenarnya bukan mengejar keuntungan. Tapi setidaknya modal biaya perawatan itu terganti. Istilahnya, ya balik modal.
Tapi tetap saja, menurut Marsis, hal tersebut tidak dibenarkan. Itu artinya penyimpangan Standar Operasional Prosedur (SOP). Sebab pasien dirawatinapkan tentu ada prosedurnya. Tidak sem- barangan. Kalau penyimpangan prosedur terjadi, apalagi merugikan pasien, bisa dikenakan sanksi pelanggaran disiplin. “Kalau ada kasus begitu, laporkan saja pada Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia (MKKD). Jika terbukti, akan disidang,” katanya.
Rumah sakit mesti terbuka dan transparan. Jangan demi kepentingan sendiri, malah merugikan pasien. Sanksi pelanggaran disiplin penyimpangan SOP tadi berlaku untuk semua pelayanan kesehatan.
Jika dokter terlibat, ia akan berurusan langsung dengan Konsil Kedokteran Indonesia. Kalau ada pelanggaran etika kedokteran, sanksi akan diberikan oleh IDI. Dan jika rumah sakit terbukti melakukan pelanggaran, hukum pidana dan perdata berlaku di situ.
Nah, di sinilah, terang Gilang, integritas seorang dokter teruji. Jika dokternya baik, ya pasti akan menolak. Namun kalau dokternya nakal, inilah yang perlu diwaspadai.
“Tapi jangan karena terlalu curiga pada RS, akhirnya memaksa keluar dari RS,” saran Gilang lagi. Karena memang ada kasus pasien harus dirawat berhari-hari terlebih dahulu demi melihat penyebab dan jenis penyakit pasien. Sekali lagi, agar tidak terjadi kesalahpahaman jangan sungkan bertanya pada dokter.
Pemeriksaan yang tidak perlu
Ada pula peristiwa lain yang sering dianggap merugikan pasien. Ketika berobat di sebuah rumah sakit, seorang pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan ini dan itu, padahal sebenarnya tidak diperlukan. Walhasil, biaya yang dikeluarkan pasien jadi membengkak.
Kondisi ini sebut Gilang memang bisa saja terjadi. “Kalau saya, akan ada perasaan bersalah jika meminta pasien melakukan pemeriksaan namun ternyata ia tidak mengalami seperti yang saya curigai,” tutur Gilang. Nah, karena itu penting untuk memilih dokter yang kompeten juga dokter yang memikirkan efektivitas biaya pemeriksaan.
Kalau biaya perobatan mahal karena kualitasnya, ya tidak jadi masalah. Karena biasanya obat atau alat kesehatan yang mahal proses pengadaannya tidak murah. Wajar saja jika harganya mahal, sebab kualitasnya juga lebih terjamin. Dalam hal ini, sah-sah saja dokter menawarkan perawatan yang lebih berkualitas.
Apalagi jika indikasi penyakitnya memang membutuhkan obat dan perawatan dengan biaya mahal, tentu dokter tidak bisa dipersalahkan. Tapi jika ada tangan-tangan nakal dokter yang melakukan pemerasan karena haus uang, itu sudah penyimpangan namanya.
Mutiara Kata “Kargo terberat dalam kehidupan anak manusia adalah iri dan rasa dendam.” Sudjiwo Tedjo, seniman Indonesia.