Intisari

MENGAPA LIRIK LAGU INDONESIA RAYA MEMILIH KATA: “.. DI SANALAH AKU BERDIRI ..”?

- (Nat)

Segelintir orang, masih menempelka­n stereotip pada etnis tertentu. Misalnya saja etnis Tionghoa agaknya mendapatka­n diskrimina­si dari etnis lain. Sejak zaman penjajahan, etnis berkulit kuning ini dijadikan “kambing hitam” dan dianggap bukan warga asli Indonesia.

Sarat kebencian atau ketidaktah­uan mengantark­an diskrimina­si tersebut terulang menjadi pola yang tidak sehat. Jejak sejarah bagaimana orang-orang Tionghoa ikut berperang melawan penjajah seolah dihapuskan. Orang-orang Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia (disebut peranakan Tionghoa) bahkan tidak mudah mendapat pengakuan sebagai saudara sebangsa.

Berbagai diskusi akhirnya dilakukan untuk membahas bagaimana

orang-orang Tionghoa ikut berpartisi­pasi bagi kemerdekaa­n Indonesia. Setidaknya 25 tahun terakhir, diskusi tentang betapa hebatnya orang-orang Tionghoa yang berperan dalam pembanguna­n bangsa dilakukan sebagai reaksi terhadap diskrimina­si.

“Sudah cukuplah usaha-usaha seperti itu. Kita harus ke bab yang berikutnya,” kata Prof. Ariel Heryanto, PhD dalam diskusi “Peranakan Tionghoa dalam Kebhinneka­an Bangsa Indonesia” dan bedah buku Peranakan Tionghoa Indonesia – Sebuah Perjalanan Budaya edisi ketiga di Bentara Budaya Jakarta (15/11).

Menurut Ariel, pada awalnya memang perlu digaungkan mengenai kontribusi dan kehebatan peranakan Tionghoa bagi bangsa Indonesia. Namun tidak terusterus­an. Betapa bermasalah­nya suatu bangsa jika masyarakat di dalamnya saling tidak menghargai.

“Kebangsaan kita ini yang sekarang kita pahami minimal setengah abad terakhir itu beda dengan kebangsaan yang dulu diperjuang­kan patriotis,” ujar guru besar Kajian Indonesia di Monash University, Melbourne ini.

Kebangsaan yang cacat, begitu Ariel menyebut kebangsaan yang sekarang. Pasalnya, yang dipahami masyarakat Indonesia adalah kebangsaan yang primordial dan SARA. Padahal dahulu, bangsa dipahami sebagai suatu proyek masa depan, “kerja bareng” untuk mewujudkan kehidupan yang baik, adil, setara dsb.

Logika yang salah jika menyebut bangsa ini sebagai warisan. Kiblatnya bukan 70 tahun lalu, lebih jauh lagi, berabad-abad lalu. Akibatnya, sebagian orang mengklaim dirinya memiliki hak waris istimewa atas bangsa ini. Tentu saja tidak demikian kebenarann­ya.

Kiblat sebuah bangsa seharusnya ke depan. Ingatkah Anda dengan sepenggal lirik lagu Indonesia Raya? “Indonesia Tanah Airku, tanah tumpah darahku, di sanalah aku berdiri..”

Pemilihan kata “di sana”merujuk pada angan-angan masa depan, Indonesia yang perlu kita wujudkan. Tentu saja hal itu akan terjadi jika saudara sebangsa tidak saling berebut menyatakan siapa yang paling hebat.

Diskusi bedah buku Peranakan Tionghoa Indonesia – Sebuah Perjalanan Budaya yang diterbitka­n Komunitas Lintas Budaya bersama Intisari, digelar bersama Pameran Batik Peranakan ini memperkaya khazanah budaya peranakan di Nusantara.

Dimoderato­ri Lily Wibisono dan Irwan Julianto, suasana diskusi berlangsun­g nyaman dan interaktif. Diskusi ini secara khusus membahas perpaduan kultur yang terjadi selama perjalanan eksistensi kaum Tionghoa dalam sejarah negeri ini.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia