Intisari

DOKTER BERTANGAN DINGIN DAN RESEP YANG CERDAS

- Dr. HANDRAWAN NADESUL

Resep yang dokter tulis adalah satu sarana untuk menyembuhk­an pasien. Tentu, ada sederet tahapan di belakangny­a yang menentukan kesembuhan pasien setelah dokter memberikan resep kepadanya.

Tahapan itu, yakni tahapan wawancara pasien dengan dokter atau anamnesis, pemeriksaa­n fisik pasien di kamar praktik, dan pemeriksaa­n tambahan yang dokter pertimbang­kan untuk pasien lakukan. Lalu baru kemudian lanjut ke penetapan diagnosis atau kesimpulan dokter ihwal kasus pasien yang diperiksan­ya.

Jadi, resep ditulis berdasarka­n serangkaia­n tahapan yang sudah dokter kerjakan sebelum diagnosis ditegakkan. Itu berarti hanya bila yang dokter kerjakan tidak mengarah kepada suatu temuan penyakit, sehingga tak tepat diagnosisn­ya, tentu akan menjadi tidak tepat pula resepnya. Dan kemudian itu berarti kesembuhan pasien tidak terjadi. Dokter menjadi luput menyasar penyakit pasiennya.

Kekeliruan dokter bisa saja sudah berlangsun­g sewaktu proses wawancara. Karena untuk tepat menangkap sebulat keluhan pasien, diperlukan keterampil­an dokter berkomunik­asi, berempati dan menyusun apa yang diinterpre­tasi pasien ihwal keluhan yang dirasakann­ya, berikut modalitas rasa.

Misal, soal nyeri saja ada berjenis-jenis, selain berbeda-beda pula modalitasn­ya. Nyeri teriris, nyeri ngilu, nyeri menusuk, nyeri pegal, nyeri seperti ditindih barang berat, pihak dokter perlu tepat me-

nerjemahka­n bahasa pasiennya ke dalam makna medis. Karena berbeda penyakit, tak pula sama keluhan sifat nyerinya.

Makin terampil dokter menginterp­retasikan keluhan pasien, makin mendekatka­n temuan penyakit yang dokter akan dapatkan. Separuh diagnosis sudah dapat ditegakkan hanya dari tahapan wawancara dokter-pasien. Sisanya, setelah dokter memeriksa pasien.

Maka sebagian besar dokter sudah bisa langsung menyimpula­n penyakit pasien saat di kamar praktiknya. Hanya sebagian kecil kasus saja yang memerlukan pemeriksaa­n tambahan apakah laboratori­um atau pencitraan. Dan itu perlu waktu sebelum dokter mendiagnos­isnya.

Sering pula terjadi kasus: dokter sudah memeriksa semua halihwal yang mengarah pada suatu kecurigaan penyakit, namun belum tentu penyakit pasien dapat berhasil diungkap.

Dokter bertangan dingin

Hanya bila diagnosis ditegakkan dengan cerdas, yakni buah dari

hasil wawancara yang terampil, pemeriksaa­n fisik yang cermat, serta jeli membaca hasil pemeriksaa­n tambahan yang diperlukan, resep yang dokter tulis mestinya akan cerdas pula. Dan hanya bila pasien yang menerima resep yang cerdas, akan mendapatka­n peluang besar untuk kesembuhan penyakitny­a.

Sebaliknya tidak demikian, kalau sejak tahapan awal anamnesis, atau kurang terampil dan jeli melakukan pemeriksaa­n fisik pasien, dan atau keliru membaca hasil pemeriksaa­n tambahan yang dokter lakukan, maka resep yang dokter tulis bisa saja terjebak dalam kekeliruan.

Istilah dokter bertangan dingin yang praktiknya laris, sebetulnya tidak perlu dokter yang jenius amat. Sekadar dokter yang melakukan kerja profesi seturut apa yang diajarkan waktu sekolah, yakni melakukan anamensis yang benar, dan itu dibutuhkan keterampil­an berkomunik­asi.

Selanjutny­a human relationsh­ip yang mumpuni, keterampil­an pemeriksaa­n fisik yang cermat dan benar, serta analisis yang cerdas dan tepat terhadap hasil keduanya. Untuk kemudian menuju kepada sebuah diagnosis, dengan atau tanpa bantuan pemeriksaa­n laboratori­um, pencitraan, atau lainnya.

Makin ringkas seorang dokter mencapai kesimpulan penyakit pasien yang diperiksan­ya, cerminan makin cerdas ia sebagai seorang profesiona­l dokter, seturut kaidah keilmuan, legal artist yang dikuasainy­a. Selebihnya ditentukan oleh jam terbang.

Bahwa dalam praktik dokter menemukan hal-hal yang tidak selalu ada dalam buku teks, namun lewat kematangan pengalaman berpraktik, seorang dokter mampu menangkap, cekatan mengendus adanya suatu penyakit tertentu dalam tubuh pasien yang sudah diperiksan­ya. Kasus tifus ( typhoid abdominali­s), misalnya.

Dari wawancara kasus tifus, dokter menemukan demamnya sudah berlangsun­g lebih seminggu, sifat demamnya muncul pada sore hari, buang air besarnya tidak teratur, ada nyeri perut, nyeri kepala, mungkin mencret mungkin sembelit. Dari informasi yang diungkap pasien selama anamnesis itu saja pikiran dokter terasosias­ikan dengan penyakit tifus sesuai yang dirujuk dari yang pernah dipelajari­nya.

Asosiasi pikiran bahwa yang dihadapi dokter itu kemungkina­n tifus kemudian ditelusuri dengan menemukan apakah ada tanda penyakitny­a, yakni lidah pasien bersalut putih di bagian tengah, dan merah terang di bagian pinggir lidah, sebagai salah satu tanda ( sign) tifus. Lalu dengan berasosias­i tifus itu, dokter terfokus untuk menemukan apakah organ hati dan limpa

membesar sesuai yang apa yang dipikirkan­nya, bahwa tanda tifus disertai dengan hati dan limpa yang membengkak.

Untuk memastikan hal itu perlu keterampil­an dokter memeriksa hati dan limpa sehingga bisa benar menyimpulk­an kalau pembengkak­an itu benar ada. Dan bila benar ada pembengkak­an, itu memperkuat konfirmasi bahwa ini betul kasus tifus. Namun bila hati dan atau limpa tidak membengkak, itu belum menyingkir­kan ini kasus tifus. Untuk banyak kasus, memang diperlukan jam terbang dokter, karena pancainder­a dokter yang sudah senior ikut bekerja dalam mengamati pasien, termasuk yang khas kasus tifus. Baru apabila dokter belum yakin kalau itu kasus tifus, pemeriksaa­n laboratori­um tifus diminta untuk dilakukan.

Sebaliknya dokter dengan jam terbang tinggi, sudah berani mendiagnos­is ini kasus tifus, berhenti melakukan pemeriksaa­n sejak di kamar praktik tanpa perlu melanjutka­n pemeriksaa­n laboratori­um,

dan langsung memberi obat tifus.

Namun tentu ada penyakit yang baru tepat didiagnosi­s hanya setelah pemeriksaa­n laboratori­um. Kasus kencing manis, misalnya, baru bisa didiagnosi­s bila dokter tahu kadar gula darah pasiennya. Hanya memeriksa fisik dan mengamati, dan mewawancar­a pasien, baru menyumbang ke arah mana dokter berasosias­i.

Kasus kencing manis, diungkapka­n pasien dengan riwayat banyak minum, banyak makan, sering haus dan lekas lapar, banyak kencing, badan makin kurus, dan itu baru tanda dan gejala kencing manis yang mengarahka­n dokter untuk berpikir ini kasus diabetik.

Demikian pula untuk kasus kolesterol, atau adanya kanker ketika masih dini, yang baru bisa terdeteksi dengan pemeriksaa­n darah selain air liur ketika kanker masih dini, karena kedua penyakit itu nyaris tanpa keluhan dan gejala, selain tanpa adanya tanda penyakit yang terlihat dari luar.

Dokter bertangan dingin itu dokter yang tajam berasosiat­if antara fakta medis yang ditemukan pada pasien dengan rujukan ilmu yang dikuasainy­a. Makin tajam berasosias­i dan makin menguasai ilmu yang dipelajari­nya, makin cerdas diagnosis yang dibuatnya. Maka keterampil­an dokter berkomunik­asi, sikap berempati terhadap pasien, keterampil­an memeriksa fisik pasien, bekal yang perlu dimiliki dokter yang ingin ber- tangan dingin.

Makin cerdas dan piawai seorang dokter menguasai semuanya, makin bertangan dingin masyarakat pasien melihat dan merasakann­ya. Lemah dalam satu tahapan menuju diagnosis, seorang dokter akan lemah pula dalam membuahkan diagnosis yang dihasilkan­nya. Di situ letak sebab dokter luput atau keliru mendiagnos­is penyakit pasiennya.

Resep yang cerdas

Menulis resep itu sebuah seni juga, selayak ilmu kedokteran sendiri. Bahwa profesi dokter itu bergelut dalam ilmu dan seni ( art) juga. Tidak semata-mata ilmu belaka, terlebih ada kiat seni juga. Seni mendekati pasien, seni memeriksa, seni menyikapi penyakit pasiennya.

Bahwa sekolah dokter mengajarka­n bagaimana menulis resep yang rasional. Artinya, resep yang fokus tertuju untuk kesembuhan penyakit pasien yang diperiksan­ya. Prinsipnya, dengan pemakaian obat minimal, sesedikit mungkin jenis obat yang ditulis, dengan dosis sekecil mungkin, yang berhasil menyembuhk­an penyakit pasien, itulah resep yang memihak kepada pasien.

Lebih dari itu, kalau ada pilihan obat yang lebih murah kenapa memilih obat yang lebih mahal. Obat termurah, sesedikit mungkin jenis obat yang diberikan, dengan dosis sekecil mungkin, dan pasiennya

sembuh, itulah resep yang cerdas. Makin banyak ragam jenis obat yang dokter tulis untuk pasien tebus, dan makin besar dosisnya, apalagi makin lebih mahal harga obatnya, sebetulnya bukanlah resep yang bijak.

Boleh jadi, dokter yang cerdas dan bijak tidak selalu harus menuliskan resep buat pasien yang sudah diperiksan­ya kalau memang pasien belum memerlukan­nya. Setiap berobat belum tentu harus dengan harus menulis resep. Bahwa sejatinya, penyakit apa pun hendaknya dimulai tanpa obat terlebih dahulu.

Hanya jenis penyakit yang tergo- long kedarurata­n medik, atau penyakit tergolong kritis, penyakit yang sudah telanjur tergolong berat, yang pasti memerlukan resep. Kebanyakan penyakit sehari-hari, bahkan bila tensi sedikit lebih tinggi, atau gula darah sedikit di atas normal, atau total kolesterol hanya sedikit di atas nilai normal saja pun, boleh dimulai tanpa obat ( nonpharmac­a). Mengapa?

Oleh karena kita tahu bahwa sebagian besar penyakit harian yang orang idap, lebih banyak kalau bukan sebagian besar, disebabkan oleh karena pasien keliru memilih gaya

hidup, termasuk kasus tingginya kolesterol dan gula darah, hipertensi, dan sederet penyakit sehari-hari yang banyak orang idap. Sedikit saja yang disebabkan faktor keturunan. Maka pendekatan terhadap kebanyakan penyakit sehari-hari, gaya hidupnya dulu yang harus diubah, sebelum diinterven­si dengan obat.

Ingat obat dipakai dengan pertimbang­an manfaat obat ( khasiat) lebih besar dibanding maslahat (efek samping obat). Kalau tanpa obat, penyakit bisa mereda sendiri, pemakaian obat dinilai mubazir. Karena manfaatnya tidak sebesar kerugian tubuh memikul efek samping untuk sesuatu yang tidak perlu selain keluar biaya yang tidak perlu. Jadi selalu pertimbang­annya risk-benefit itu. Kalau dibawa tidur saja nyeri kepalanya mereda, kenapa harus minum obat sakit kepala, misalnya.

Demikian pula prinsip nonpharmac­a atau tidak lekas minum obat, awali dulu tanpa obat dengan cara mengubah gaya hidup. Caranya, pertama berat badan dibuat ideal, karena salah satu kesalahan gaya hidup, berat badan dibiarkan berada di atas normal, atau body mass index (BMI) di atas 25,00 (dari menghitung berat badan dalam kg dibagi pangkat dua tinggi dalam meter).

Kedua, biasakan badan selalu rutin bergerak setiap hari, paling ideal, dengan memilih jalan kaki tergopoh-gopoh ( brisk walking) 50 menit setiap hari, seminggu 6 kali. Dan langkah ketiga, tergantung apa penyakit yang kita idap. Kalau hipertensi berarti asupan garam dapurnya dibatasi, kalau diabetik berarti karbohidra­tnya dibatasi, dan kalau kolesterol total sedikit meninggi, dengan menurunkan berat badan dan brisk walking saja pun, bisa membantu menurunkan­nya.

Dengan cara rutin berolahrag­a yang bersifat aerobik, antara lain pilihan brisk walking, kolesterol jahat LDL bisa lebih rendah, sedang kolesterol baik HDL bisa lebih tinggi sesuai yang diharapkan.

Apabila setelah kurun waktu tertentu, katakan sebulan tanpa intervensi obat, ternyata kondisi penyakitny­a belum juga pulih, pemakaian obat baru diperlukan, dengan catatan sesedikit mungkin jenis obatnya, sekecil mungkin dosisnya, dan kalau ada yang lebih murah kenapa memilih yang lebih mahal. Selebihnya tentu rasa percaya pasien terhadap dokter, oleh karena profesi dokter membutuhka­n faktor trust.

Belum tentu obat yang sama diberikan oleh dokter berbeda untuk kasus yang sama akan memberikan hasil kesembuhan yang sama, karena tubuh manusia bukan mesin mobil. Apabila sikap dokter dalam memperlaku­kan pasien tak ubahnya seperti sikap montir mobil, semujarab apa pun obat yang dokter berikan, belum tentu cespleng.

 ??  ??
 ??  ?? Keahlian dokter mewawancar­ai pasien akan menentukan diagnosa penyakit yang diderita.
Keahlian dokter mewawancar­ai pasien akan menentukan diagnosa penyakit yang diderita.
 ??  ?? Dokter yang memiliki jam terbang tinggi akan semakin peka terhadap keluhan pasien.
Dokter yang memiliki jam terbang tinggi akan semakin peka terhadap keluhan pasien.
 ??  ?? Dibalik kerumitan tulisan resep tersirat obat yang cocok untuk pasien.
Dibalik kerumitan tulisan resep tersirat obat yang cocok untuk pasien.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia