DOKTER BERTANGAN DINGIN DAN RESEP YANG CERDAS
Resep yang dokter tulis adalah satu sarana untuk menyembuhkan pasien. Tentu, ada sederet tahapan di belakangnya yang menentukan kesembuhan pasien setelah dokter memberikan resep kepadanya.
Tahapan itu, yakni tahapan wawancara pasien dengan dokter atau anamnesis, pemeriksaan fisik pasien di kamar praktik, dan pemeriksaan tambahan yang dokter pertimbangkan untuk pasien lakukan. Lalu baru kemudian lanjut ke penetapan diagnosis atau kesimpulan dokter ihwal kasus pasien yang diperiksanya.
Jadi, resep ditulis berdasarkan serangkaian tahapan yang sudah dokter kerjakan sebelum diagnosis ditegakkan. Itu berarti hanya bila yang dokter kerjakan tidak mengarah kepada suatu temuan penyakit, sehingga tak tepat diagnosisnya, tentu akan menjadi tidak tepat pula resepnya. Dan kemudian itu berarti kesembuhan pasien tidak terjadi. Dokter menjadi luput menyasar penyakit pasiennya.
Kekeliruan dokter bisa saja sudah berlangsung sewaktu proses wawancara. Karena untuk tepat menangkap sebulat keluhan pasien, diperlukan keterampilan dokter berkomunikasi, berempati dan menyusun apa yang diinterpretasi pasien ihwal keluhan yang dirasakannya, berikut modalitas rasa.
Misal, soal nyeri saja ada berjenis-jenis, selain berbeda-beda pula modalitasnya. Nyeri teriris, nyeri ngilu, nyeri menusuk, nyeri pegal, nyeri seperti ditindih barang berat, pihak dokter perlu tepat me-
nerjemahkan bahasa pasiennya ke dalam makna medis. Karena berbeda penyakit, tak pula sama keluhan sifat nyerinya.
Makin terampil dokter menginterpretasikan keluhan pasien, makin mendekatkan temuan penyakit yang dokter akan dapatkan. Separuh diagnosis sudah dapat ditegakkan hanya dari tahapan wawancara dokter-pasien. Sisanya, setelah dokter memeriksa pasien.
Maka sebagian besar dokter sudah bisa langsung menyimpulan penyakit pasien saat di kamar praktiknya. Hanya sebagian kecil kasus saja yang memerlukan pemeriksaan tambahan apakah laboratorium atau pencitraan. Dan itu perlu waktu sebelum dokter mendiagnosisnya.
Sering pula terjadi kasus: dokter sudah memeriksa semua halihwal yang mengarah pada suatu kecurigaan penyakit, namun belum tentu penyakit pasien dapat berhasil diungkap.
Dokter bertangan dingin
Hanya bila diagnosis ditegakkan dengan cerdas, yakni buah dari
hasil wawancara yang terampil, pemeriksaan fisik yang cermat, serta jeli membaca hasil pemeriksaan tambahan yang diperlukan, resep yang dokter tulis mestinya akan cerdas pula. Dan hanya bila pasien yang menerima resep yang cerdas, akan mendapatkan peluang besar untuk kesembuhan penyakitnya.
Sebaliknya tidak demikian, kalau sejak tahapan awal anamnesis, atau kurang terampil dan jeli melakukan pemeriksaan fisik pasien, dan atau keliru membaca hasil pemeriksaan tambahan yang dokter lakukan, maka resep yang dokter tulis bisa saja terjebak dalam kekeliruan.
Istilah dokter bertangan dingin yang praktiknya laris, sebetulnya tidak perlu dokter yang jenius amat. Sekadar dokter yang melakukan kerja profesi seturut apa yang diajarkan waktu sekolah, yakni melakukan anamensis yang benar, dan itu dibutuhkan keterampilan berkomunikasi.
Selanjutnya human relationship yang mumpuni, keterampilan pemeriksaan fisik yang cermat dan benar, serta analisis yang cerdas dan tepat terhadap hasil keduanya. Untuk kemudian menuju kepada sebuah diagnosis, dengan atau tanpa bantuan pemeriksaan laboratorium, pencitraan, atau lainnya.
Makin ringkas seorang dokter mencapai kesimpulan penyakit pasien yang diperiksanya, cerminan makin cerdas ia sebagai seorang profesional dokter, seturut kaidah keilmuan, legal artist yang dikuasainya. Selebihnya ditentukan oleh jam terbang.
Bahwa dalam praktik dokter menemukan hal-hal yang tidak selalu ada dalam buku teks, namun lewat kematangan pengalaman berpraktik, seorang dokter mampu menangkap, cekatan mengendus adanya suatu penyakit tertentu dalam tubuh pasien yang sudah diperiksanya. Kasus tifus ( typhoid abdominalis), misalnya.
Dari wawancara kasus tifus, dokter menemukan demamnya sudah berlangsung lebih seminggu, sifat demamnya muncul pada sore hari, buang air besarnya tidak teratur, ada nyeri perut, nyeri kepala, mungkin mencret mungkin sembelit. Dari informasi yang diungkap pasien selama anamnesis itu saja pikiran dokter terasosiasikan dengan penyakit tifus sesuai yang dirujuk dari yang pernah dipelajarinya.
Asosiasi pikiran bahwa yang dihadapi dokter itu kemungkinan tifus kemudian ditelusuri dengan menemukan apakah ada tanda penyakitnya, yakni lidah pasien bersalut putih di bagian tengah, dan merah terang di bagian pinggir lidah, sebagai salah satu tanda ( sign) tifus. Lalu dengan berasosiasi tifus itu, dokter terfokus untuk menemukan apakah organ hati dan limpa
membesar sesuai yang apa yang dipikirkannya, bahwa tanda tifus disertai dengan hati dan limpa yang membengkak.
Untuk memastikan hal itu perlu keterampilan dokter memeriksa hati dan limpa sehingga bisa benar menyimpulkan kalau pembengkakan itu benar ada. Dan bila benar ada pembengkakan, itu memperkuat konfirmasi bahwa ini betul kasus tifus. Namun bila hati dan atau limpa tidak membengkak, itu belum menyingkirkan ini kasus tifus. Untuk banyak kasus, memang diperlukan jam terbang dokter, karena pancaindera dokter yang sudah senior ikut bekerja dalam mengamati pasien, termasuk yang khas kasus tifus. Baru apabila dokter belum yakin kalau itu kasus tifus, pemeriksaan laboratorium tifus diminta untuk dilakukan.
Sebaliknya dokter dengan jam terbang tinggi, sudah berani mendiagnosis ini kasus tifus, berhenti melakukan pemeriksaan sejak di kamar praktik tanpa perlu melanjutkan pemeriksaan laboratorium,
dan langsung memberi obat tifus.
Namun tentu ada penyakit yang baru tepat didiagnosis hanya setelah pemeriksaan laboratorium. Kasus kencing manis, misalnya, baru bisa didiagnosis bila dokter tahu kadar gula darah pasiennya. Hanya memeriksa fisik dan mengamati, dan mewawancara pasien, baru menyumbang ke arah mana dokter berasosiasi.
Kasus kencing manis, diungkapkan pasien dengan riwayat banyak minum, banyak makan, sering haus dan lekas lapar, banyak kencing, badan makin kurus, dan itu baru tanda dan gejala kencing manis yang mengarahkan dokter untuk berpikir ini kasus diabetik.
Demikian pula untuk kasus kolesterol, atau adanya kanker ketika masih dini, yang baru bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah selain air liur ketika kanker masih dini, karena kedua penyakit itu nyaris tanpa keluhan dan gejala, selain tanpa adanya tanda penyakit yang terlihat dari luar.
Dokter bertangan dingin itu dokter yang tajam berasosiatif antara fakta medis yang ditemukan pada pasien dengan rujukan ilmu yang dikuasainya. Makin tajam berasosiasi dan makin menguasai ilmu yang dipelajarinya, makin cerdas diagnosis yang dibuatnya. Maka keterampilan dokter berkomunikasi, sikap berempati terhadap pasien, keterampilan memeriksa fisik pasien, bekal yang perlu dimiliki dokter yang ingin ber- tangan dingin.
Makin cerdas dan piawai seorang dokter menguasai semuanya, makin bertangan dingin masyarakat pasien melihat dan merasakannya. Lemah dalam satu tahapan menuju diagnosis, seorang dokter akan lemah pula dalam membuahkan diagnosis yang dihasilkannya. Di situ letak sebab dokter luput atau keliru mendiagnosis penyakit pasiennya.
Resep yang cerdas
Menulis resep itu sebuah seni juga, selayak ilmu kedokteran sendiri. Bahwa profesi dokter itu bergelut dalam ilmu dan seni ( art) juga. Tidak semata-mata ilmu belaka, terlebih ada kiat seni juga. Seni mendekati pasien, seni memeriksa, seni menyikapi penyakit pasiennya.
Bahwa sekolah dokter mengajarkan bagaimana menulis resep yang rasional. Artinya, resep yang fokus tertuju untuk kesembuhan penyakit pasien yang diperiksanya. Prinsipnya, dengan pemakaian obat minimal, sesedikit mungkin jenis obat yang ditulis, dengan dosis sekecil mungkin, yang berhasil menyembuhkan penyakit pasien, itulah resep yang memihak kepada pasien.
Lebih dari itu, kalau ada pilihan obat yang lebih murah kenapa memilih obat yang lebih mahal. Obat termurah, sesedikit mungkin jenis obat yang diberikan, dengan dosis sekecil mungkin, dan pasiennya
sembuh, itulah resep yang cerdas. Makin banyak ragam jenis obat yang dokter tulis untuk pasien tebus, dan makin besar dosisnya, apalagi makin lebih mahal harga obatnya, sebetulnya bukanlah resep yang bijak.
Boleh jadi, dokter yang cerdas dan bijak tidak selalu harus menuliskan resep buat pasien yang sudah diperiksanya kalau memang pasien belum memerlukannya. Setiap berobat belum tentu harus dengan harus menulis resep. Bahwa sejatinya, penyakit apa pun hendaknya dimulai tanpa obat terlebih dahulu.
Hanya jenis penyakit yang tergo- long kedaruratan medik, atau penyakit tergolong kritis, penyakit yang sudah telanjur tergolong berat, yang pasti memerlukan resep. Kebanyakan penyakit sehari-hari, bahkan bila tensi sedikit lebih tinggi, atau gula darah sedikit di atas normal, atau total kolesterol hanya sedikit di atas nilai normal saja pun, boleh dimulai tanpa obat ( nonpharmaca). Mengapa?
Oleh karena kita tahu bahwa sebagian besar penyakit harian yang orang idap, lebih banyak kalau bukan sebagian besar, disebabkan oleh karena pasien keliru memilih gaya
hidup, termasuk kasus tingginya kolesterol dan gula darah, hipertensi, dan sederet penyakit sehari-hari yang banyak orang idap. Sedikit saja yang disebabkan faktor keturunan. Maka pendekatan terhadap kebanyakan penyakit sehari-hari, gaya hidupnya dulu yang harus diubah, sebelum diintervensi dengan obat.
Ingat obat dipakai dengan pertimbangan manfaat obat ( khasiat) lebih besar dibanding maslahat (efek samping obat). Kalau tanpa obat, penyakit bisa mereda sendiri, pemakaian obat dinilai mubazir. Karena manfaatnya tidak sebesar kerugian tubuh memikul efek samping untuk sesuatu yang tidak perlu selain keluar biaya yang tidak perlu. Jadi selalu pertimbangannya risk-benefit itu. Kalau dibawa tidur saja nyeri kepalanya mereda, kenapa harus minum obat sakit kepala, misalnya.
Demikian pula prinsip nonpharmaca atau tidak lekas minum obat, awali dulu tanpa obat dengan cara mengubah gaya hidup. Caranya, pertama berat badan dibuat ideal, karena salah satu kesalahan gaya hidup, berat badan dibiarkan berada di atas normal, atau body mass index (BMI) di atas 25,00 (dari menghitung berat badan dalam kg dibagi pangkat dua tinggi dalam meter).
Kedua, biasakan badan selalu rutin bergerak setiap hari, paling ideal, dengan memilih jalan kaki tergopoh-gopoh ( brisk walking) 50 menit setiap hari, seminggu 6 kali. Dan langkah ketiga, tergantung apa penyakit yang kita idap. Kalau hipertensi berarti asupan garam dapurnya dibatasi, kalau diabetik berarti karbohidratnya dibatasi, dan kalau kolesterol total sedikit meninggi, dengan menurunkan berat badan dan brisk walking saja pun, bisa membantu menurunkannya.
Dengan cara rutin berolahraga yang bersifat aerobik, antara lain pilihan brisk walking, kolesterol jahat LDL bisa lebih rendah, sedang kolesterol baik HDL bisa lebih tinggi sesuai yang diharapkan.
Apabila setelah kurun waktu tertentu, katakan sebulan tanpa intervensi obat, ternyata kondisi penyakitnya belum juga pulih, pemakaian obat baru diperlukan, dengan catatan sesedikit mungkin jenis obatnya, sekecil mungkin dosisnya, dan kalau ada yang lebih murah kenapa memilih yang lebih mahal. Selebihnya tentu rasa percaya pasien terhadap dokter, oleh karena profesi dokter membutuhkan faktor trust.
Belum tentu obat yang sama diberikan oleh dokter berbeda untuk kasus yang sama akan memberikan hasil kesembuhan yang sama, karena tubuh manusia bukan mesin mobil. Apabila sikap dokter dalam memperlakukan pasien tak ubahnya seperti sikap montir mobil, semujarab apa pun obat yang dokter berikan, belum tentu cespleng.