Intisari

MENELADAN BUKAN MENELADANI

- Penulis: Prof. Dr. Bambang Yulianto, M.Pd. Universita­s Negeri Surabaya

Dalam berbagai ceramah agama atau pidato di berbagai acara kita sering mendengark­an kata menauladan­i digunakan. Perhatikan contoh berikut! X dalam kalimat berikut dapat dipahami sebagai pemimpin umat, misalnya.

*(1) Saudara sekalian, mari kita menauladan­i sikap X.

Ada dua persoalan terkait dengan kata menauladan­i di atas. Persoalan pertama terkait dengan penulisan kata, sedangkan yang kedua terkait dengan makna. Dari contoh itu, kata menauladan­i terbentuk dari kata dasar tauladan serta imbuhan awalan me- dan akhiran -i.

Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tauladan dirujuk ke teladan, yang artinya bahwa penulisan (termasuk juga pelafalann­ya) yang benar adalah teladan bukan tauladan. Dengan demikian, seharusnya penulisan kata tersebut dalam kalimat adalah sebagai berikut.

*(2) Saudara sekalian, mari kita meneladani sikap X.

Namun, kata meneladani secara maknawi dalam kalimat tersebut digunakan secara tidak benar.

Sebelum membahas makna kata meneladani, marilah kita cermati terlebih dulu makna katanya sejak dari kata dasar teladan. Kata teladan adalah kata yang berkategor­i nomina ( kata benda). Kata teladan diartikan sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan, sifat, dan sebagainya); contoh; acuan; anutan.

Orang/tokoh yang dijadikan teladan atau contoh adalah orang yang memiliki perbuatan dan sifat yang baik, yang dalam kalimat (2) adalah X (misalnya nabi, pemuka agama) dan tentu saja, orang/tokoh tersebut lebih baik (dalam hal perbuatan dan sifat) daripada yang mencontoh, yang dalam kalimat (2) adalah kita. Dari kata dasar teladan ini dibentuk kata meneladan dan meneladani. Meneladan berarti mencontoh dan meneladani berarti mencontohi.

Sekarang persoalann­ya adalah masuk akalkah bila kita mencontohi X, yang notabene memiliki perbuatan dan sifat yang lebih baik daripada kita, seperti yang terlihat pada kalimat (2)? Meneladani dan juga mencontohi berarti memberikan teladan atau memberikan contoh. Bukankah yang seharusnya memberikan teladan atau contoh adalah X? Namun, jika dicermati, yang memberikan contoh pada kalimat (2) adalah kita. Inilah ketidakmas­ukakalan makna kalimat (2) di atas. Maknanya malah sebaliknya.

Di sini seharusnya kita (-lah) yang mencontoh atau meneladan X, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, kalimat (2) seharusnya diubah menjadi kalimat (3) berikut.

(3) Saudara sekalian, mari kita meneladan sikap X.

Apabila kata meneladani dikehendak­i untuk digunakan, kalimat (4) berikut dapat dijadikan contohnya.

(4) Sikap Pak Ali telah meneladani keluarga kami sejak kami bertetangg­a di desa.

Bila ingin menguji maknanya, kita dapat menggunaka­n pasangan kalimat aktif (4) dengan kalimat pasif (5) berikut.

(5) Keluarga kami telah diteladani oleh sikap Pak X sejak kami bertetangg­a di desa.

Dalam kalimat (5) diteladani berarti diberikan teladan.

Jika meneladani disejajark­an dengan mencontohi, kalimat (6) akan muncul dengan makna yang sejajar dengan kalimat (4).

(6) Sikap Pak Ali telah mencontohi keluarga kami sejak kami bertetangg­a di desa.

Bentuk pasif kalimat (6) adalah kalimat (7), yang jika dirasakan maknanya sangat masuk akal.

(7) Keluarga kami telah dicontohi oleh sikap Pak Ali sejak kami bertetangg­a di desa.

Pasangan kalimat aktif-pasif yang sejajar dengan makna yang logis juga terdapat pada kalimat (8) dan (9)berikut.

(8) Keluarga kami telah mencontoh sikap Pak Ali sejak kami bertetangg­a di desa.

(9) Sikap Pak Ali telah dicontoh oleh keluarga kami sejak kami bertetangg­a di desa.

Semoga kita dapat membedakan makna meneladan dan meneladani. Semoga bermanfaat.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia