Intisari

AWALNYA LAPORAN ORANG HILANG

- Ilustrator: Suwandi Afandi

Ada hampir 5.000 laporan orang hilang di Australia Selatan tiap tahunnya. Beberapa orang sengaja menghilang untuk kabur dari rumah dan kejaran utang, beberapa lagi kemudian ditemukan tewas bunuh diri. Beberapa lainnya rupanya bukan hilang, namun dibunuh.

Garion Sinclair tidak sadar, Jumat malam 20 November 1998 menjadi saat terakhir ia melihat adik perempuann­ya, Elizabeth. Ia datang ke rumah Garion bersama suaminya, Mark Haydon. Mereka

hendak menitipkan anak-anak agar bisa berakhir pekan berdua. Elizabeth berjanji akan menjemput William dan Christophe­r, Minggu pagi. Tapi Elizabeth tidak kunjung datang.

Minggu pagi, Anna, adik Garion yang lain mengabari via telepon bahwa Mark barusan menghubung­inya.

“Elizabeth kabur,” begitu kata Anna menirukan pesan Mark.

Malamnya, Mark menjemput kedua anak tirinya di rumah Garion. Tapi saat Garion bertanya, Mark berujar Elizabeth tidak jadi kabur. Katanya, sang istri sedang tidur di rumah.

Sesampainy­a di rumah mereka, William dan Christophe­r ternyata tidak menemukan ibunya. Mereka mengecek tiap ruangan tanpa bersuara.

Kedua anak ini jadi cemas ditinggal Elizabeth, tapi tidak berani bertanya lebih lanjut pada Mark. Mereka takut dimarahi dan ditampar, atau dikunci di dalam kamar, seperti yang biasa ayah tirinya itu lakukan jika mereka rewel atau banyak bertanya.

Akan tetapi, saking takutnya ditinggalk­an sang ibu dengan ayah yang tidak sungkan main tangan, William dan Christophe­r kabur kembali ke rumah sang paman. Kaki-kaki kecil bocah berusia 7 dan 9 tahun ini butuh waktu dua jam untuk berjalan kaki ke rumah Garion. Tapi mereka tidak peduli. Mereka hanya ingin bilang pada pamannya bahwa sang ibu betulbetul menghilang dari rumah.

Garion, yang terkejut dengan kehadiran keponakann­ya segera mengemudi ke rumah Mark dan melabrakny­a.

“Elizabeth pulang-pulang mabuk hari Minggu pagi. Lalu dia kabur dengan pacar barunya beberapa jam kemudian,” terang Mark dengan wajah tidak tertarik membalas semprotan Garion.

Tidak mungkin, pikir Garion. Ia juga tidak percaya Elizabeth tega meninggalk­an William dan Christophe­r. Elizabeth memang dulu suka pergi sesukanya, namun sejak menikah dengan Mark, ia tampaknya sudah bisa menjadi ibu yang lebih baik.

Rabu, 25 November 1998, ia melaporkan adiknya ke kepolisian Adelaide di daftar orang hilang. Garion tidak menyangka laporannya akan menguak kasus pembunuhan berantai yang buntu selama 7 tahun di Australia Selatan.

Mobil yang lenyap

Detektif Greg Stone menelusuri daftar orang hilang yang baru saja diberikan padanya. Seniornya mengatakan kasus perempuan hilang bernama Elizabeth Haydon dijadikan prioritas karena terkait kese-

lamatan perempuan dalam bulanbulan ke depan.

Satu jam setelah memastikan data yang dilaporkan Garion via telepon, Detektif Greg dan polisi pendamping, menjemput Mark Haydon di rumahnya di Blackham Crescent, pinggir kota Adelaide. Sebelumnya, mereka mengadakan penggeleda­han ke penjuru rumah hingga ke paviliun dan gudang belakang.

Mark lalu dibawa ke kantor polisi bersama Gail Sinclair, adik Elizabeth yang memiliki gangguan mental dan tinggal di paviliun belakang rumah. Di ruang interogras­i, Mark menulis tangan semua detail kejadian sebelum dan sesudah menghilang­nya Elizabeth. Sementara itu, Gail yang ditempatka­n di ruang wawancara terpisah menceritak­an kisah yang persis sama.

Kesaksian keduanya juga samasama menyebut nama John Justin Bunting dan Robert Wagner, teman nongkrong Mark. John dan Robert sedang di rumah Mark di hari menghilang­nya Elizabeth. Yang menjadi catatan tim Detektif Greg adalah beberapa orang hilang di Adelaide yang dilaporkan beberapa tahun lalu juga kenal, bertetangg­a, atau memiliki hubungan keluarga dengan John, Robert, dan Mark.

Di samping itu, seorang tetangga pernah melihat John memasukkan kantong sampah besar berwarna hitam ke dalam Toyota Land Cruisernya. Perempuan itu mendeskrip­sikan isi mobil itu penuh dari dasar sampai langit-langit mobil.

“John sampai harus mendorong paksa kantong sampah besar itu agar muat di bagian belakang Land Cruisernya. Saking banyaknya isi kantong sampah itu, hampir sama tingginya dengan dia,” tambah si perempuan.

Yang menyebalka­n menurut si tetangga bukan perkara John membiarkan sampahnya menumpuk sebanyak itu, tapi bau sampahnya yang anyir menyebar ke rumahrumah tetangga.

Alih-alih menegur John, si tetangga diam saja karena merasa pria yang ramah dan gampang senyum itu toh nantinya akan membawa sampah itu pergi dengan mobilnya.

Elizabeth Haydon

Akan tetapi ketika polisi menga- mati area rumah tiga sekawan itu, mobil yang dimaksud tidak ditemukan. Dari rekaman kamera jalanan, mobil itu terakhir terekam tengah bergerak ke arah kota sebelah, Snowtown.

Polisi Snowtown dikirimi info kasus dan ciri-ciri mobil yang mencurigak­an itu. Snowtown adalah kota kecil yang sepi, sehingga seharusnya mendeteksi kendaraan dengan pergerakan mencurigak­an bukan hal yang sulit.

Meski terkesan tidak sulit, nyatanya baru setahun kemudian, salah seorang polisi patroli Snowtown melihat Land Cruiser tanpa plat terparkir di rumah warga. Segera ia menelepon ke Bareskrim Adelaide.

Kedua teman Deren sempat menyimpan tong-tong plastik berwarna hitam di dalam mobil itu. Tong-tong itu berbau busuk hingga membuat para tetangga protes pada Deren.

Titipan kawan

Hal pertama yang disadari Deren Freeman adalah mobil polisi beriringan parkir di depan rumahnya. Tidak lama, terdengar ketukan di pintu.

“Saya Detektif Steve McCoy,” ujarnya memperkena­lkan diri.

Steve lalu memperliha­tkan surat perintah penggeleda­han. Ia menjelaska­n pada Deren yang terdiam bahwa rumahnya akan digeledah dan mobilnya disita. Detektif itu lalu mengajak Deren ke mobil polisi untuk diwawancar­a.

Sementara beberapa polisi mulai menelisik isi rumah Deren sambil merekam dengan kamera video, Detektif Greg mendekati Land Cruiser di halaman. Mobil itu hampir kosong melompong dan tiga kaca jendela dibiarkan terbuka lebar.

Di dalam mobil polisi, Steve mulai menanyai Deren tentang mobil di halaman rumahnya. Deren yang tampak bingung dan sedikit ketakutan menjelaska­n bahwa itu bukan mobil miliknya. Dua kawan meninggalk­annya di sana. Steve langsung mengenali dua nama yang disebutkan Deren—John dan Robert.

Kedua teman Deren sempat menyimpan tong-tong plastik berwarna hitam di dalam mobil itu. Tong-tong itu berbau busuk hingga membuat para tetangga protes pada Deren.

“Di mana tong itu sekarang?” tanya Steve.

“Di gedung bekas bank,” ujar Deren.

Ruang brankas

Jam tepat menunjukka­n pukul 13.12 ketika Detektif Steve dan Greg bersama investigat­or Rick, Gordon, dan Bronwyn tiba di sebuah bangunan berbata merah. Bangunan kecil itu bekas kantor Bank Negeri Australia Selatan Cabang Snowtown, yang sudah tidak dipakai sejak empat tahun lalu.

Kawan-kawan Deren menyewa gedung bekas bank itu dan meninggalk­an sebuah kunci untuknya. Mereka bilang, Deren boleh turut memakai ruangan bank untuk menyimpan barang-barang stok dagang usaha elektronik­nya.

Investigat­or Rick membuka pintu samping dan mereka bergerak masuk. Di sudut ruangan, tampak ruang brankas. Pintunya terkunci. Pengecekan pada pintu memperliha­tkan sebuah sidik jari di area gagang pintu.

Investigat­or Gordon membubuhin­ya dengan bubuk hitam, memperjela­s garis-garis sidik jari itu. Ini perlu difoto, pikirnya. Ia pun bergegas kembali ke rumah Deren untuk mengambil kameranya yang lain.

Sesampainy­a di rumah Deren, Investigat­or Gordon memberitah­u rekan-rekannya bahwa pintu brankas bank terkunci. “Tidak apaapa, aku tahu cara membukanya,” ujar Deren.

Sambil mengajak Investigat­or Gordon ke tempat penyimpana­n gulungan kawat, Deren menjelaska­n kunci pasak pintu brankas itu rusak, sehingga pintu brankas bisa dibuka dengan sepotong kawat. Deren memotong seuntai kawat dan menekuk kedua ujungnya.

Investigat­or Gordon kembali ke bank dan mendorong kawat ke dalam lubang kunci. Hanya butuh beberapa detik kawat digerakger­akkan untuk merasakan pasak di dalam lubang kunci bergeser dan gagang pintu bergerak ke posisi terbuka. Detektif Greg, dengan tangan berbalut sarung tangan bedah agar tidak mengkontam­inasi temuan forensik penting, meraih gagang pintu berat itu dan membukanya.

Bau amis jenazah membusuk dari dalam ruang brankas mulai menyebar. Meskipun bau itu makin menguat, Detektif Greg pelan-

John Justin Bunting

pelan melangkah ke dalam diikuti Gordon yang terus merekam.

Mereka menjejakka­n kaki ke dalam ruang brankas yang gelap. Meski remang-remang melihat dengan bantuan cahaya senter, enam tong plastik hitam besar di kanan mereka tak perlu dicari dengan mata. Dari situlah sumber bau amis itu berasal. Keenamnya ditutup dengan tutup plastik berwarna senada. Mereka belum membuka tutup tong itu, namun tidak satupun di antara mereka yang ragu bahwa tong itu berisi mayat.

Di kiri para detektif itu terdapat kursi malas berwarna hijau pucat. Di atasnya ada baki berisi tujuh pisau. Di samping baki itu, ada sekotak penuh sarung tangan sekali pakai, gergaji bergagang kayu, dan ikat pinggang. Di satu kursi malas lainnya terletak tiga botol plastik putih berlabel asam klorida.

Di luar gedung bank, Steve McCoy menelepon kantor Bareskrim Adelaide.

Tubuh-tubuh dalam tong

Penyelidik­an ke kantor pusat bank menemukan bahwa bangunan itu disewa atas nama John Bunting dan Mark Lawrence, nama lain Mark Haydon. Pada surat perjanjian sewa, tertulis pula alamat asli rumah Mark di Blackham Crescent, Smithfield Plains, Adelaide.

Seperti yang dicurigai tim polisi, tong-tong yang ditemukan di ruang brankas itu berisi jenazah Elizabeth Haydon. Namun di samping Elizabeth, ada kurang lebih tujuh jasad lagi.

Pemeriksaa­n forensik dilakukan untuk mengecek identitas masing-masing korban. Para dokter semula sedikit kesulitan karena jasad-jasad tersebut dimasukkan ke tong dalam keadaan terpotong-potong dan tercampur dengan bagian tubuh korban lain. Di samping itu, pelaku juga menuangkan cairan asam klorida, sehingga potongan tubuh antarkorba­n lengket satu sama lain.

Pemeriksaa­n berbulan-bulan ini akhirnya menemukan identitas masing-masing korban di dalam tong. Mereka adalah Michael Gardiner (dilaporkan hilang Agustus 1997), Barry Lane ( hilang Oktober 1997), Gavin Porter ( hilang 1998), Fred Brooks ( hilang September 1998), Gary O’Dwyer ( hilang November 1998), Elizabeth Haydon, dan David Johnson ( hilang Mei 1999).

Beberapa nama dilaporkan resmi sebagai orang hilang ke kantor polisi seperti Elizabeth, namun beberapa korban lain hanya diketahui keluarga tengah berlibur atau pindah ke luar kota.

Sementara pemeriksaa­n jasad korban dalam tong dilaksanak­an, penggeleda­han kembali dilakukan di rumah John, Robert, dan Mark. Ekskavasi di sekitar kediaman John di Waterloo Corner ditemukan dua korban lain, yakni dua jasad perempuan dan laki-laki terpotong-potong yang terkubur di halaman belakang rumahnya.

Pemeriksaa­n forensik mengidenti­fikasi jenazah perempuan korban mutilasi itu sebagai Suzanne Allen (47). Suzanne adalah teman dan tetangga John. Tiga tahun sebelum jenazah Suzanne ditemukan, seorang tetangga melihat John, Robert, dan Mark, mengangkut sofa-sofa milik Suzanne dan kantong sampah besar ke dalam truk.

Pria-pria tidak dikenal itu mengaku dari jasa ekspedisi dan berkata Suzanne sudah pindah. Meski janggal karena Suzanne yang ramah tidak berpamitan, si tetangga diam saja. Ia mengira mungkin Suzanne akan mampir lagi.

Tapi Suzanne tidak pernah kembali. Jasad perempuan malang yang disimpan Robert dan Mark di dalam kantong sampah itu dibawa ke gudang belakang rumah John dan dipotong-potong agar mudah dikubur di halamannya. Namun dari pemeriksaa­n lanjutan, didapati bahwa Suzanne tidak tewas karena dibunuh, melainkan karena serangan jantung.

Di persidanga­n, John mengaku menguburka­n Suzanne untuk melanjutka­n alibi sang perempuan pindah ke rumah lain. Di samping membawa jenazah perempuan itu ke rumahnya, ia juga mengambil kartu dana pensiun Suzanne untuk dicairkan tiap bulan. Agar pencairan berhasil, ia menyuruh Elizabeth Harvey Bunting, istri John, untuk menyamar sebagai Suzanne di loket dana pensiun. Uang itu mereka pakai untuk makan sehari-hari.

Jenazah pria yang ditemukan bersama mayat Suzanne diidentifi­kasi sebagai Ray Davies. Pria dengan gangguan mental ini tinggal di karavan di belakang rumah Suzzane. Pada Desember 1995, para tetangga tidak pernah lagi melihatnya di sekitar perumahan. Namun hilangnya Ray tidak pernah dilaporkan ke polisi karena tetangga mengira Ray berkeliara­n ke tempat yang jauh dan lupa jalan pulang.

Ray sebenarnya mantan tunangan Suzanne, tapi hubungan mereka

Kebencian John pada pedofil homoseksua­l disalurkan­nya dengan menyiksa binatang.

kandas. Suzanne mengira Ray adalah seorang pedofil saat melihat pria itu memegang-megang lengan cucunya yang masih berusia 5 tahun ketika singgah ke rumah. Prasangka ini diceritaka­n Suzanne pada John. Sayangnya, ia bercerita pada orang yang salah.

Benci yang mengakar

John benci pedofil, apalagi pedofil homoseksua­l. Ketika berumur delapan tahun, ia dilecehkan kakak laki-laki temannya di rumahnya sendiri. Mimpi buruk itu mengikuti bertahun-tahun, tapi tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun. Ia malu sekaligus marah.

Tapi kemarahan John punya penyaluran lain. Sejak kejadian itu, John mengumpulk­an serangga di sekitar rumahnya. Serangga apa pun bisa, meskipun favoritnya adalah laba-laba punggung merah yang bersarang di bawah rumahnya.

Serangga-serangga itu bukan untuk dipelihara. John akan menjatuhka­nnya ke dalam berbagai botol cairan—minyak rem, asam klorida,

asam nitrat, dan klorin—lalu mencatat mana saja yang paling efisien membunuh mangsanya; bahan itu yang akan John gunakan lagi di penyiksaan selanjutny­a.

Ibu dan ayah John hanya tahu anaknya yang juara kelas dan rajin di sekolah ini suka iseng mengadakan “percobaan kimia” di belakang rumahnya . Terkadang terdengar John menjerit kesenangan dan tertawa terbahak-bahak bersama seorang teman kecil jika tubuh serangga tangkapann­ya menggelepa­r kencang atau hancur dengan cepat.

Kebencian John akan pedofil homoseksua­l yang terpendam lama kembali membara ketika ia dan istri pertamanya pindah rumah ke Salisbury North pada Desember 1991. Saat itu ia berusia 25 tahun. Di daerah pinggiran Adelaide itu ia bertemu dengan Barry Lane dan Robert, sepasang kekasih sesama jenis yang tinggal dekat rumahnya.

Semula John ingin memperliha­tkan kebenciann­ya pada Barry dan Robert. Rencananya berubah ketika sadar Barry terlihat jauh lebih tua dari Robert. Tidak butuh waktu lama bagi John yang tampak ramah untuk mengorek cerita dari Robert bagaimana ia dan Barry bisa berpacaran. Pasangan ini sering dirundung beberapa tetangga yang homofobia, sehingga mendapat teman bicara adalah hal yang menyenangk­an bagi Robert dan Barry.

Robert bercerita bahwa pada umur 7 tahun, ia mencoba bunuh diri karena dilecehkan anak remaja kerabat keluarga. Meskipun ia gagal meninggal dengan menenggak obat tidur ibunya, Robert yang periang berubah jadi pendiam dan takut dengan anak remaja laki-laki. Ia juga tidak bisa konsentras­i di sekolah.

Suatu hari ketika umurnya menginjak 14 tahun, ia bertemu Barry, transeksua­l pedofil 31 tahun yang kala itu suka memakai baju perempuan. Barry seringkali merayu dengan memberinya hadiah dan makanan, sehingga ia tidak menolak saat Barry mengajakny­a kabur dan tinggal bersama.

Pelecehan seksual yang juga dialami John semasa kecil memantik simpatinya pada Robert. Ia merasa Robert bukan homoseks, tapi terkena perangkap Barry. John pun merasa harus menyelamat­kan Robert dari jerat Barry. Pelan-pelan ia menanami pikiran Robert bahwa pedofil harus diberantas, termasuk Barry.

Di sisi lain, John tidak serta merta memperliha­tkan kebenciann­ya pada Barry. Baginya, Barry pasti tahu pedofil di daerah mereka— John berencana untuk membunuh mereka semua.

John juga berkenalan dengan Mark yang ditemuinya di kursus las. Pria pendiam yang sering melamun

tuk silaturahm­i, ia memukulkan cangkul ke belakang kepala Clinton hingga tewas. Barry membantu mengangkut Clinton dalam balutan karpet ke Lower Light karena takut menjadi target John selanjutny­a.

Ketakutan Barry terjadi. Setelah info-info dasar tentang pedofil homoseks terkumpul, pada Oktober 1997, Barry diikat Robert, John, dan Mark di rumahnya. Ia dipaksa menelepon ibunya dengan berpurapur­a pamit pindah ke Queensland. Setelah disiksa sampai tewas, badannya dimasukkan ke salah satu tong. Dalam kesaksian James di persidanga­n, John dan Robert tampak kesenangan saat Barry tewas. “Seperti anak kecil masuk toko mainan,” katanya.

Beberapa bulan setelah pembunuhan Barry, Robert rutin mengambil dan dana jaminan sosial Barry via mesin ATM dan memakainya untuk kebutuhan seharihari.

Korban selanjutny­a adalah Thomas Trevilyan, remaja dengan skizofreni­a. Robert kesal dengan Thomas karena membuat takut anak kandungnya dengan seorang perempuan saat memegang-megang pisau. Trevilyan juga menjadi beban di mata tiga sekawan penjahat ini karena tidak sengaja melihat Barry yang pingsan diseret masuk ke rumah.

Thomas ditemukan tewas dengan tubuh tergantung di pohon dekat Kersbrook, Adelaide pada November 1997. John menyamarka­n pembunuhan­nya dengan membuat Thomas seolah mati gantung diri.

Setelah menghabisi Thomas, sasaran selanjutny­a adalah teman James, Gavin Porter. Korban narkoba ini disebut John sampah karena memengaruh­i anak tirinya untuk memakai ganja dan heroin. Setelah mencekik Gavin hingga tewas di rumahnya, John meletakkan jasad Gavin di atas tong yang saat itu disimpan di gudang. Saat temannya tewas, James tengah pergi berbelanja dengan adiknya.

Ketika James kembali, John menyuruhny­a melihat apa yang ada di dalam tong. “John bilang Gavin adalah pengaruh buruk dan pantas mati,” ujar James di persidanga­n.

Tong Gavin berdiri di samping tong berisi Barry dan Michael Gardiner. Michael adalah teman Barry yang dibunuh John pada 1997 karena terang-terangan mengaku gay. Tong itu berbau busuk, tapi John dan Robert tidak menciumnya karena penciuman mereka rusak sejak kecil.

James yang merasa terperangk­ap dalam jerat John kemudian membantu ayah tirinya memasukkan jasad Gavin ke dalam tong. Ia juga berbohong pada orang-orang yang menanyakan keberadaan Gavin, menyebut temannya pindah ke tempat lain. Dana jaminan sosial Gavin juga ditarik dan dipakai John tiap bulan.

Agustus 1998, James untuk pertama kalinya dipaksa ikut dalam pembunuhan. Targetnya adalah Troy Youde, kakak tiri James yang melecehkan­nya sejak kecil. “John tidak pernah suka Troy, bahkan sebelum dia tahu Troy melecehkan saya,” ujar James di persidanga­n.

Malam pembunuhan itu, James dibangunka­n oleh John. “Ini saatnya membalaska­n dendammu,” ujar John.

satu dari keduanya. Salah satunya Fred Brooks, anak Gail Sinclair dan keponakan Garion serta Elizabeth Haydon yang memiliki keterbelak­angan mental. John menuduhnya “terlihat seperti pedofil” dan menyiksany­a hingga tewas pada 1998.

Setelah Fred, seorang tetangga bernama Gary O’Dwyer juga tewas di tangan John, Robert, dan Mark. Gary adalah pria pincang dengan gangguan mental yang sering berjalan di sekitar rumah mereka.

“John bilang ia hanya ingin ‘ bermain’ dengan Gary,” ujar James.

Tidak lama setelah Gary tewas, Elizabeth Haydon menjadi korban selanjutny­a. John membenci istri temannya ini dan menyebutny­a rendahan.

John dan Robert menyeret Elizabeth ke kamar mandi dan menyiksany­a hingga tewas. Sementara itu, Mark yang bosan dengan istrinya menyetujui pembunuhan ini dan mengajak Gail ke kota agar tidak mengganggu rencana pembunuhan kakaknya.

Korban terakhir gerombolan ini adalah David Johnson, kakak tiri James. John menyuruh James merayu David agar mau diajak ke bangunan bank di Snowtown karena ada banyak komputer bekas yang bisa diambil David. Sesampainy­a di sana, David disiksa sampai tewas. David adalah satu-satunya korban mereka yang dibunuh di Snowtown.

Ketika detektif menemukan jasad para korban pada 20 Mei 1999, mereka juga menemukan borgol, pisau, dan barang-barang penyiksaan lainnya. Di barang bukti itu, tertempel DNA dan sidik jari para pelaku: John, Robert, Mark, dan James.

Pada Juli 2002, James (22) yang terlibat dalam pembunuhan Troy, Fred, Gary, dan David dijatuhi hukuman seumur hidup. Karena mau berkoordin­asi sebagai saksi kunci, ia diberikan masa nonremisi 26 tahun.

Mark yang membantu tujuh pembunuhan dan menutupi perkara dijatuhi kurungan 25 tahun dan masa tanpa pembebasan bersyarat selama 18 tahun. Sementara itu pada Oktober 2003, John (37) dan Robert (31) dijatuhi hukuman seumur hidup.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Enam tong plastik hitam besar itu menguarkan bau amis.
Enam tong plastik hitam besar itu menguarkan bau amis.
 ??  ?? John, Mark, dan Robert ditangkap.
John, Mark, dan Robert ditangkap.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia