CERITA SENJA BIOSKOP TUA
Bangunan itu tampak kumuh. Bau anyir menambah kesan tak terawat. Pada usianya yang hampir seabad, gedung tua berlantai dua tersebut masih sanggup berdiri, meskipun hanya bertulang besi berkarat yang dibalut dinding bercat kusam.
Grand Theater yang terletak di sudut perempatan kawasan Senen, Jakarta Pusat, merupakan gedung film yang lahir pada era 1920-an. Lokasinya yang berdekatan dengan stasiun kereta api dan pasar menjadi ciri khas tata letak kota di Indonesia pada zaman kolonial Belanda.
Bioskop ini boleh dibilang bioskop independen terakhir yang tidak masuk dalam jaringan Cineplex 21 Group. Sekaligus menjadi satu dari dua bioskop di Jakarta yang masih memutar film menggunakan pita seluloid 35 mm. Langka, di tengah zaman yang serba digital saat ini.
Setelah melewati masa puncak kejayaannya pada era tahun 19701980-an, perlahan-lahan pesona Grand Theater mulai meredup. Peredaran VCD dan DVD bajakan pada tahun 2000-an serta peralihan teknologi pemutar film analog ke digital, jadi penyebab yang utama.
Di sisi lain, penonton film juga beralih ke tempat yang lebih nyaman. Mereka memilih bioskop yang berpendingin udara, ada kedai kopi, beralas karpet, dibandingkan lantai bioskop yang meretak dengan lampu remang.
Mulyana (46) adalah projeksionis terakhir di Grand Theater yang masih bertugas. Sejak 2008 ia menjadi operator mesin proyektor, melanjutkan karier kakeknya yang juga projeksionis. Berbagai mesin pernah ia operasikan, dari yang paling tua bermerk West Track (1950-an), New Rola (1960-an), hingga Xiang Xang (1980-an).
Seolah tak ingin menunggu usia Mulyana menuju senja, Grand Theatre rupanya sudah lebih dulu undur diri. Awal Januari 2017, bioskop dengan sejuta kenangan sebagian kawula muda Ibukota ini akhirnya menutup layar untuk selamanya.