KREATIVITAS, KUNCI MILENIAL MENITI KARIER
Bonus demografi menempatkan generasi langgas (milenial) sebagai lokomotif kemajuan bangsa. Mereka akan menjadi kelompok produktif di era yang berubah dengan cepat. Mudah bosan dalam bekerja harus diantisipasi agar tak menjadi bumerang bagi mereka.
Mudah bosan! Begitulah laporan dari Gallup bertajuk “How Millennials Want to Work and Live.” Karakter seperti ini ternyata sudah disadari oleh beberapa perusahaan, seperti diungkapkan Country Manager JobStreet Indonesia Faridah Lim dua tahun silam.
Laman pencari kerja itu juga melakukan survei dengan hasil, sebesar 66% generasi langgas (milenial) atau mereka yang lahir pada era 1980-an hingga 90-an gemar berpindah kerja kurang dari dua tahun.
Mirip dengan hal itu, PwC juga melakukan studi soal generasi langgas dikaitkan dengan dunia kerja. Hasilnya, 72% melakukan kompromi sebelum memulai kerja. Sebanyak 38% memilih untuk berpindah-pindah tempat kerja, 43% terbuka terhadap penawaran baru, dan hanya 18% yang berharap bekerja di satu perusahaan dalam rentang waktu lama.
Kenyataan itu menjadi tantangan bagi perusahaan maupun para pimpinan yang masih berasal dari generasi sebelumnya. Soalnya, “Pada 2020 nanti milenial akan mengisi 70% tenaga kerja di Indonesia,” kata Eileen Rachman, pendiri perusahaan konsultan pengembangan sumber daya manusia Experd.
Generasi langgas menjadi bahan pembicaraan sekarang-sekarang ini, tak hanya dari sisi tenaga kerja. Di era disrupsi saat ini, mereka menjadi tumpuan bangsa untuk menggerakan kemajuan. Jumlah mereka sangat besar. Saat ini, kaum muda berusia 15-40 tahun di Indonesia berjumlah lebih dari 103 juta orang.
Soal bahasa dan sikap mental
Generasi langgas memang telah memberi warna yang berbeda dalam dunia kerja dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Banyak perubahan yang telah mereka berikan dalam dunia kerja saat ini.
Eileen Rachman yang telah berkecimpung di dunia konsultan sejak era generasi sebelum generasi lang-
gas (Eileen Rachman sering menjadi narasumber di majalah Intisari sejak era 1990-an seperti dalam artikel “Hiduplah Bersama Stress”, Intisari Oktober 1994) menjabarkan beberapa perbedaan itu.
“Perubahan yang mencolok dari karyawan milenial adalah soal bahasa dan sikap mental,” kata Eileen. Soal bahasa, tak bisa dipungkiri bahwa setiap generasi akan melahirkan bahasa mereka sendiri. Dulu kita mengenal bahasa prokem. Kini, muncul bahasa generasi langgas yang beberapa katanya muncul di label botol air kemasan.
Dalam hal sikap mental, Firdaus Putra, HC, direktur Kopkun Institute sekaligus Peneliti Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), dalam kolomnya di Kompas.com menyinggung soal bangunan sikap mental generasi langgas yang belum kokoh. Ia menilai hal itu sebagai sebuah ironi karena justru mereka hidup di zaman yang berlimpah ruah
( abundance). Di zaman abundance ini berbagai kecakapan dengan mudah diperoleh.
Generasi langgas dinilai Firdaus tak mampu memanfaatkan zaman dengan koneksi begitu tinggi pada saat ini. Sebagai contoh, mereka sulit berkonsentrasi mengerjakan suatu hal. Karena bosan, ia langsung berpindah ke gawainya.
Lambat laun pekerjaan terbengkalai. Kerapnya mengakses media sosial agar tak merasa kudet ( kurang update) juga mengindikasikan tingkat durabilitas generasi langgas yang rendah. Sedikit bosan atau suntuk, langsung pindah ke aktivitas lain.
Akan tetapi Eileen melihat, sebagai tenaga kerja, generasi langgas ini punya kreativitas. Begitu juga dengan data dan fakta yang mereka kemukakan lebih bagus dari generasi sebelumnya. Mereka lebih terampil mengolah data. Hanya saja kadang-kadang pasar belum bisa merespon perubahan ini.
Generasi langgas memang menginginkan gaya manajemen dan budaya kerja yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya yang
memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, milenial juga ambisius dan memiliki tujuan yang jelas. Mereka dinilai tidak nyaman dengan hierarki atau struktur perusahaan yang kaku dan mematikan kreativitas.
Dalam pidato peringatan 90 tahun Sumpah Pemuda, Presiden Joko Widodo juga mengungkapkan pentingnya kreativitas ini – dan juga persatuan – sebagai kata kunci untuk kemajuan bangsa. “Negara ini bisa memenangi persaingan, dengan catatan pem- bangunan manusia harus diberikan prioritas, digarap maksimal agar bonus demografi bisa membawa kemajuan bagi Indonesia,” ujarnya.
Bidang TI tumbuh pesat
Karena belum “serasinya” antara generasi langgas sebagai tenaga kerja dan perusahaan sebagai tempat kerja, maka generasi langgas harus bijaksana dalam menyikapi sifat mudah bosannya tadi. Menurut Eileen, tantangan perusahaan saat ini adalah bagaimana mampu membuat anak-anak langgas ini berkreasi.
“Tak harus mendekor ruangan dengan suasana milenial. Yang penting membuat milenial ini bisa berjejaring, berkreasi, dan berkomunikasi. Kalau hal-hal itu tak terpenuhi, ya mereka akan merasa terasing dan wajar jika kemudian berpindah tempat,” tutur Eileen.
Jadi bukan hanya fisik (perusahaan) saja yang milenial, tapi juga apakah ide-ide generasi langgas ini diterima apa enggak. “Itu yang paling perlu. Kemudian seluruh budaya kerja di situ juga akan membuat mereka betah apa enggak. Budaya kayak apa. Kalau budaya birokrasi ya enggak betah mereka.”
Apakah karena masih kuatnya budaya birokrasi di banyak perusahaan sehingga banyak generasi langgas yang memilih berwirausaha saat ini? Eileen tak memungkiri bahwa menjadi wirausaha memang sedang ngetren di kalangan generasi langgas.
“Walaupun mereka tahu yang sukses itu sedikit. Namun tetap ada peluang bagi perusahaanperusahaan kecil. Misalnya mengolah data. Big data. Kemudian data-data itu dijual ke perusahaanperusahaan yang memerlukan. Mereka juga tahu perusahaanperusahaan besar kayak Traveloka mulainya dari small juga,” kata Eileen.
Tingginya minat generasi langgas menjadi wisausaha ini juga dilihat oleh Dr. Andin Andiyasari, ACC., senior career coach dan pendiri Konsultankarir.com. Akan tetapi, di sisi lain, kompleksitas yang tinggi sebagai wirausaha sering kali membuat generasi langgas yang gagal setelah mencoba sebagai wirausaha berpindah menjadi karyawan biasa di perusahaan.
Menurut Andin, dalam sepuluh tahun terakhir ini profesi-profesi di bidang teknologi informasi
(TI) mengalami tingkat pertumbuhan tertinggi, sekaligus tingkat perpindahan tertinggi. Profesional di bidang ini sering kali berpindah dari perusahaan untuk membangun perusahaan rintisan ( start-up) sendiri atau menjadi technopreneur.
Dalam hal pindah profesi, sepengetahuan Andin, hingga saat ini belum ada data akurat yang menunjukkan profesi apa yang mengalami tingkat kepindahan karyawan paling tinggi di Indonesia. Hanya saja, “Berdasarkan pengalaman sebagai career coach selama ini, profesi yang memiliki tingkat stres tinggi tetapi juga menawarkan gaji yang tinggi sangat jarang ditinggalkan atau mengalami tingkat kepindahan yang tinggi. Ini dikarenakan antara beban tugas dan reward yang didapat sesuai. Contoh untuk profesi ini adalah dokter, pengacara, atau auditor publik.”
Sementara itu, untuk karyawankaryawan kantoran atau profesional yang bekerja di perusahaan, level managerial di bidang sales dan marketing, sering kali mengalami
tingkat kepindahan yang tinggi. Namun bisa jadi orang tersebut pindah dengan tetap berkarier sebagai manajer sales/marketing di perusahaan yang berbeda. “Atau berganti profesi menjadi wirausaha,” tambah Andin.
Evaluasi kompetensi
Bicara alih profesi tentu tak bisa dilepaskan juga dengan soal kompetensi. Bagaimana mau berpindah kerja jika kompetensi biasa-biasa saja. Dengan adanya peningkatan kompetensi ini, langkah alih profesi akan semakin ringan. Meningkatkan kompetensi ini tentu bermanfaat juga bagi yang sedang mencari kerja.
“Langkah utama untuk meningkatkan kompetensi adalah memahami kompetensi inti apa yang harus dimiliki untuk bisa sukses dalam bidang yang ditekuni. Kompetensi inti mencakup kompetensi teknis dan nonteknis,” kata Andin.
Kompetensi teknis di sini terkait dengan kemampuan bidang tertentu. Misal, untuk seorang chef harus memiliki kompetensi memasak
jenis-jenis masakan tertentu. Sedangkan kompetensi nonteknis menyangkut kompetensi perilaku, yakni kompetensi terkait perilakuperilaku kerja yang harus dimiliki seseorang agar berhasil mengembangkan karier. Contohnya kompetensi komunikasi efektif, membangun hubungan, kepemimpinan, kerjasama, inisiatif, serta komitmen organisasi.
Untuk yang sedang mencari kerja, tentunya kompetensi manajemen diri, termasuk di dalam mengelola waktu yang penting untuk dikembangkan. Inisiatif, self-drive, dan komitmen diri untuk terus berupaya juga menjadi faktor penentu dalam mencari kerja.
“Untuk yang sudah bekerja, tentunya kompetensi non-teknis akan menjadi semakin penting. Semakin tinggi posisi, kompetensi non-teknis harus semakin mahir.
Contoh, kompetensi mengembangkan orang lain ( leadership), negosiasi, dan business acumen menjadi kompetensi krusial untuk dimiliki dalam level mahir,” tandas Andin.
Apabila sudah memahami kompetensi apa yang harus dimiliki, Andin lalu menyarankan untuk melakukan evaluasi diri sudah sejauh mana kompetensi tersebut dikembangkan. “Semakin spesifik evaluasi yang dilakukan, akan semakin akurat menilai dan mengembangkan diri sendiri. Setelah mengetahui tingkat kompetensi yang dimiliki, cari cara untuk meningkatkan kompetensi tersebut. Misal mengikuti pelatihan, mencari mentor, ikut kursus online, atau membaca buku,” kata Andin.
Untuk bisa berhasil dalam hidup, hal penting yang harus dimiliki adalah growth mindset, pola pikir yang selalu terbuka untuk tumbuh dan belajar tanpa henti. Mau menerima perubahan dan selalu melakukan perbaikan agar dapat terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Siap untuk beralih profesi?