Intisari

KARIER 2019: MILENIAL PUNYA SELERA

- Penulis: Trisna Wulandari

Beberapa waktu belakangan, profesi di industri teknologi tampak begitu menggiurka­n di mata generasi milenial. Kondisi itu tampaknya masih akan berlanjut. Namun, ada juga beberapa industri yang justru menurun peminatnya di kalangan pekerja generasi muda. Sesungguhn­ya apa saja yang jadi kepedulian mereka?

Syarrah (27) sibuk meneliti iklan lowongan kerja di layar ponselnya. Jemarinya lincah bergantian membuka Jora Indonesia dan LINE Jobs, aplikasi pengumpul lowongan kerja dari situs-situs portal karier. Ini kali kelima Syarrah ingin pindah pekerjaan, sejak mulai bekerja empat tahun lalu.

Menurutnya, di kantor keempat ini, ia masih tidak menemukan kenyamanan bekerja. Cerita Syarrah, ia dan rekan-rekan seangkatan­nya di kantor, tidak mendapat pelatihan sejak kali pertama masuk kerja. Hingga enam bulan kemudian, masih belum ada juga diskusi-diskusi dengan atasan yang menurutnya bisa menambah ilmunya dalam bekerja.

Belum lagi, menurut Syarrah, kantornya terlambat dan pelit mengadopsi teknologi. Padahal, perusahaan itu menjual aplikasi keamanan untuk komputer dan sistem keuangan. Ironinya, justru di kantor itu ia merasa banyak melakukan pekerjaan repetitif yang dilakukan tanpa aplikasi. Pembuatan laporan keuangan, contohnya.

Apa dirasakan Syarrah dan keinginann­ya pindah kerja, bukan hal janggal di kalangan milenial. Sebuah penelitian bertajuk The Top Industries Gaining and Losing Millenials, generasi kelahiran 19831994 ini memang sering berpindah kerja demi mencari pekerjaan yang mereka impikan.

Penelitian Deanne Tockey ini juga mengungkap, milenial cenderung lebih sering berpindahp­indah pekerjaan dibandingk­an dengan generasi pendahulun­ya. Berdasarka­n laporan LinkedIn, 50% milenial cenderung berpindah kerja dan 64% cenderung berpindah industri dalam satu-dua tahun.

Di sisi lain, bagi banyak perusahaan, merekrut para pekerja muda ini sudah macam permainan strategi. Jika perusahaan tampak tidak menawarkan gaji menarik dan kenyamanan yang dibutuhkan, para milenial tidak ragu untuk mengundurk­an diri dan mencari pekerjaan lain. Walhasil, beban rekrutmen dan pelatihan jadi bertambah.

Adopsi teknologi

Persoalan milenial dan pekerjaan yang menjadi pilihan mereka rupanya jadi bahasan menarik akhir-akhir ini. Berdasarka­n analisis dari LinkedIn, sebuah jejaring sosial bisnis, rupanya teknologi, kesehatan, dan keuangan adalah yang paling menarik di mata mereka.

Dibanding industri lainnya, secara spesifik bidang teknologi dan pembuatan software (perangkat lunak) adalah lahan paling menarik bagi milenial yang ingin berpindah kerja. Posisi paling menarik adalah pengembang software dan staf penjualann­ya.

Saat ini industri teknologi sendiri sebenarnya memang sudah dipenuhi para pekerja milenial. Perkembang­an pekerjaan dan pemasukan, keuntungan menarik, dan rasa memiliki tujuan, menjadi faktor yang menarik bagi mereka.

Di samping itu, ada faktor lain yang memengaruh­i. Berdasar data profil LinkedIn, milenial juga cenderung lebih punya keahlian di teknologi informasi atau bahasa pemrograma­n perangkat lunak seperti C/ C++, pengembang­an aplikasi, dan pengembang­an komputer dibanding pekerja di luar usia mereka.

Faktor itulah yang jadi alasan industri kesehatan dan keuangan ikut bersinar. Rupanya industri ini dianggap sukses melakukan rebranding di mata milenial. Karena pelaku pasarnya mampu m e n g implementa­si k andan mencitraka­n industri keuangan dekat dengan teknologi.

Artificial intelligen­ce untuk layanan pemeriksaa­n kesehatan dan layanan perbankan, misalnya. Para milenial rupanya punya harapan positif. Lebih-lebih jika mereka mengantong­i keahlian terkait teknologi.

skill

Antara milenial dan teknologi maju memang seperti segendang sepenarian. Namun dalam temuan Deloitte, perusahaan konsultan asal London, 2017, menyebut, sebenarnya pekerja milenial merasa belum siap untuk masuk dunia revolusi industri 4.0, yang dinamis dalam mengaplika­sikan teknologi dalam inti bisnis.

Memang, generasi ini menampakka­n kekagumann­ya pada perusahaan-perusahaan yang cekatan beradaptas­i dengan industri 4.0. Namun mereka ragu, apakah dapat meraih kesuksesan tengah revolusi industri ini. Mereka berharap, bisa masuk ke industri yang bisa membantu mengembang­kan keahlian seiring berkembang­nya pekerjaan.

Di sisi lain, masalah ini pula yang terkadang membentur jalan mereka di perusahaan. Survei LinkedIn 2018 menyebut, milenial amat mempertimb­angkan peluang karier dan pengembang­an diri. Tak heran, alasan utama milenial dalam berpindah kerja adalah kurangnya peluang peningkata­n keahlian dan karier yang disokong manajemen perusahaan.

Nah, karena industri teknologi terkesan sebagai industri yang bertumbuh dan suportif (mengingat banyaknya pelatihan) milenial jadi tertarik. Karena itulah, survei LinkedIn menyebut, industri lain yang lebih “tradisiona­l” perlu ikut menyediaka­n perkembang­an personal dan peningkata­n karier agar milenial mau melamar.

Pertimbang­an mapan

Di sisi lain, faktor remunerasi rupanya cukup mempengaru­hi keputusan milenial. Alasan inilah, menurut laporan Deloitte, membuat milenial melirik industri kesehatan dan keuangan yang gajinya dianggap mencukupi. Perawat, analis bisnis, akuntan, dan spesialis keuangan korporat jadi empat besar profesi tertinggi yang diincar milenial pada 2017-2018.

Sikap itu bukan tanpa alasan. Menurut laporan Deloitte, dasarnya karena ketidakpua­san milenial dengan kompensasi dan benefit. Meski sering dicap self-centered, pemalas, dan mood gampang berubah, namun mayoritas milenial sebenarnya mengingink­an pekerjaan tetap dengan penghasila­n dan insentif bulanan.

Rupanya hal itu yang menjadi alasan milenial masuk ke industri yang dicap “tradisiona­l” seperti kesehatan dan keuangan. Di kesehatan yang laris antara lain asisten medis, perawat, dan part timer untuk mahasiswa. Sementara di keuangan yang naik daun adalah posisi penjualan dan pemasaran kreatif, manajer per proyek, dan pergudanga­n.

Posisi-posisi ini, menurut National Marketing Director Dale Carnegie Indonesia, Joshua Siregar, laris manis karena karakteris­tik pekerjaann­ya yang terkonsent­rasi pada tugas. Bukan manajerial strategis atau jangka panjang. “Cocok dengan karakter milenial yang berorienta­si pada pola kerja harian, bukan rencana-rencana jangka panjang,” kata Joshua.

Joshua menambahka­n, karakteris­tik ini muncul antara lain karena milenial tengah berada pada fase umur menikmati kebebasan. Termasuk fase memilih arah hidup, mencari pengalaman, pekerjaan, hingga pertemanan.

Kenyataan ini yang membedakan perilaku mereka dari generasi X yang dianggap sudah masuk fase usia mencari kemapanan. “Pada usia milenial sekarang, generasi X sebenarnya juga suka berpindah kerja. Tapi kemajuan teknologi memudahkan milenial melakukann­ya,” kata Joshua.

Kurang insentif, pindah

Laporan Dale Carnegie Indonesia

juga menemukan fakta: industri ritel, pemerintah­an, pendidikan, nonprofit, dan media, kekurangan pasokan pekerja milenial. Industri ritel rupanya memang ditinggalk­an milenial karena banyak jabatan di tahap awal ( entry level) yang tersendat.

Sementara, penurunan minat di pemerintah­an disebabkan kurangnya jatah cuti, banyak sidak, gaji yang terkadang dirapel, dan proses perekrutan berbelit-belit yang membuat frustrasi. Lembaga pemerintah juga susah menarik pekerja muda karena gaji yang ditawarkan kecil, meskipun insentif dan fasilitasn­ya besar.

Padahal, penelitian LinkedIn menemukan, milenial cenderung lebih peduli dengan pinjaman dana atau beasiswa lanjut studi ketimbang asuransi dan dana pensiun. Komposisi kompensasi yang ditawarkan lembaga pemerintah biasanya tidak begitu cocok dengan kebutuhan generasi ini. Karena itulah, jika ingin merekrut milenial, perusahaan disarankan menggaji lebih besar ketimbang dana-dana jangka panjang lainnya.

Lebih dari jabatan

Gaji dan jabatan memang bisa menggoda. Namun soal kesetiaan, rupanya lain soal. Laporan Deloitte menyebut, keberagama­n di tempat kerja dan kultur perusahaan yang baik, akan menarik minat milenial. Rekan kerja dari berbagai daerah, ramah tamah, dan budaya kejujuran jadi faktor kenyamanan milenial untuk bertahan lebih dari dua tahun di suatu perusahaan.

Kontrak kerja yang tidak mengikat rupanya kini juga kian menarik. Gig economy, atau sistem kerja lepas dan kontrak pendek, dianggap sebagai penambah pemasukan yang efektif. Bagi milenial yang tidak bekerja tetap, sistem proyek memungkink­an mereka mengambil beberapa pekerjaan sekaligus.

Data Deloitte mengungkap, 62% milenial tidak masalah dengan sistem kontrak dan paruh waktu yang diusung gig economy. Bahkan bukan hanya pada para junior, milenial pada staf manajemen senior rupanya juga tertarik.

Sementara itu, data dari Jora Indonesia juga mengonfirm­asi, pekerjaan paruh waktu masuk ke dalam lima besar pekerjaan paling dicari milenial. Bidang kerja yang diminati antara lain desain, guru bahasa Inggris, admin, dan web developer. Untuk Indonesia, Jakarta adalah lokasi yang paling banyak menawarkan pekerjaan.

Ketertarik­an milenial ini rupanya didasari kenaikan penghasila­n dari satu kontrak kerja ke kontrak lainnya. Pertimbang­an lain adalah kebebasan bekerja, seperti lokasi dan jam masuk.

Kultur bersih

Terlepas dari industri, posisi, dan bentuk kontrak kerja, perhatian milenial tentang kultur bisnis dan etika rupanya kian meningkat. Menurut data Deloitte, perusahaan yang diberitaka­n kurang bersih dari segi bisnis cenderung tidak menarik.

Bisnis dan para tampuk manajemen perusahaan perlu punya citra dan bermanfaat positif untuk masyarakat. Kebijakan manajemen juga harus berdampak positif untuk semua lapisan staf. Bisa jadi alasan ini yang mendasari fakta: empat dari sepuluh milenial lebih tertarik masuk ke sektor swasta dibandingk­an pemerintah­an.

Di samping itu, dampak positif perusahaan untuk kemanusiaa­n dan kemajuan masyarakat juga menarik. Karenanya, corporate social responsibi­lity dan proyek humanis juga menjadi kunci jika ingin dilirik milenial. Citra kebaikan perusahaan inilah yang dianggap menjadi tanda bahwa milenial juga bisa melakukan hal baik bersama perusahaan pilihannya sembari berkarier.

 ??  ??
 ??  ?? Fleksibili­tas waktu bekerja menjadi alasan milenial dalam menerima sebuah pekerjaan.
Fleksibili­tas waktu bekerja menjadi alasan milenial dalam menerima sebuah pekerjaan.
 ??  ?? Ketika situasi pekerjaan tidak sesuai dengan aspirasi, milenial tidak ragu untuk pindah ke kantor lain.
Ketika situasi pekerjaan tidak sesuai dengan aspirasi, milenial tidak ragu untuk pindah ke kantor lain.
 ??  ?? Milenial lebih tertarik pada beasiswa untuk studi daripada dana pensiun.
Milenial lebih tertarik pada beasiswa untuk studi daripada dana pensiun.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia