DINAMIKA Anggun dan Celine Dion Bertemu di Raminten
Sebuah pertunjukan kabaret drag queen, digelar setiap akhir pekan di Yogyakarta. Sebagai seni pertunjukan yang mendekonstruksikan gender, sayangnya Raminten sering disalahartikan. Padahal mereka hanya ingin diakui sebagai salah satu alternatif kesenian di Kota Budaya.
Tidak ada yang tidak sibuk, meski saat itu masih pukul 16.00 dan pertunjukan masih sekitar tiga jam lagi. Di dalam ruangan sempit yang penuh kaca, semua orang sedang mengerjakan sesuatu. Jika tidak sedang merias diri, berarti ia sedang merias temannya, atau sedang mempersiapkan kostum untuk pertunjukan nanti malam.
Ruangan berukuran sekitar enam kali tujuh meter itu adalah tempat para artis kabaret bersiapsiap, letaknya persis di bawah panggung. Ada hidrolik di tengahtengah ruangan, untuk naik ke atas panggung jika dibutuhkan; ada belasan jika tidak malah puluhan gaun warna-warni; ada sepatu hak tinggi; ada rambut palsu; ada aksesoris bulu-bulu; serta ada camilan: cakwe dan donat. Lagu Bojo Galak milik Via Vallen tengah diputar di atas panggung.
Hampir setiap artis membawa perlengkapan rias sendiri, salah satunya, Nova Andriyanto (25), yang saat itu tengah menyapukan eye shadow ke kelopak matanya. Tangannya sangat terampil memu-
las wajah. Riasan yang kerap menjadi andalannya adalah smokey eyeriasan pada mata dengan dominasi warna gelap yang dapat membuat matanya terlihat lebih tajam.
Pria kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, itu bakal memerankan Celine Dion, diva internasional yang lagu-lagunya telah begitu populer. Setelah resmi bergabung dengan Raminten Cabaret Show pada 2016, ia memang sering memerankan penyanyi asal Kanada itu. Nova lebih dikenal dengan nama panggung Suzzaravina.
Sementara itu, sejak bergabung dengan Raminten Cabaret Show pada 2011, Oby Atmaja (28), selalu berperan sebagai Anggun, diva dari Indonesia yang kini berkiprah di mancanegara. Perannya sebagai Anggun membuat dia mengoleksi macam-macam rambut palsu yang lurus dan berwarna hitam.
“Harus yang lurus, panjang, dan berkilau kayak Anggun kan. Masak harus ganti sampo lain,” kata Oby diiringi gelak tawa, ketika ditemui usai pertunjukan. Pria kelahiran Yogyakarta ini sehari-hari bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan penerbangan.
Lain lagi kisah Babam (32). Jika kedua temannya selalu memerankan tokoh yang sama setiap kali pentas, Babam justru kebalikannya. Pria lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini pernah memerankan Rihanna tetapi karena merasa gagal, ia lantas berperan menjadi Sia, penyanyi eklektik dari Australia. Meski peran itu tidak dilakoni sesering temantemannya.
Babam merasa lebih nyaman menjadi dirinya sendiri, dengan ciri khas penampilan yang eksentrik setiap kali berada di atas panggung. “Enggak tahu ya, kurang dapat penjiwaannya kalau jadi Rihanna, makanya aku merasa gagal. Sekarang kadang-kadang jadi Sia atau ya jadi diri sendiri saja,” kata Babam.
“Dia itu suka penampilan yang aneh-aneh,” kata Oby menimpali.
Di luar Raminten Cabaret Show,
Babam adalah pemain teater profesional. Baru-baru ini ia bermain di acara Festival Bedog Art yang diselenggarakan pada Oktober 2018. Pria yang mengidolakan RuPaul, drag queen dari Amerika Serikat, ini berasal dari Kepulauan Riau dan telah bergabung sejak Raminten Cabaret Show pertama kali berdiri akhir 2010.
Mengenal Drag Queen
Apa yang dilakoni Nova, Oby, dan Babam di atas panggung dikenal sebagai Drag Queen Show. Ada sejarah panjang yang melatarbelakangi lahirnya seni pertunjukan ini. Bentuk pementasan Drag Queen pada awalnya dapat dijumpai dalam tradisi teater Inggris abad ke-16, di mana saat itu perempuan hanya boleh mengerjakan tugas-tugas domestik. Akibatnya, seluruh peran teater perempuan dibawakan lakilaki.
Tiga abad setelah itu atau tepatnya pada awal abad ke-19, istilah drag digunakan untuk menyebut gaun perempuan yang dikenakan oleh laki-laki. Kata queen sendiri adalah penegasan keperempuanan sebagai sebuah jender.
Di Indonesia, pertunjukan lintas jender semacam ini juga dapat ditemukan pada beragam tradisi, misalnya dalam pertunjukan tari Ludruk dari Jawa Timur, Sandhur dari Madura, atau tari Masri dari Makassar.
Judith Halberstam dalam bukunya In Queer Time and Place: Transgender Bodie, Subcultural
Lives menyebutkan, pertunjukan ini digunakan sebagai jalan untuk mendekonstruksikan jender. Selama ini, akibat pembagian peran berdasarkan jender, maskulinitas dilekatkan pada laki-laki sementara femininitas dilekatkan pada perempuan.
Fenomena pertunjukan Drag Queen dapat dilihat sebagai upaya untuk memperbarui nilai tersebut. Sebuah penegasan, bahwa perbedaan jenis kelamin adalah konstruksi sosial yang sifatnya dapat berubah seiring perubahan nilai-nilai yang dianut sebuah masyarakat.
Raminten Cabaret Show dan Drag Queen
Raminten Cabaret Show bertempat di dalam gedung Hamzah Batik lantai tiga, bersentuhan langsung dengan hiruk-pikuk Malioboro, Yogyakarta. Jadwal pementasannya pernah berganti-ganti dari Jumat, Sabtu, Minggu menjadi hanya hari Jumat dan Sabtu saat ini.
Harga tiketnya juga semakin tinggi seiring meningkatnya kualitas pertunjukan, dari Rp10.000 hingga sekarang jadi Rp50.000 per tiket. Pengunjung dapat menyaksikan pertunjukan kabaret selama satu jam mulai dari pukul 19.00 hingga 20.00.
Babam sebagai salah satu artis yang bergabung sejak awal, menjelaskan, Raminten Cabaret Show semula adalah acara amal untuk membantu korban erupsi gunung Merapi pada 2010. “Kalau pernah dengar Gemblak, nah awalnya dari itu (pementasannya),” kata Babam.
Gemblak adalah salah satu peran yang dimainkan dalam pentas tari Reog Ponorogo. Pria berambut gondrong ini kebetulan menjadi salah satu gemblak yang bermain pada acara amal tersebut.
Rupanya setelah itu banyak permintaan untuk mengadakan pertunjukan yang sama. Namun mengingat Reog Ponorogo adalah sebuah tarian tradisional, maka Babam dengan anggota lainnya berpikir untuk menghadirkan pertunjukan serupa dengan sentuhan yang lebih kontemporer.
“Akhirnya itu kenapa kami nggak jadi Drag Queen saja. Kami bisa jadi Beyonce, Whitney Houston, Rihanna, macam-macam,” lanjut Babam.
Menolak asumsi negatif
Oby sempat ditinggalkan oleh beberapa kawannya setelah mereka
Sementara Nova sampai saat ini merahasiakan identitasnya sebagai Drag Queen dari keluarganya.
mengetahui identitasnya sebagai seorang Drag Queen. Sementara Nova sampai saat ini merahasiakan identitasnya sebagai Drag Queen dari keluarganya.
Fenomena ini membuktikan, masih ada asumsi negatif yang disematkan kepada seorang Drag Queen sebagai konsekuensi dari laku kesenian yang menuntutnya untuk berperan dengan menabrak batasan-batasan jender. Padahal sebagai bagian dari seni peran, menjadi Drag Queen juga bukan perkara mudah.
Oby misalnya mengawali kariernya lewat proses yang panjang dari ajang pemilihan bakat Yogyakarta Lipsync Competition pada 2011. Meski saat itu ia belum tahu banyak seputar dunia Drag Queen tetapi berkat kemiripannya memerankan Anggun, ia berhasil meraih juara favorit. Oby memang mengidolakan Anggun sejak kecil.
“Aku sama sekali enggak tahu ( bagaimana berperan sebagai Drag Queen), tetapi beberapa teman mendorongku,” katanya.
Hampir seperti Oby, Nova juga memulai kariernya lewat ajang yang sama. Meski tidak
berhasil meraih juara tetapi kemiripannya memerankan Celine Dion mengantarnya memasuki panggung Raminten Cabaret Show. Mereka berdua sama-sama berlatih menirukan karakter masing-masing peran dengan cara menonton video konsernya berulang-ulang.
Nini Thowok, salah satu punggawa dalam kesenian lintas gender, dalam wawancara dengan majalah Gong edisi 75, menjelaskan, laku kesenian transvesti ( lintas gender) menuntut senimannya untuk belajar lebih banyak tentang seni peran.
“Menjadi seniman transvesti dituntut mempelajari peran, bahasa tubuh, dan mimik keperempuanan. Ini alasan mengapa tidak menyerahkan langsung saja peran itu kepada perempuan sebenarnya, karena perempuan sebenarnya itu biasanya akan memainkan tokoh perempuan sebagaimana adanya, sementara seorang lakilaki yang melintasi batas jender ini, memainkannya dengan suatu jarak dan kelekatan,” ungkap Nini Thowok, seperti dikutip dari salah satu laporan dalam jurnal LeBur terbitan Yayasan Teater Garasi.
Kedekatan Drag Queen Show dengan dunia seni peran dapat dilihat dari kecenderungannya melakukan lipsync saat pertunjukan. Kecocokan gerak mulut dengan rekaman lirik lagu yang dibawakan, serta riasan wajah, kostum, gerakan tari, dan gerakan pantomim tentu tidak dapat serta merta dipentaskan jika tidak melalui sejumlah latihan dan kedisiplinan.
Karena itulah baik Oby, Nova, maupun Babam sangat berharap bahwa masyarakat dapat mengapresiasi laku kesenian mereka dengan menghilangkan asumsi negatif. “Kami ingin Raminten Cabaret Show diakui sebagai salah satu seni pertunjukan. Jadi kalau ada yang ke Yogyakarta, mereka bisa memilih pertunjukan kami sebagai salah satu hiburan,” kata Babam.
“Kebanyakan mereka yang enggak tahu Raminten Cabaret Show pasti menilai yang bukanbukan, padahal kalau sudah nonton pasti ingin nonton lagi,” kata Oby menambahkan.
Pertunjukan yang memikat
Sebentar lagi pukul 19.00, panggung kini sudah mulai gelap. Tiga orang penari membuka pertunjukan malam itu dengan membawakan tari Gambyong, sebuah tarian tradisional dari Jawa Tengah. Di antara riuh rendah penonton, terdengar komentar dan pertanyaan bersahut-sahutan.
“Itu penarinya cowok atau cewek ya?”
“Yang tengah kayaknya cewek beneran, enggak tahu yang kiri sama yang kanan.”
“Yang kiri cowok, badannya kekar. Tapi tangannya bisa lemas ( gemulai) begitu ya.”
Setelah itu satu per satu Drag Queen mulai tampil. Tidak ada yang tidak memukau penonton. Oby, Nova, serta Babam yang sebelumnya masih berdandan seperti laki-laki bahkan menjadi sulit dikenali. Dengan gaun dan riasan, mereka masing-masing telah berubah menjadi Acipta Sasmi, Suzzaravina, dan Luna Qabari.
Ony Muljosubroto (53), salah seorang penonton, mengaku terhibur dengan penampilan mereka. Sudah berulang kali ia menonton.
“Aduh, sudah berapa kali ya, sudah enggak ingat. Unik soalnya, suasananya berbeda. Lucu,” kata perempuan yang pernah lama tinggal di Jakarta ini. Ony
“Yang kiri cowok, badannya kekar. Tapi tangannya bisa lemas (gemulai) begitu ya.”
juga kerap merekomendasikan Raminten Cabaret Show kepada kawan-kawannya dari luar kota yang datang berkunjung ke Yogyakarta.
Aris Setyawan, juga salah seorang penonton, bahkan mengunggah tanggapannya di dalam akun Instagram miliknya beberapa saat setelah menyaksikan pertunjukan.
“So good, they felt like they were singing for real, not lipsync. Then, I thought about gender. That gender is something that is fluid, cannot be pegged into two male and female dichotomies. There are times when we have to be able to break through gender restrictions to understand human. Their appearance is good, and they deserve to be exposed to such magnitude.”
“Sangat bagus, mereka seperti menyanyi betulan, bukan purapura menyanyi. Lantas, aku jadi berpikir tentang gender. Bahwa gender adalah sesuatu yang bersifat cair, tidak dapat dipatok ke dalam dua dikotomi: pria dan wanita. Ada saat di mana kita harusnya bisa melampaui batasan-batasan gender untuk lebih memahami manusia. Penampilan mereka bagus, dan mereka pantas mendapatkan apresiasi, tulis pria lulusan ISI Yogyakarta ini.
Selama satu jam pertunjukan, waktu menjadi terasa sangat cepat. Penonton bersorak dan gelak tawa memenuhi suasana pertunjukan setiap kali ada Drag Queen yang bertingkah lucu.
Ketika lampu akhirnya kembali dinyalakan, para Drag Queen telah turun dari panggung dan tengah berbaris rapi di depan pintu keluar, menyambut kepulangan penonton. Usai memenuhi permintaan foto, mereka melambaikan tangan, mengucapkan terima kasih.
“Jangan lupa nonton lagi ya,” kata Oby, dengan gaun warna hijau dan rambut panjang yang berkilau seperti Anggun.
Bahwa gender adalah sesuatu yang bersifat cair, tidak dapat dipatok ke dalam dua dikotomi: pria dan wanita. Mutiara Kata “Jika Anda tidak bisa mencintai diri sendiri, bagaimana mungkin Anda dapat mencintai orang lain.” Mama RuPaul, Drag Queen asal Amerika.