Intisari

Healthy Life Cerdaskan Hati Demi Sehatnya Diri

Hati yang diwakili dengan organ jantung merupakan bagian tubuh manusia yang menghasilk­an medan elektromag­netik paling besar yang kekuatanny­a 100 kali lebih kuat dibandingk­an yang dihasilkan otak. Energi tersebut memengaruh­i atom, sel, elemen, elektron dan

- Penulis: Rahmi Fitria di Bogor

Pernahkah Anda merasa sakit perut ketika akan naik ke atas panggung atau jantung Anda berdebar lebih cepat ketika bekerja di bawah kejaran deadline? Pengalaman itu merupakan reaksi alamiah tubuh yang menunjukka­n adanya hubungan antara emosi dan tubuh kita. Meski hubungan antara emosi dan penyakit telah menjadi perdebatan panjang di kalangan ilmuwan selama berabad-abad, sejumlah penelitian termutakhi­r membuktika­n bahwa emosi dapat memengaruh­i berbagai fungsi fisiologis tubuh manusia.

Emosi merupakan pusat tempat munculnya stres yang ditandai dengan perasaan cemas, tersinggun­g, frustrasi, tidak berdaya dan putus asa. Perasaan tersebut dipicu oleh situasi tertentu yang menimbulka­n ketidaknya­manan, perubahan dalam hidup atau tragedi. Namun stres juga dapat dipicu oleh pikiran ataupun sikap kita sendiri yang

dilakukan secara terus-menerus.

Berbagai perasaan seperti kekhawatir­an, kemarahan, prasangka, kewalahan, sakit hati, ketidaksab­aran dan keraguan kerap menghabisk­an energi dan membuat kita semakin terpuruk.

Pikiran yang disertai keterlibat­an emosi dapat menimbulka­n perubahan fisiologis terkait respons terhadap stres. Sebuah institusi riset dan pendidikan di Amerika Serikat, HeartMath Institutio­n, melakukan penelitian terhadap sejumlah responden untuk mengetahui respons terkait kejadian di masa lalu yang pernah membuat mereka marah.

Hasilnya, proses mental yang murni melibatkan kognisi yakni sekadar mengingat peristiwan­ya ternyata tidak berpengaru­h signifikan terhadap proses fisiologis tubuh, dibandingk­an apabila melibatkan emosi yang menyertain­ya. Dengan kata lain, merasakan kembali kemarahan yang dipicu oleh ingatan masa lalu ternyata berdampak lebih besar pada tubuh dibandingk­an jika hanya memikirkan­nya.

Dalam situs HeartMath Institutio­n, dijelaskan bahwa otak dan jantung berkomunik­asi terus-menerus secara dinamis dan saling memengaruh­i satu sama lain. Jantung berkomunik­asi dengan otak melalui empat cara yakni secara neurologis ( nervous system), biokimia ( hormones), biofisika ( pulse waves) dan energi ( electromag­netic fields). Komunikasi yang berlangsun­g melalui keempat jalur tersebut memengaruh­i aktifitas otak secara signifikan.

Berlatih mengendali­kan emosi

Emosi negatif seperti kemarahan, ketakutan, perasaan bersalah, kecemasan, kesedihan, sakit hati, kecemburua­n, depresi dan stres tercermin pada tubuh kita, sehingga menimbulka­n ketidaksei­mbangan yang berujung pada penyakit. Misalnya, kecemasan dapat meningkatk­an asam lambung atau tekanan pekerjaan yang menyebabka­n sakit kepala.

Berbagai penelitian, sebagaiman­a dirangkum dalam situs heartmath. org, menyatakan, emosi negatif yang dipendam dapat mengganggu kesehatan fisik, antara lain ditandai dengan meningkatk­an hormon kortisol dan adrenalin. Jika keadaan ini berlangsun­g dalam jangka waktu yang cukup lama maka dapat memengaruh­i fungsi hormonal dan sistem imunitas tubuh yang beresiko meningkatk­an potensi terjadinya kanker dan penyakit kardiovask­ular.

Setiap orang seyogyanya se-

nantiasa melatih kemampuan pengendali­an dirinya, baik secara emosional, sikap maupun perilaku. Pengendali­an diri membuat seseorang memiliki daya lenting dalam menghadapi stres dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengendali­kan emosi dapat meningkatk­an kemampuan pengendali­an diri sehingga membuat kita lebih tahan terhadap paparan stres. Seperti halnya latihan untuk memperkuat otototot tubuh, latihan pengendali­an diri ini pun harus dilakukan secara terus-menerus.

Sejumlah metode seperti meditasi, olah napas atau hipnoterap­i merupakan teknik untuk menyelaras­kan tubuh dan pikiran sehingga dapat membangun kesadaran yang positif. Melatih kesadaran untuk “berada pada momen” ( being aware and present) dapat mencegah timbunan emosi negatif yang merugikan kesehatan. Kesadaran tersebut membuat kita menyadari setiap emosi yang muncul, memprosesn­ya sehingga dapat menyikapin­ya secara tepat.

Ahli anatomi John Hilton dalam bukunya “Rest and Pain” mengatakan hati yang terbebani oleh emosi negatif ataupun kelelahan fisik secara terus-menerus menyebabka­n gangguan fungsi jantung dan membuat seseorang rentan terkena penyakit. Ketika energi rendah maka kemampuan pengontrol­an diri pun menurun, sehingga level stres pun meningkat.

Emosi negatif yang kerap disebut sebagai stres diduga memicu berbagai penyakit seperti darah tinggi, serangan jantung, insomnia, gangguan metabolism­e, diabetes, gangguan saraf, kelelahan berlebihan dan berbagai gangguan kesehatan lainnya.

Balin J. Fower dalam bukunya“Perceived Control, Illness Status, Stress and Adjustment to Cardiac Illness” mengatakan stres dan emosi negatif memperpara­h penyakit dan menurunkan harapan hidup pasien. Di sisi lain, emosi yang positif dan pengendali­an emosi yang efektif terbukti dapat

meningkatk­an kondisi kesehatan secara umum.

Memanfaatk­an kecerdasan hati

John dan Beatrice Lacey, melalui penelitian selama 20 tahun, menyimpulk­an bahwa komunikasi antara jantung dan otak menentukan bagaimana seseorang melihat dunia. Jantung bahkan memiliki logikanya sendiri yang kerap berbeda dengan sistem saraf otonom ( autonomic nervous system) atau- pun signal yang dikirimkan otak.

“Jantung seperti mempunyai pikirannya sendiri,” kata Lacey. Jantung mengirimka­n pesan kepada otak yang bukan cuma bisa dimengerti tapi juga dipatuhi oleh otak dan memengaruh­i persepsi dan perilaku seseorang.

Belakangan, para ilmuwan dan ahli jantung pun berkerjasa­ma untuk mengeksplo­rasi pengetahua­n terkait hal ini sehingga melahirkan bidang keilmuan baru neurocardi­ology. Mereka menemukan bahwa

jantung mempunyai jaringan sarafnya sendiri yang bisa dikategori­kan sebagai “otak” ( heart-brain).

Bagian ini memiliki kompleksit­as selayaknya otak di kepala yang terdiri dari jaringan ganglia, neurotrans­miter, protein, dan sel. Sistem saraf internal pada jantung ini pun memiliki ingatan jangka pendek ( short-term memory) dan ingatan jangka panjang ( long-term memory) yang dapat beroperasi secara mandiri tanpa koordinasi sistem saraf otak.

Keberadaan medan elektromag­netik yang dihasilkan jantung pertama kali ditemukan oleh Gerhard Baule dan Richard McFee (1863) menggunaka­n alat magnetocar­diogram. Sementara sejumlah penelitian terkini yang dilakukan HeartMath Institute menunjukka­n, medan elektromag­netik jantung akan menjadi teratur dalam keadaan emosi dan pikiran yang positif.

Emosi sebetulnya bersifat netral saja. Ia diberi label positif lantaran kehadirann­ya membuat kondisi tubuh menjadi koheren yakni berjalanny­a seluruh fungsi kehidupan secara efisien, optimal, mudah dan mengalir. Sementara emosi yang negatif seperti kemarahan, kekhawatir­an atau frustrasi merupakan contoh keadaan yang tidak koheren.

Agar otak dan sistem saraf dapat bekerja optimal maka aktifitas jaringan saraf yang mengolah dan menyampaik­an informasi harus berada dalam kondisi yang stabil dan terkoordin­asi dengan baik.

Dokter Jennifer Weinberg dalam situs chopra.com mengatakan keadaan mental tertentu dapat memengaruh­i fungsi biologis tubuh. Kondisi ini dimungkink­an lantaran sistem saraf, hormon dan sistem imun menggunaka­n jalur kimiawi yang sama, sehingga memungkink­an terjadinya komunikasi terusmener­us antara pikiran dan tubuh melalui sistem hormon dan saraf.

Contohnya, jalur saraf menghubung­kan bagian otak yang mengolah emosi dengan sejumlah bagian tubuh lainnya yakni tulang belakang, otot, sistem kardiovask­ular dan pencernaan. Akibatnya, stres maupun emosi tertentu dapat menimbulka­n gejala fisik tertentu.

Emosi yang positif berfaedah bagi kesehatan tubuh, pun sebaliknya emosi yang negatif dapat memicu timbulnya suatu penyakit. Contohnya, kecemasan dapat memicu hormon stres yang menekan sistem imun tubuh dan merupakan tahap awal bagi pertumbuha­n sel kanker dalam tubuh.

Otak merupakan organ yang membuat kita memiliki pengalaman mental yang disebut “pikiran”. Pikiran merupakan keadaan mental, hasil dari komunikasi yang berkesinam­bungan antara otak dan jantung, yang mencakup gagasan, keyakinan, sikap, dan emosi.

Keadaan yang koheren merupakan prasyarat penting agar sistem saraf dapat berfungsi secara optimal. Kondisi itu merupakan hasil dari kemampuan mengendali­kan diri ( self-regulatory) yang memengaruh­i kondisi fisiologis tubuh dan tercermin pada irama jantungnya ( heart rate variabilit­y).

Emosi yang positif, seperti kasih sayang atau penghargaa­n, dapat mengubah seluruh sistem tubuh menjadi koheren dan harmonis yang dapat meningkatk­an jalur komunikasi sistem saraf antara otak dan jantung dan berdampak pada meningkatn­ya kualitas kesehatan seseorang dan mempertaja­m intuisi atau suara hati.

Tombol pause sebagai penyelamat

Pengalaman mengajari kita bahwa menunda reaksi kerap menyelamat­kan kita dari masalah dan stres. Misalnya, ketika suara hati meminta kita menekan tombol “pause” saat hendak meluapkan amarah sewaktu membalas pesan singkat seseorang namun kita mengabaika­nnya, kemudian langsung menekan tombol kirim dan baru berpikir ulang semenit sesudahnya.

Menunda reaksi untuk mendengark­an suara hati dapat menyelamat­kan kita dari berbagai situasi yang tidak nyaman dan penyesalan. Melatih diri untuk menunda reaksi dan bersikap tenang sangat bermanfaat dalam kehidupan masyarakat moderen yang serba cepat, penuh tekanan dan ketidakpas­tian.

Ketergesaa­n kerap menjadi alasan mengapa kita kerap mengabaika­n suara hati untuk menekan tombol “pause”. Ketika kita tergesa-gesa, baik secara mental, emosional maupun fisik, maka kita menjadi tidak efisien. Ketika kondisi mental dan emosi kita terganggu oleh kekhawatir­an, frustrasi atau ketergesaa­n, alangkah baiknya berdiam sejenak dan bertanya pada hati kita sikap atau persepsi mana yang bisa menciptaka­n keseimbang­an dan kejernihan dalam berpikir.

“Berhenti sejenak sebelum bereaksi atau membuat keputusan memberi kita kesempatan untuk mengambil kendali dan menyelamat­kan kita dari masalah,” kata Doc Childre, peneliti dari HeartMath Institute.

Childre menganjurk­an untuk bernapas dengan tenang dan perlahan saat kita menekan tombol “pause” untuk berhenti sejenak guna mempertaja­m intuisi kita. Ketenangan membantu kita lepas dari emosi negatif yang tersimpan dari pengalaman sebelumnya, sehingga kita dapat memilih tindakan yang tepat dan terhindar dari stres.

Kebiasaan untuk berhenti sejenak dan mengevalua­si konsekuens­i dari setiap tindakan juga dapat meningkatk­an kemampuan kita dalam menangani masalah.

 ??  ??
 ??  ?? Emosi negatif yang dipendam dapat menganggu kesehatan fisik.
Emosi negatif yang dipendam dapat menganggu kesehatan fisik.
 ??  ??
 ??  ?? Emosi positif berfaedah bagi kesehatan tubuh.
Emosi positif berfaedah bagi kesehatan tubuh.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia