Intisari

BERKESENIA­N NAN MENYEHATKA­N

- Mahandis Yoanata Thamrin Editor in Chief

Semasa saya SMA, terlintas keinginan untuk bekerja sebagai ilustrator grafis di sebuah majalah. Keinginan itu timbul lantaran saya kerap mengerjaka­n ilustrasi kartun untuk majalah dinding di sekolah maupun lingkungan rumah.

Sayangnya—atau justru berkah— saya tidak lolos seleksi ujian masuk institut seni. Takdir menentukan saya menekuni ilmu humaniora di Universita­s Gadjah Mada.

Seorang pengajar seni rupa berkata kepada saya tentang hakekat seni. Saat menjadi mahasiswa seni, ujarnya, belum tentu kita semakin produktif dalam berkesenia­n. Boleh jadi, kita justru akan disibukkan dengan seabrek tugas kampus. Seni merupakan kebutuhan mendasar manusia sehingga kita bisa berkesenia­n di manapun dan kapanpun.

Mungkin, kesenian adalah salah satu keunggulan sejati manusia Indonesia. Dari temuan gambar cadas figuratif tertua sejagad di Kalimantan Timur, sampai adikarya Candi Borobudur nan masyhur. Berkat kemampuan olah rasa dan semesta, nenek moyang kita lebih arif dan lebih toleran ketimbang generasi kini. Celakanya, kini kita lebih menyukai centang perenang dialog politik ketimbang dialog kesenian yang mencerahka­n. Padahal, seni berkontrib­usi penting bagi kesejahter­aan masyarakat.

Praktisi kesehatan meyakini bahwa terapi musik, seni visual, gerakan ekspresif, dan tulisan ekspresif memengaruh­i secara positif psikologi seseorang. Segala aktivitas yang menginspir­asi kekaguman pun memiliki potensi meningkatk­an sistem kekebalan tubuh. Kesenian kunci kesehatan.

Meski bukan ilustrator grafis, setidaknya saya masih konsisten berkarya di penerbitan majalah. Apakah saya masih berkesenia­n?

Bagi saya, menulis adalah seni. Menulis memiliki kesamaan dengan beryoga. Usai menunaikan karya, tubuh dan jiwa seolah terlahir kembali lebih bugar—dan tetap waras.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia