Rumah Swasembada Energi Listrik UI
Selama ini sumber energi rumah kita tergantung dari PLN. padahal, di sekitar kita banyak potensi alam yang bias diberdayakan menjadi energi listrik. Sinar matahari, angina, sungai hanyalah beberapa contoh. Rumah dual power ini mencoba memanfaatkan potensi itu, seiring meningkatnya kampanye penggunaan energi terbarukan
Tak ada yang menyangkal bahwa listrik merupakan salah satu temuan manusia yang mengubah wajah dunia. Ekonom Erich Zimmermann pada 1951 menyebut kebangkitan listrik adalah fitur paling khas dari revolusi industri kedua. Tak hanya bagi industri, bagi rumah tangga listrik adalah pusat kehidupan. Betapa muramnya rumah tanpa listrik.
Selama ini sebagian besar dari kita bergantung dengan listrik dari PLN. Pemerintah pun terus menggenjot rasio elektrifikasi. Akhir 2019 ditargetkan angkanya mencapai 99,9%. Rasio elektrifikasi menandakan tingkat perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dengan jumlah total penduduk di suatu wilayah atau Negara.
Meningkatnya rasio elektrifikasi dan jumlah penduduk yang terus bertambah membuat konsumsi listrik per kapita di Indonesia pun naik secara signifikan. Berdasarkan data Kementerian ESDM konsumsi listrik per kapita mencapai 994,41 kilo Watt hour ( kWh) hingga September 2017. Angka ini naik 3,98% dari posisi
akhir 2016 sebesar 956,36 kWh. Konsumsi itu bisa bertambah lagi dengan adanya program pengembangan mobil listrik.
Di sisi lain, pemerintah berencana menyederhanakan golongan listrik untuk pelanggan dengan daya 900 VA (nonsubsidi) akan didorong menjadi 1.300 VA dengan tarif tetap Rp 1.352/kWh.
Sedangkan untuk pelanggan dengan daya 1.300 VA, 2.200 VA, 3.300 A, dan 4.400 VA akan naik menjadi 5.500 VA, dengan tarif Rp1.467,28/kWh. Sementara pelanggan di atas 5.500 VA hingga 13.200 akan menjadi 13.200 VA dengan tarif Rp1.467,28/kWH + PPN, serta pelanggan di atas 13.200 VA ke atas akan loss stroom dengan tarif Rp1.467,28/kWh + PPN.
Dengan kondisi seperti itu, maka apa yang ditawarkan tim Tropical Renewable Energy Center – Fakultas Teknik Universitas Indonesia (TREC-FT UI) menjadi sangat menarik. Mengusung semangat kemandirian, tim TREC menawarkan sebuah terobosan teknologi yang menggabungkan listrik PLN dan listrik swadaya dari alam.
Penerapan 5R
Alam sebenarnya sudah memberikan sumber energi gratis yang bisa kita olah menjadi listrik. Matahari, angin, sungai adalah beberapa sumber itu.
“Rumah ini akan mengikuti potensi energi yang ada di daerah sekitar,” kata Dr-Ing. Eko Adhi Setiawan, DTE, ketua TREC mengenai rumah dual power yang terbuat dari kontainer bekas dan memanfaatkan energi listrik dari matahari, baterai, dan fuel cell. Rumah bercat kuning yang berada di pojokan kawasan Fakultas Teknik UI itu menjadi kantor sehari-hari Eko.
Dari jauh tak ada yang istimewa dari rumah contoh itu kecuali bahannya yang dari kontainer itu. Tapi itu pun sudah populer akhirakhir ini meski kebanyakan digunakan sebagai tempat usaha, wa- rung misalnya. Baru ketika kita mendekat dan memasuki ruangan di dalamnya, akan mengerti nilai plus rumah ini. Sebuah panel surya menjadi titik perhatian nilai plus itu.
“Ide dasarnya, kami ingin membangun rumah yang energinya memanfaatkan energi matahari. Mengapa matahari? Karena potensinya besar dan harga ( listriknya) lebih murah. Bisa kompetitif dengan listrik dari PLN. Kami juga ingin menerapkan konsep 5R. Recycle, ini kontainer bekas. Reuse, dulu sebagai pengangkut barang sekarang jadi tempat tinggal. Renewable, menggunakan energ terbarukan. Reliable, relatif tahan terhadap bencana alam seperti gempa atau tsunami. Reduce, mengurangi energi fosil dengan tidak menggantungkan semata ke PLN,” kata sarjana elektro lulusan Universitas Trisakti, Jakarta ini.
Penggunaan energi terbarukan menjadi terobosan rumah kontainer ini. Untuk rumah contoh ini tak tanggung-tanggung, menggunakan teknologi fuel cell yang menghasilkan listrik dan air. Lalu baterai sebagai penyimpan. Serta sel surya untuk menangkap matahari. “Tapi kami masih mengandalkaan PLN juga untuk back up,” kata Eko yang menamatkan S-2 di Universitas Indonesia ini.
Untuk sumber energi lain bisa saja diterapkan, tergantung potensi daerah itu. “Semisal di sekitar dae-
rah situ banyak angin, kami bisa pasang penangkap angin untuk diubah menjadi listrik. Kalau dekat dengan PLTA atau sungai kecil, bisa menggunakan mikrohidro. Jadi, fleksibilitas rumah ini sangat tinggi. Kami sedang berrencana mau pasang di Garut, Jawa Barat. Di sana anginnya kenceng. Ya sudah, pasang kincir. Sehingga cost energy- nya rendah,” kata Eko yang mengambil program doktor di Jerman.
Fuel cell di rumah contoh ini hanyalah contoh saja karena untuk diaplikasikan di rumah sehari-hari harganya masih mahal. “Yang dipakai di sini harganya Rp500 juta,” kata Eko. Akan tetapi memang hasilnya sepadan dengan harganya. Kapasitas alat yang selain menghasilkan listrik juga menghasilkan air (meski sedikit) ini sebesar 5kW. Ini setara dua rumah yang menggunakan listrik PLN dengan daya 2200 VA. Hanya saja keluarannya masih listrik searah, yakni DC 48V.
Tetap searah
Mungkin yang jadi kendala dari energi terbarukan ini adalah soal keluaran tadi yang masih bersifat listrik searah, DC. Akan tetapi, alihalih mengubahnya menjadi arus listrik bolak-balik (AC), Eko dan kawan-kawan tetap mempertahankan arus searah tetapi meningkatkan besarannya menjadi DC 230V. Di sinilah sebenarnya intisari dari rumah dual power ini. Rumah
menggunakan listrik arus searah (DC) sekaligus bolak-balik (AC).
Lantas, arus searah digunakan untuk “menghidupkan” apa? “TV dan beberapa alat ini sudah running menggunakan DC. Charge laptop atau ponsel bisa langsung DC,” tutur Eko yang langsung mempraktikkan dengan mengisi ulang baterai laptopnya.
Listrik dari panel surya, turbin, baterai, semua adalah DC. Jika alat-alat elektronik sudah bisa menggunakan DC mengapa harus mengubahnya ke AC? Menurut Eko, dengan mengubah ke AC akan timbul loss dan rugi-rugi lainnya. Hanya beberapa peralatan yang menggunakan arus induksi seperti pompa air, AC ( bagian kompresornya, sedangkan bagian blower sudah DC), serta mesin cuci (sebagian sudah ada yang DC).
Persoalan lain yang bisa muncul adalah listrik berlebih yang masuk ke baterai sebagai media penyimpan. Atau baterai tersedot habis karena pasokan yang kurang. Kedua hal itu bisa berakibat kinerja baterai merosot. Mengatasi hal itu, Eko memasang charge control di sistem dual power ini. “Jadi baterainya aman. Kalau sudah ‘ kenyang’, tidak diisi lagi. Tapi juga tidak diperas habis-habisan,” kata Eko.
PLN tetap terpasang sebagai sumber listrik cadangan. Misal seharian mendung sehingga panenan listrik matahari jeblok. Atau baterai sudah soak. “Ya udah, tinggal ganti switch saja, listrik PLN masuk. Atau bisa juga listrik PLN untuk peralatan yang masih perlu arus listrik bolak-balik.” Ke depan, pengontrolan ini akan dibikin cerdas sehingga bisa otomatis berpindah ke listrik PLN manakala sumber energi terbarukan mengalami masalah.
Eko yang rumahnya memasang sistem ini, memberi gambaran soal penghematannya. Saat tidak menggunakan AC, pengeluaran biaya listrik PLN turun sekitar 40%. Ketika menggunakan AC, sekitar 20 persen.
Anda tertarik?