Bebaskan Emosi di Selembar Kertas
Dalam perjalanan hidup yang penuh gejolak, setiap manusia memiliki caranya sendiri untuk mampu bertahan. Dua perempuan ini memilih jalan seni untuk menikmati perjalanan mereka.
Pulang-pergi kantor empat jam sehari tentu melelahkan. Itulah yang dirasakan Citra Marina saat melakukan perjalanan komuter dari rumahnya di Jakarta Utara ke kantornya di Serpong, Tangerang. Setelah bermacet-macet dengan taksi daring sampai di sebuah stasiun Jakarta Selatan, ia melanjutkan perjalanan ke Serpong dengan kereta.
Daripada waktu hilang 40 menit begitu saja di kereta, ia keluarkan buku sketsa ukuran saku dari tas. Spidol merah dan biru di tangan Citra berganti-ganti menggambarkan tokoh-tokoh lucu tatkala kereta melaju.
Orang-orang di kereta tidak tahu, perempuan yang tampak asyik menggambar ini sebenarnya tengah berusaha agar tak gusar sendiri.
Menunda reaksi mentah
Citra memulai kebiasaan menggambar di kereta sejak awal 2017. Kala itu kantornya baru saja pindah lokasi dari kawasan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, ke Serpong yang jaraknya bisa 30 km.
Sebelum pindah, ia merasa situasi bekerja di perusahaannya sudah nyaman. Lingkungan yang enak, jadwal kerja fleksibel, dan lokasi yang tidak jauh dari rumah, memudahkannya punya kehidupan sosial di luar jam kerja.
Kepindahan ini berbarengan dengan peran baru lulusan Teknik Industri ITB ini sebagai manajer global untuk merek Citra Lotion di Unilever. Di posisi ini, Citra harus berkoordinasi dengan tim dari India, Thailand, dan Singapura yang bahkan belum pernah ia temui langsung.
Tidak heran bila Citra jadi merasakan culture shock. Adaptasi dengan tim baru yang multikultur, termasuk menyesuaikan cara kerja dan komunikasi, membuatnya lelah psikis. Ditimpali lelah fisik karena harus melakukan komuter tiap hari, masa-masa awal kepindahannya itu terasa berat.
Suasana hatinya jadi gampang berubah. Pernah suatu pagi, Citra emosi setelah membaca surat elektronik di kotak masuk ponselnya. Tetapi ketimbang komplain balik dan merutuk di media sosial, dia mencoba berusaha mindful dengan merasionalisasi emosi.
“Kenapa gue marah? Ekspektasi gue ketinggian, atau sebenarnya ini soal biasa saja, tapi I take it personally?” tanya Citra. Dari pertanyaan itu, ia menantang diri untuk menumpahkan emosi dengan cara lain.
Tantangan pribadi ini mengan- tarkan Citra menggambar di kereta. Sejak saat itulah hobi yang ditekuninya sejak kecil ini jadi terasa punya tujuan baru. Terutama saat ia dihadapkan dengan momenmomen sulit.
Kejadian yang membuat kesal dan kecewa, ketidakpuasan dengan orang lain dan diri sendiri, ia pertanyakan ulang dalam kepala. Baru kemudian, hasil berdialog dengan diri sendiri itu divisualisasikan ke dalam bentuk gambar.
Gambar-gambar ilustrasi Citra di kereta biasanya mengambil tokoh doodle berwajah campuran anjing
dan rubah imut-imut bernama Choo Choo. Tokoh ini berkarakter bijak dengan khas dialog atau tambahan teks lucu berbalut sarkasme. Meskipun Choo Choo terlihat lucu, idenya berasal dari hal-hal di luar zona nyaman Citra yang membuat kesal itu.
Meditasi anti ngantuk
Seringkali setelah menggambar, Citra menyadari situasi atau orang yang ia hadapi memang menyebalkan. Tetapi di sisi lain, dia jadi lebih sadar kalau tak perlu bereaksi terlalu keras dengan marah-marah balik atau curhat di media sosial. “Ya, mungkin ada faktor karena aku juga, ha-ha-ha,” katanya.
Proses berdialog dengan diri sendiri sampai terciptanya gambar ilustrasi inilah yang bagi Citra tak ubahnya meditasi pikiran. Pada saat menggambar, ia menuturkan, kita harus belajar cara melihat dan mengamati dengan sederhana. Dari mengamati objek atau pemandangan, kita harus memilih, elemen mana yang perlu digambar, mana yang tidak.
Sama halnya dengan kehidupan. Citra berpendapat, amati apa yang di depan kita, jangan hanya melihat sekilas. Kemudian, pilih yang penting menjadi fokus, lalu filter yang penting dan tidak.
Filosofi ini yang Citra resapi saat menggambar. Dengan begitu,
proses melepaskan beban dan menjernihkan pikiran laiknya meditasi bisa ia capai.
Citra berpendapat, cara “meditasi” tiap orang berbeda, dan menggambar kebetulan tepat untuknya. Pernah sekali waktu dia mencoba meditasi konvensional dengan bantuan aplikasi di ponsel. “Baru dua menit malah ngantuk, ha-ha,” kata Citra.
Bagi Citra, menggambar juga jadi jalan yang menyenangkan untuk menghindari bermain gawai terlalu lama. Seringkali, ia berpendapat, akibat mengecek satu notifikasi di ponsel, kita teralihkan dan malah menggulir laman media sosial tanpa tujuan.
Saat tidak sedang menggambar, Citra memilih mengisi ulang diri dengan membaca novel pengarang Amerika dan Jepang favoritnya. Membaca, ia menuturkan, jadi cara untuk tetap merasa berproses mengembangkan diri sebelum kembali menggambar.
Relatable dan Instagramable
Tiga bulan menggambar Choo Choo di kereta, Citra tak lupa
mengeposkannya di Instagram @marinaesque dengan tagar #DrawingTrainChooChoo. Citra sengaja membuat kapsi foto singkat karena tak merasa perlu membagi cerita personal di balik pembuatan gambar Choo Choo hari itu.
Akan tetapi, di waktu yang sama, banyak orang di media sosial yang tidak dikenalnya berkomentar, “Ih ini relatable banget!” Padahal tak jarang setelah ia cek, sekilas tak ada kesamaan dari mereka, baik gender, usia, tempat tinggal, maupun pekerjaan.
Kesamaan perasaan orangorang yang berbeda inilah yang begitu surprising dan menarik bagi Citra. Karena sebenarnya tiap gambar ilustrasi Choo Choo adalah refleksi personal hidupnya sendiri. “Mungkin momen-momen yang kita jalani berbeda,tapi yang kita rasakan itu universal ya,” katanya.
Kekuatan ilustrasi Citra dalam memunculkan rasa yang sama bagi banyak orang inilah yang ditangkap penerbit Gramedia Pustaka Utama. Hanya berjarak tiga bulan setelah Choo Choo lahir di Instagram, pihak penerbit meminta Citra menyiapkan tiga jilid buku ilustrasi dengan karakter anjing-rubah itu.
Walhasil, buku ilustrasi pertama Citra terbit Agustus 2018 dengan judul You’re Not As Alone As You Think. Seperti judulnya, ia merasa buku ini pengingat personalnya untuk tidak buru-buru melabeli
seseorang berbeda dan tidak berempati pada kehidupannya.
Citra menuturkan, kalau mau mencoba menenangkan pikiran dari prasangka dan emosi, kehidupan orang pada dasarnya sama, sama-sama mengalami naik turun juga. “Itulah kenapa you’re not as alone as you think,” ujarnya.
Media komunikasi
Pemikiran ini juga yang dipegang Bernadette Godeliva Fabiola Natasha. Dosen multimedia dan seniman asal Surabaya ini meyakini, tiap orang punya jalan masingmasing, namun tidak ada yang selalu lurus dan mulus.
Bagi Faby, tidak komplain pada keadaan, lalu mencoba menyembuhkan luka psikis sendiri, adalah cara untuk melepaskan diri dari beban dan mencapai ketenangan. Jalan itu pula yang dia tempuh saat keluarganya mengalami masa sulit, seperti pada krisis ekonomi 1998 dan kehilangan ibu pada 2011.
Faby butuh bertahun-tahun untuk berdamai dengan dirinya. Sakit hati masih terus terasa, namun ia tahu bahwa perasaan tersebut butuh diusaikan. “Tahun itu kacau sekali,” tuturnya.
Melukis kemudian jadi metode untuknya mengkomunikasikan rasa. Memori-memori sarat luka itu dialirkan Faby dengan kuas dan tinta cina ke atas kertas. Satu, dua, kemudian berlembar-lembar rice paper terisi dengan lukisan tinta cinanya.
Lulusan Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra ini tidak asing dengan alat-alat lukis. Sejak usia tiga tahun, koordinator prodi Desain Grafis Lasalle College Indonesia di Jakarta dan Surabaya ini bermain dengan cat minyak dan akrilik di dinding rumah yang dilapis kertas setinggi anak kecil. Entah kenapa dirinya sulit cocok dengan krayon dan pensil warna.
Bagi Faby remaja, hal-hal yang sulit dikomunikasikannya dengan verbal pun berganti dengan coretan cat minyak dan akrilik di kertas. Lukisan itu kemudian digeletakkan
begitu saja di meja kamar. Tak jarang temannya mengambil dan menyimpan lukisan Faby yang berserakan.
Sang ibunda biasanya menanyai makna lukisan yang masih tersisa di kamar. Tetapi namanya juga anak kecil, ia menjelaskan sesuka hati. “Kalau lagi enggak mau jelasin, aku bilang aja ‘terserah’ he-he-he,” katanya.
Sang ibu biasa membekali Faby kecil dengan sebotol susu, pena, pensil, penghapus, dan potonganpotongan kertas yang distaples. Selama bisa menggambar, ia akan tenang-tenang saja.
Kebiasaaan ini yang dibawa Faby hingga dewasa. Menggambar di mana saja. Ketika menunggu pesawat yang terlambat datang, contohnya, ia akan mengeluarkan buku sketsa dan perlengkapan lukisnya untuk quick painting atau mencicil sketsa.
Mengontrol air untuk meditasi
Pada 2010, Faby tidak sengaja menemukan kenyamanan di media tinta cina. Saat itu ia tengah asyik menelusuri kutipan Budha terkait healing dan self awareness. Baginya, menarik untuk membaca gambaran hidup dari orang-orang yang telah mencapai puncak kestabilan sebagai manusia.
Penelusuran Faby tertumbuk pada seni yang dilakukan para biksu Tao di Jepang. Mereka membuat enzo, lingkaran dari tinta cina yang diputar-putar. “Ah gampang,” pikir Faby saat itu. Buat anak desain grafis sepertinya, rasanya tak akan susah
membuat lingkaran seperti itu. Rupanya saat mencoba, ia justru tak bisa.
Ia penasaran atas kegagalannya. Ternyata, jika kita tidak tenang, tidak mempercayai diri sendiri, dan terbawa emosi, tak akan bisa membuat enzo. Mempelajari enzo rupanya juga menjadi cara melatih konsentrasi dan meditasi. Setelah membawa diri lebih tenang, baru Faby bisa membuat enzo.
Proses sarat makna saat pembuatan itulah yang menarik Faby lebih jauh mendalami lukisan tinta cina. Pelan-pelan ia merasakan self healing saat menggoreskan kuas. Saat membuat gunung, misalnya. Berbeda dengan media lain, melukis dengan tinta cina harus memikirkan tebal tipis sapuan di kaki-kaki dan puncak gunung dalam satu tarikan kuas.
Dari Youtube, Faby belajar secara autodidak. Bagaimana kuas dilambaikan atau dilempar, atau diangkat pelan-pelan, semua selaras dengan kontrol diri. “Dari proses kontrol diri itu kurasakan healingnya,” kata Faby.
Ketertarikan Faby pada healing dan kontrol diri ini membuatnya juga secara khusus mempelajari sumi-e, lukisan tinta tradisonal Jepang. Dalam sumi-e, tak dikenal sketsa. Tiap elemen hanya bisa
dibuat dengan satu sapuan, tak bisa ditumpuk sapuan lain jika salah coret. Faby menuturkan, filosofinya seperti hidup, sekali berbuat salah, tak bisa mundur kembali.
Tinta yang digunakan pun hanya tinta hitam. Karenanya, dimensi lukisan dibuat dengan tebal-tipis warna dan sapuan, yang menuntut kontrol air, tekanan kuas, saturasi, cara pegang kuas, dan bahkan posisi duduk.
Walau tidak mudah, Faby merasa metode melukis sumi-e seperti meditasi untuknya. Pikirannya terpusat pada lukisan dan proses yang tengah ia lakukan. Namun tak dapat disangkal, kepindahannya dari medium cat minyak dan akrilik ke tinta
cina mengherankan bagi temantemannya.
“Kubilang, yaa mungkin ini waktunya biar aku lebih tenang haha-ha,” ujarnya.
Menyampaikan pesan di pameran
Lukisan-lukisan tinta cina Faby kemudian dipamerkan di pameran solo perdananya, Kaze Kazumi: The Sound of The Soul, di SOHAM Creative Space Kemang, September 2018.
Saat berpameran, Faby masih tak menyangka perjalanan hidup telah mengantarkan dirinya berpameran solo sebagai seniman. Ia masih ingat orang tuanya menolak keinginannya kuliah seni dengan pertimbangan ekonomi saat itu.
“Kamu bisa hidup dari situ?” ujar Faby menirukan ucapan ayahnya. Padahal baginya, seni adalah satusatunya kemampuan yang ia miliki. Beruntung, jalan hidup dan proses menenangkan batin membawa Faby ke jalan yang diimpikan sejak kecil.
Akan tetapi, baik Faby dan Citra berpendapat, tidak semua orang harus memilih jalan seni untuk
“Tujuan dari seni adalah membersihkan jiwa dari debu keseharian.” Pablo Picasso (1881-1973), seniman asal Spanyol.
memperoleh ketenangan dan fokus. Apapun itu jalan yang ditekuni untuk menyehatkan jiwa, lakukan dengan sungguh-sungguh dan nikmati prosesnya.
Mutiara Kata