MENYEHATKAN HATI LEWAT TERAPI SENI
Bukan hanya menyuguhkan keindahan, karya seni juga dapat menembus jiwa dan melegakan batin sang seniman maupun penikmatnya. Melalui seni, manusia juga dapat berekspresi untuk melepaskan emosi. Terutama bagi mereka yang kesulitan mengungkapkannya.
Setelah Aceh porak-poranda akibat gempa bumi dan tsunami, Desember 2004, bukan hanya sarana dan prasarana fisik saja yang diperbaiki. Para korban yang selamat dari bencana nasional itu juga mendapat terapi psikologis dari para relawan yang berkompeten. Salah satu metodenya, menggunakan terapi seni.
Adalah Evelin Witruk, peneliti dan psikolog asal Jerman yang menggunakan terapi dengan penekanan pada aktivitas melukis dan menggambar. Terapi terutama menyasar perempuan dan anak-anak yang merupakan kelompok paling rentan mengalami trauma pascabencana. Hasilnya, cukup positif.
Di Aceh, ada juga Endang Moerdopo yang melakukan terapi tari. Penari kelahiran Yogyakarta ini melakukan pendampingan terapi tari bagi anak-anak sekaligus penelitian terhadap korban anak-anak di Lhok Nga. Saat itu, ia menjabat sebagai Kepala Pengembangam dan Evaluasi Pusat Pembelajaran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pascatsunami.
Terapi ini dinilai efektif karena sifatnya yang rekreatif, sehingga dapat membantu seseorang mengekspresikan emosi diri. Hasilnya, para pengungsi anak mengalami keseimbangan tubuh dan jiwa. Terapi tari juga memperbaiki pandangan hidup dan fungsi mental mereka, sebab sifatnya rehabilitatif.
Saat pemulihan korban gempa di Lombok, Juli 2018, terapi seni kembali dimanfaatkan. Terapi yang difasilitasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB) ini membebaskan anakanak memanfaatkan media untuk meluapkan emosi.
Dalam terapi, aktivitas menggambar, mewarnai, meremas, menyobek, bahkan melempar benda, diperkenankan selama tidak melukai diri dan orang lain. Cara ini digunakan agar anak dapat merasakan penerimaan diri dan memahami situasi serta meningkatkan kepercayaan diri.
Seni bagai makanan
Pemanfaatan seni dalam terapi psikologis memang terasa istimewa. Karena emosi dan perasaan yang mungkin sulit diungkapkan lewat kata-kata, dapat terekspresikan dalam bentuk lain. Bertutur tanpa kata-kata ini mampu membuat orang lain lebih mudah memahami alurnya.
Dalam kesenian, bukan hanya pencipta karya seni saja yang mendapatkan manfaat. Penikmat seni dari masyarakat awam juga. Misalnya, merasa relaks atau dapat melupakan sejenak kejenuhan mereka.
Karya seni ternyata juga membawa energi positif bagi tubuh. Ketika menikmati sebuah karya, tubuh seolah mendapat asupan energi. Saat itulah muncul kondisi yang dinamakan body wisdom. Tubuh merasakan ketenangan, kenyamanan, atau malah rasa tidak nyaman.
Ibarat indera perasa, body wisdom memang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman pada karya seni tertentu. Seperti perasaan tidak enak saat menyantap makanan yang kurang sedap.
Menariknya, body wisdom bisa dioptimalkan dengan menikmati
beragam karya seni. Semakin banyak yang kita cicipi, semakin kita tahu mana yang nyaman dan menenangkan untuk kita.
Mengingat fakta itu, maka berikan kesempatan bagi tubuh untuk mencoba menikmati beragam karya seni. Seperti penuturan dr. Hanson Barki, spesialis akupuntur terapan dari Klinik Hanara, Bandung, “Dengan mengoptimalkan body wisdom, tubuh dapat mengenal hal-hal yang baik untuk dirinya.”
Hanson menjelaskan, tubuh memiliki cara berkomunikasi yang unik, juga kekuatan tersendiri. “Izinkanlah tubuh untuk memilih apa yang baik untuk Anda, karena tubuh tidak pernah bohong,” jelas Hanson seperti dikutip Kompas.com.
Seni juga punya energi
Tak mengherankan jika seni diyakini punya kekuatan memengaruhi tubuh. Selain mengurangi stres dan depresi, seni akan meningkatkan kreativitas otak dan merangsang pemikiran out of the box, termasuk saat menyelesaikan masalah.
“Seni itu mempunyai daya pukau yang menyentuh,” tutur Sunaryo, perupa senior sekaligus pendiri Wot Batu, sebuah galeri seni di Bandung yang sekaligus menjadi sarana rekreasi bagi mereka yang mencari ketenangan jiwa.
Dalam pemahaman seniman kelahiran Banyumas, 1943 ini, seni memang punya kaitan dengan kondisi batin. Utamanya dalam melepaskan emosi sebagai salah satu sarana berekspresi. Jika emosi tidak terlampiaskan, kemungkinan besar seseorang akan mudah merasa gamang.
Dari hasil perenungannya selama berkarya puluhan tahun, Sunaryo akhirnya menginisiasi pendirian Wot Batu. Berlokasi di dataran tinggi Bandung Utara, galeri seni ini diniatkan agar para pengunjung (disebut apresiator) memiliki pengalaman spiritual. Perjalanan dimaksudkan untuk membuat panca indra lebih sensitif dengan suasana yang dihadirkan.
Pemahaman Sunaryo dibenarkan L. Harini Tunjungsari, M.Psi., dosen Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya Jakarta. Setiap orang, menurut dia, butuh mengekspresikan sesuatu, entah pikiran atau
Perempuan mendapat lebih banyak manfaat saat menciptakan karya seni sedangkan laki-laki mendapat banyak manfaat ketika menjadi penikmat seni. Penelitian Nord-Trondelag Health Study, Norwegia.
perasaannya. Ekspresi diri merupakan natur manusia, keinginan untuk dipahami orang lain.
“Jika ekspresi tidak tersalurkan, akan timbul rasa tidak nyaman yang mengakibatkan emosi bergejolak umpamanya rasa galau,” tutur Harini, psikolog yang juga penari ini.
Jangan lupa, tambah Harini, ada orang-orang tertentu yang tidak memiliki potensi verbal yang baik untuk mengekspresikan diri. Padahal, sekali lagi, setiap orang butuh mengekspresikannya. Nah, di sinilah muncul kelompok-kelompok yang kemudian mengekspresikannya dengan media seni.
Melalui seni, emosi yang tak terkatakan akan tersalurkan menjadi bentuk lain seperti lukisan, gerakan, nada, dsb. Emosi semacam ini terutama diungkapkan oleh mereka yang tidak memiliki saluran ekspresi yang mudah dipahami orang lain. Contoh, pasien penderita penyakit mental.
Bagi orang yang tidak berpenyakit mental, seni juga bisa menjadi pilihan berekspresi. Ketika jenuh dengan rutinitas pekerjaan, seni berperan sebagai penetralisir emosi. “Jika tidak dalam kondisi yang aneh-aneh banget, secara umum mengikuti kegiatan seni itu bisa menurunkan tension,” papar dosen yang juga kerap membantu kelompok teater mahasiswa ini.
Pelibatan tubuh dalam aktivitas menyenangkan yang berbeda dari tuntutan pekerjaan sehari-hari akan menimbulkan pelepasan emosi ( katarsis). Misal, ketika bergoyang saat mendengarkan musik, seseorang akan melepaskan energi dan gerak yang bisa mencerminkan perasaannya.
Kondisi ini yang mendasari Sunaryo menjadikan seni sebagai sarana rekreasi hingga pengalaman spiritual. Wot batu (artinya “jembatan batu”) boleh dikatakan sebuah taman batu dengan luas sekitar 2.000 m2. Di taman megalitikum itulah, ia memadukan seni rupa dengan filosofi spiritual dan psikologis manusia. “Saya ingin membawa orang masuk untuk
melupakan kehidupan fisik,” tutur pemilik Selasar Sunaryo itu.
Sunaryo mendesain Wot Batu dengan harapan para apresiator bisa menikmati karyanya secara spiritual dan jauh dari kebisingan. Barangkali, saat seseorang menikmati seni dan bisa memberikan apresiasi, tingkat stresnya akan turun. Di Wot Batu antara lain terdapat dua buah batu tempat pengunjung merenung sambil melihat kolam air dengan pemandangan keindahan Kota Bandung dari ketinggian.
Seni, ungkap Sunaryo, ternyata bisa memberikan teguran melalui ingatan. Misalnya ketika melihat lukisan, ada bagian dari karya tersebut yang mengingatkan tentang masa lalu dan melupakan sejenak kepenatan sekarang. Di situlah timbul relaksasi.
Tak hanya karya visual, musik ternyata juga punya manfaat yang sama. “Musik itu menyentuh, membangkitkan daya khayal, terjadi relaksasi terutama pada nada-nada yang tidak menghentak,” papar Sunaryo yang juga menyukai musik klasik.
Bukan untuk semua orang
Meski seni mendatangkan banyak manfaat, namun orang yang tidak memiliki ketertarikan pada seni tidak bisa menikmatinya. Dengan kata lain, manfaat seni baru akan didapat apabila seseorang tertarik atau punya pengetahuan tentang seni.
“Persepsi kesenian sangat bergantung dari kadar kepekaan pengetahuan seni seseorang,” jelas Sunaryo. Alasan inilah yang membuat ada orang-orang tertentu yang tidak bisa mengapresiasi karya seni.
Harini juga menegaskan, seni hanyalah satu satu sarana ekspresi yang bisa digantikan aktivitas lain seperti olahraga, memasak, dsb. “Ada orang yang baik-baik saja kok, tanpa seni,” katanya.
Tidak setiap orang cocok berekspresi melalui seni. Jika dipaksakan, bukannya merasa rileks, bisa-bisa malah menambah tingkat stresnya.
Untuk mendapatkan kebugaran jiwa, haruslah kita mencari cara berekspresi yang sesuai dengan ketertarikan dan kemampuan. Seni bisa menjadi sarana, namun bukan satu-satunya.
91% orang yang menikmati seni memiliki kepuasan yang tinggi dalam kehidupan mereka. Penelitian Nord-Trondelag Health Study, Norwegia.