Ikan Batak yang Aslinya Warga Bogor
Keberadaan ikan mera selama ini mendapat tempat tersendiri dalam berbagai upacara adat Tapanuli. Sayangnya, penangkapan dan pencemaran alam mengancam kelestariannya. “Puasa” menangkap ikan, jadi salah satu solusi.
Wajar jika satu hewan atau tumbuhan tertentu, memiliki nama yang berbedabeda. Bahkan, pada daerah yang hampir berdekatan sekalipun. Contohnya, ikan mera ini. Di Kabupaten Tapanuli Selatan dikenal sebagai ikan merah. Namun di Tapanuli Utara, di sekitar Danau Toba, disebut ihan (ikan) batak. Sedangkan di Medan dan sekitarnya disebut sebagai ikan jurung. Padahal ikannya itu-itu juga.
Masih ada nama-nama lain. Misalnya di Sumatra Barat dikenal sebagai ikan rayo. Di Jawa Barat disebut ikan dewa atau ikan kancra. Ikan ini memang ditemukan di daerah Sumatra, Jawa, dan semenanjung Malaysia. Bahkan menyebar sampai Myanmar dan Thailand (Kottelat dkk, 1993).
Di dunia ilmu pengetahuan, ikan ini diberi nama Tor soro, walau di dalam genus Tor, terdapat beberapa jenis ikan lainnya. Termasuk ikan mas.
Banyak durinya
Jenis ikan mera atau Tor soro ini berada didalam satu keluarga (familia) Cyprinidae atau karperkarperan yang banyak sekali jenisnya. Bahkan Kottelat juga menulis, keluarga ikan ini menyebar di se- antero dunia, kecuali di Selandia Baru, Australia, Madagaskar, dan Amerika Serikat.
Apakah sekarang keadaannya masih seperti itu, kurang jelas. Karena dalam kenyataannya, jenis ikan mas ( Cyprinus carpio) yang termasuk di dalam keluarga besar ikan ini juga terdapat di Amerika Serikat. Apalagi dengan sistem perdagangan yang terbuka seperti sekarang ini.
Di Indonesia, keluarga Cyprinidae banyak sekali yang dikenal sebagai ikan konsumsi. Misalnya ikan jelawat ( Leptobarbus haevani) yang amat dikenal di Sumatra maupun di Kalimantan. Jenis ikan ini malah sudah di budidaya di beberapa daerah di Sumatra seperti Riau, Jambi, serta Sumatra Selatan atau di Kalimantan Selatan.
Ikan-ikan itu diperlihara di keramba-keramba. Demikian juga halnya dengan ikan hampala ( Hampala macrolepidota) yang banyak ditemukan di sungai-sungai daerah Kalimantan Timur.
Sekilas, ketiga jenis ikan ini, yakni ikan mera, ikan jelawat, dan ikan hampala, amatlah mirip. Kedua ujung ekor hampala biasanya berwarna merah. Juga garis hitam yang terlihat di badannya, di antara sirip punggung dan sirip di perutnya.
Bagian kepala ikan jelawat tampak agak mendatar, perutnya putih agak keperakan. Sedang sirip dubur ikan mera atau ikan jurung tampak lebih pendek dari sirip punggungnya.
Semakin tua, sisik ikan mera tampak semakin hitam. Bahkan cenderung memerah. Karena itulah namanya ikan mera. Rasa ikan mera ini jauh lebih manis dan enak dari ikan jelawat.
Sebagaimana keluarga ikan mas, kedua ikan ini memang memiliki duri di dagingnya masing-masing. Tak heran bila ikan jelawat yang telah dicabuti durinya kini banyak ditemukan dalam perdagangan. Tak jauh bedanya dengan ikan bandeng. Harganya tentu lebih mahal.
Diekspor dari Bogor
Kembali ke ikan mera atau Tor soro tadi, menurut penelitian Sidi Asih dkk (2006) ikan ini memang menyebar di Jawa Barat. Mereka mengumpulkan contoh-contoh jenis Tor soro dari daerah Asahan, Tarutung, Aek Sirambe di Balige, serta beberapa dari daerah Jawa Barat seperti Cigugur, Cisadane, dan Sumedang.
Sekilas, perbedaan di antara ikanikan itu tidaklah terlalu menonjol. Tak heran bila pada tahun 2001, Departemen Kelautan dan Perikanan bersama beberapa pemerintah daerah di sekitar Danau Toba melepas sekitar 250 ekor ikan ini di Danau Toba. Ikan-ikan itu berasal dari hasil budidaya di Balai Penelitian Perikanan Air Tawar di Bogor, Jawa Barat.
Di Danau Toba, jenis ikan batak memang kian berkurang. Akibat penangkapan ikan yang tidak terkendali dan perubahan lingkungan, ikan ini mulai langka di “kampung halamannya” sendiri.
Tentu kondisi ini sangat disayangkan, karena ikan mera selama ini menjadi bagian penting di dalam upacara adat setempat. Ketika jumlahnya masih banyak, ikan batak menjadi bagian dari upa-upa, makanan kebesaran pada waktu acara perkawinan, kelahiran, atau acara adat lain. Pendek kata, ikan ini memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan masyarakat Batak.
Karena perannya yang penting itu, tak heran kalau harga ikan mera juga relatif mahal. Bisa mencapai Rp200 ribu-Rp250 ribu per kilogram. Itu pun kalau ada persediaan.
Di masa silam, ikan mera mudah dijumpai di sungai-sungai di daerah Tapanuli. Pada tahun 1970-an misalnya, ikan ini mudah terlihat di daerah Tabuyung, pantai barat Tapanuli Selatan. Dengan masuknya Hak Penguasaan Hutan (HPH), hutan-hutan sudah menghilang. Sungai-sungai mengalami perubahan. Dampaknya langsung terasa pada jumlah ikan.
Larangan menangkap ikan
Kabar baiknya, di beberapa tempat di Sumatra Utara masih ditemukan kearifan lokal. Misal di kampung Rianiate, di pinggir Danau Siais, danau kedua terbesar di Sumatra Utara setelah Toba yang berjarak sekitar 30 km dari kota Padangsidimpuan, masih menyimpan kekayaan alam ini. Di tengah kampung yang dihuni sekitar 400 keluarga itu mengalir sungai kecil di mana ribuan ikan mera hidup damai tanpa ada yang mengusiknya.
Sayangnya, walau masyarakat tidak mau mengusiknya, kebiasaan hidup masyarakat seperti penggunaan deterjen, dan bahan-bahan lain, dapat mengancam kehidupan ikan. Dan memang itu yang saya saksiksan, ketika berkunjung ke sana, awal September 2018.
Bangunan di Kampung Rianiate sudah berdiri sampai ke bibir sungai. Sementara sampah menyebar dipinggir sungai, tempat ikan-ikan hidup bebas. Tak heran bila beberapa minggu sebelumnya banyak ikan yang mati tanpa di ketahui penyebabnya.
Seorang anak bernama Sahrial Nasution mengatakan, menyusutnya air sungai di musim kemarau jadi penyebabnya. Tapi dengan mudah dipahami bila berkurangnya air menyebabkan meningkatnya kadar pencemaran. Karena itu amat diperlukan tindakan masyarakat yang dapat melestarikan kehidupan ikan mera ini.
Di lain pihak kini berkembang tradisi baru di banyak daerah di Tapanuli, yakni dengan mengembangkan “Lubuk Larangan”. Inilah sebuah tradisi di mana dalam jangka waktu tertentu, misalnya setahun, dilakukan pelarangan mengangkap ikan di sungai-sungai. Menjelang bulan puasa barulah larangan itu dicabut.
Kebiasaan ini juga berlangsung sampai ke daerah Sumatra Barat. Pada kesempatan membuka lubuk larangan inilah masyarakat dapat kembali menikmati ikan mera atau ikan batak alias ikan jurung yang berasal dari alam.