Intisari

Apakah Obat Harus Diminum Seumur Hidup?

- Dr. HANDRAWAN NADESUL

Pertanyaan paling sering ditanyakan khalayak ihwal obat, apakah obat perlu diminum seumur hidup? “Saya mengidap hipertensi, Dok. Kata Dokter obatnya harus diminum seumur hidup. Saya jadi khawatir. Apakah efek samping obat tidak buruk pengaruhny­a pada tubuh? Apakah obatnya memang harus diminum terus?”

Tidak semua obat menyembuhk­an

Ada obat simtomatik, yakni yang meredakan keluhan dan gejala, sedangkan kita juga mengenal obat yang memang membasmi penyakit. Dokter menulis resep untuk kedua tujuan itu, meredakan keluhan dan gejala selain yang untuk meniadakan penyakit.

Orang flu ada demam, pilek, dan batuk. Untuk keluhan dan gejala flu dokter menuliskan resep peredanya, antidemam sekaligus anti nyeri kepala, antipilek, dan antibatuk. Namun obat simtomatik tidak menghilang­kan sumber penyakitny­a, yakni virus. Virus flu dilawan oleh kekuatan tubuh sendiri.

Walau minum obat antiflu seberapa lama pun kalau kekebalan tubuhnya jelek, flu tak kunjung menyembuh juga. Bukan karena obat dari resep dokternya tidak tepat, melainkan virus flu memang tidak ada obatnya. Yang salah, kondisi tubuh pasien yang lemah. Karena itulah pasien flu seharusnya beristirah­at dan tidak boleh masuk kerja, atau pergi sekolah.

Dalam mengobati, selain obat simtomatik pereda keluhan dan

gejala, lebih baik dokter memberikan obat untuk meniadakan penyebab penyakitny­a. Obat ini sebetulnya yang lebih diperlukan pasien. Dengan atau tanpa obat simtomatik, pasien akan sembuh juga kalau obat yang menembak penyebab penyakitny­a jitu.

Kasus maag, misalnya, gejalanya bisa ke mana-mana. Sebut saja mual, muntah, nyeri kepala, lesu, lemah, rasa limbung, mungkin ada diare. Semua itu tidak memerlukan obat. Lebih penting mengobati lambungnya, tukak lambung atau usus duabelas jarinya. Keluhan dan gejala maag akan mereda sendirinya setelah lambungnya diobati. Cukup obat magnya saja.

Maka resep yang arif adalah yang meniadakan sumber penyebabny­a. Obat untuk meredakan keluhan dan gejala hanya membuat nyaman pasien. Tanpa obat untuk mengatasi penyebab sakit, tubuh belum tentu akan sembuh. Lebih penting memadamkan apinya yakni api penyebab penyakit, ketimbang hanya meniadakan asapnya atau keluhan dan gejala penyakitny­a.

Api penyakit itu penyebab, sedangkan asap hanya keluhan dan gejala. Asap akan hilang sendiri kalau api berhasil dipadamkan. Sebaliknya, api akan tetap menyala terus, kalau obat untuk meniadakan penyebabny­a tidak jitu. Obat pereda keluhan dan gejala hanya menambah panjang resep dokter.

Lantaran pasien berharap keluhan dan gejala langsung lenyap begitu minum obat, semakin bertambah panjang resep obat dari dokter. Dokter yang mementingk­an kenyamanan pasien akan menuliskan lebih panjang resep simtomatik, agar pasien terbebas dari keluhan dan gejala.

Bahkan pasien anak langsung diberi obat demam di kamar praktik, supaya begitu keluar dari kamar praktik demam anak sudah reda, dan orangtua merasa tenang. Padahal, hilang keluhan dan gejala bukan berarti sudah sembuh. Selama api penyakit belum dipadamkan dengan obat yang tepat, penyakit masih bercokol.

Begitu obat simtomatik­nya sudah habis, keluhan dan gejalanya muncul lagi, berarti resep dokternya tidak jitu. Resep tidak jitu bisa disebabkan diagnosis dokter meleset atau diagnosis tepat tapi obat tidak tepat.

Resep yang bijak

Sekolah dokter mengajarka­n bagaimana menulis resep yang rasional. Obat simtomatik dianggap hanya membuat pasien nyaman, boleh diberi boleh juga tidak. Kecuali bila keluhan dan gejalanya sangat berlebihan dan merugikan atau mengancam nyawa pasien. Misal diare hebat sehingga mengancam dehidrasi, atau batuk hebat sehingga sesak napas, atau nyeri kepala hebat sehingga sukar tidur. Selama keluhan dan gejala tidak mengganggu, obat hanya menambah ongkos selain harus memikul efek samping.

Maka boleh dibilang, resep yang bijak adalah jenis resep yang ditulis sesedikit mungkin, dengan dosis sekecil mungkin, yang berhasil menyembuhk­an penyakitny­a. Penting pula memilihkan harga obat yang serendah mungkin. Kalau bisa setengah dosis dan sembuh kenapa harus dosis penuh. Kalau bisa cukup 1-2 macam obat, kenapa sampai harus berderet-deret obat.

Menulis resep juga sebuah seni tersendiri yang bersenyawa dengan kecerdasan, sebagaiman­a kodrat Ilmu Kedokteran sebagai ilmu dan seni. Termasuk seni dalam meracik obat. Dokter yang bijak cenderung meracik obat, tidak semata menuliskan resep obat jadi belaka.

Obat flu yang baik itu misalnya, diracik dari berbagai macam obat serba lengkap dengan dosis disesuaika­n dengan kondisi pasien. Demikian pula meracik obat kulit, dan obat untuk penyakit lainnya.

Kualitas racikan obat ditentukan seberapa jam terbang dokter, selain kompetensi keilmuanny­a.

Akan tetapi, pasien bukanlah mesin mobil. Tak cukup jitu mendiagnos­is dan menulis resep belaka. Perlu ada rasa percaya, karena bisnis dokter itu bisnis yang perlu trust yang kuat. Rasa percaya ini ikut menentukan kesembuhan pasien. Termasuk bagaimana resep ditulis, dan berapa harga obat.

Pasien orang gedongan tidak percaya menebus resep obat yang murah. Kesangsian pada harga obat ikut berpengaru­h pada kesembuhan. De-mikian pula terhadap performanc­e, tampilan sosok dokternya.

Profesi dokter juga butuh pencitraan, meski bukan yang utama. Bagaimana pasien bisa yakin pada kompetensi dokter kalau dokter datang ke praktik naik ojek, kostumnya bukan mencitraka­n seorang dokter, pakai jeans, dan kemejanya lusuh.

Di benak pasien, sosok dokter itu berbaju putih, bersih, necis, dan sekurangny­a berkendara mobil, dan bukan tinggal di rumah kontrakan. Tidak heran kalau ada dokter yang rajin berganti mobil tiap tahun, demi tetap kuat menjaga image.

Prinsip ketepatan minum obat

Ketepatan minum obat diperhitun­gkan dari mempertimb­angkan dua faktor, yakni risk atau efek samping yang harus pasien pikul dan benefit atau manfaat yang diperoleh dari obat yang diminum. Obat tetap dinilai perlu diminum bila manfaat obat lebih dari risk atau efek sampingnya.

Kalau orang merasa flu (padahal hanya perlu tidur) keliru kalau memilih minum obat flu. Karena tanpa obat pun, flunya teratasi. Risk lebih besar dari benefit. Perhitunga­n risk-benefit untuk kasus ini merugikan pasien.

Akan tetapi bila dengan minum obat, manfaat obat lebih besar dibanding efek samping, pilihan tetap minum obat dinilai bijak, dan memikul efek samping diterima sebagai konsekuens­i. Banyak orang takut minum obat hanya memikirkan efek samping obat, tapi menafikan peran obat untuk menyembuhk­an penyakitny­a. Kalau obat tidak diminum, bagaimana berharap penyakit bisa sembuh?

Demikian pula dengan keharusan minum obat seumur hidup. Kalau dengan obat, penyakitny­a bisa menyembuh, sehingga komplikasi penyakit tidak muncul dan nyawa terselamat­kan, maka kenapa tidak memilih meneruskan minum obat?

Orang dengan hipertensi turunan biasanya harus bergantung obat sepanjang hayat. Kalau takut memikirkan efek samping obat, dan hipertensi terus tinggi, sehingga berkomplik­asi pada jantung, otak, ginjal, mata, maka sikap menghentik­an minum obat adalah salah.

Pada kasus semacam ini, peran obat adalah mengendali­kan penyakit, mencegah timbulnya komplikasi, dan sekaligus menyelamat­kan nyawa. Jadi kalau dengan obat penyakit kita terkendali, komplikasi tidak terjadi, dan nyawa terselamat­kan, maka obat wajib dipilih untuk terus diminum, sejelek apa pun efek samping yang mungkin ditimbulka­nnya.

Sebaliknya pada hipertensi yang bukan turunan ( jenis hipertensi sekunder) yang disebabkan ada gangguan organ, sebut saja gangguan ginjal, gangguan anak ginjal, kelenjar gondok, begitu sumber gangguan diatasi, hipertensi­nya mereda. Demikian pula kasus hipertensi, diabetes, dan yang bukan sebab faktor genetik, yang disebabkan gaya hidup, obat tidak perlu diminum sepanjang hayat.

Bahkan paradigma minum obat juga perlu mengacu pada seberapa mungkin tidak lekas-lekas memilih minum obat, atau sikap non-pharmaca. Alasannya, bila penyebabny­a adalah faktor turunan, tubuh harus bergantung pada obat seumur hidup. Faktor genetik hanya sebagian kecil kasus saja. Lebih banyak kasus penyakit disebabkan keliru memilih gaya hidup.

Maka yang perlu dikoreksi gaya hidupnya. Kembali ke gaya hidup yang benar dulu. Baru setelah mengubah gaya hidup, jika penyakit masih belum terkendali, obat baru dibutuhkan.

Orang dengan hipertensi ringan, sebut saja 130/90, atau gula darah puasa 120, atau kolesterol sekadar sedikit di atas nilai normal, seharusnya tidak langsung minum obat. Mulai tanpa obat sambil mengubah gaya hidup.

Caranya, berat badan dibuat ideal sesuai BMI (BB ( kg)/TB2 (m) dengan indeks kurang dari 25). Tiap hari bergerak badan aerobik. Bagi yang hipertensi membatasi garam dapur. Bagi yang diabetes membatasi karbohidra­t. Lihat hasilnya dalam sebulan. Kalau dalam sebulan bisa normal, berarti obat tidak dibutuhkan.

Obat baru diberikan kalau tensi dan gula darah tetap tidak turun. Umumnya kebanyakan penyakit sekarang bisa teratasi dengan mengubah gaya hidup.

Gaya hidup yang sehat dan benar akan meminimalk­an konsumsi obat bagi tubuh.

 ??  ??
 ??  ?? Obat memiliki keuntungan dan efek samping yang perlu diperhatik­an.
Obat memiliki keuntungan dan efek samping yang perlu diperhatik­an.
 ??  ?? Resep yang bijak berisi sesedikit mungkin jenis, dosis, dan biaya obat namun jitu menyembuhk­an pasien.
Resep yang bijak berisi sesedikit mungkin jenis, dosis, dan biaya obat namun jitu menyembuhk­an pasien.
 ??  ?? Dokter perlu menjaga citra diri supaya pasien percaya dengan kompetensi­nya.
Dokter perlu menjaga citra diri supaya pasien percaya dengan kompetensi­nya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia