Ketika Tato Tak Lagi Diinginkan
Setelah sekian lama jadi hiasan di tubuh, ada kalanya seseorang bosan dengan tatonya. Namun menghapus sebuah tato, ceritanya tidaklah sesederhana saat membuatnya.
Di saat orang-orang lain mungkin sedang menimbang-nimbang motif tato yang cocok untuk tubuh mereka, Nikita Mirzani justru sudah merasa bosan. Selebritas kelahiran Jakarta, 33 tahun itu, perlahan-lahan justru mulai menghapus gambar-gambar di tubuhnya. Kabarnya, tak kurang 17 tato menghiasi berbagai lokasi di tubuh moleknya itu.
Sebenarnya bukan baru belakangan Nikita menghapus rajahrajah artistik itu. Sejak 2012, ia sudah mulai menghapus tato dimulai dari bagian dada. Tepatnya di antara leher dan payudara, nama “Nikita” tampak tertulis besar-besar. Seakan sebuah pengumuman, agar orang tidak perlu bertanya namanya lagi.
“Tato di dada itu masih dianggap terlalu ekstrem. Kalau pakai pakaian yang agak terbuka di dada dikit, jadi sorotan banyak orang, terutama laki-laki,” tutur Nikita seperi dikutip oleh Tribunnews.
Selain alasan mata-mata agresif lelaki tadi, Nikita sebenarnya punya alasan lain yang lebih substantif. Tato-tato itu rupanya pernah membuat ia gagal mendapat pekerjaan jadi model iklan. Meski sebenarnya tato bisa ditutupi pakai kosmetik, tapi rupanya pihak yang akan memberi pekerjaan tak mau ambil risiko.
“Udah lolos casting, pake baju atau kaus tertutup, tapi pas tahap selanjutnya, ditolak,” tutur selebritas yang namanya juga malang melintang di pemberitaan media gosip ini.
Memecahkan tinta
Upaya Nikita memuluskan kembali kulitnya, rupanya ikut pula mempopulerkan metode penghapusan tato dengan laser yang digunakannya.
Dan memang sejauh ini, menurut dr. Matahari Arsy HP, SpKK dari Bamed Skin Care, metode ini sedang digandrungi karena pemulihan kulit lebih cepat, lebih nyaman, dengan efek samping yang lebih rendah. Terutama bila dibandingkan dengan metode pengikisan kulit dan bedah kulit yang dapat menimbulkan bekas luka.
Pada metode laser, sinar laser tepat mengarah ke kulit yang ditato. Sekadar gambaran, setelah tinta tato ditanam dengan jarum, dia akan tersimpan di bagian epidermis dan dermis, yakni dua lapisan teratas di kulit. Panas laser menembus dua lapisan kulit ini
dan memecah gumpalan tinta tato jadi partikel-partikel kecil dalam kecepatan sepertriliun detik.
Kombinasi dari kecepatan super dan panas dari laser inilah yang memecah gumpalan tinta di kulit. Panas membuat gumpalan tinta jadi mengembang lalu pecah menjadi partikel-partikel mini.
Sementara itu faktor kecepatan tak kalah penting. Pemanasan memang harus berlangsung supercepat agar setengah bagian gumpalan masih dingin. Perpaduan panas dan dingin inilah yang memaksa gumpalan tinta jadi pecah jadi serpihan partikel tinta. Keseluruhan proses ini dikenal juga sebagai fototermolisis.
Lalu, ke mana perginya tinta tato yang telah dihapus? Pada dasarnya, tubuh akan mendeteksi tinta tato sebagai benda asing. Namun jika belum dilaser, ukurannya masih terlalu besar untuk diserap sel tubuh. Sedangkan kalau sudah dipecah, kata Matahari, partikel mini tadi akan diserap tubuh dan dibuang melalui sistem limfatik. Bisa lewat keringat atau kotoran.
Beda profesional dan amatir
Jika dalam sekali pengerjaan, tato belum sepenuhnya hilang, proses laser akan diulang sebulan kemudian. Begitu seterusnya hingga benar-benar tidak terlihat di kulit. Lama proses penghapusan bisa berbeda-beda pada setiap orang.
Salah satu faktor kesulitan adalah posisi tinta. Tinta tato hasil pekerjaan seniman tato profesional biasanya masuk ke lapisan dermis yang lebih dalam. Berbeda dengan tato buatan tangan amatir, di mana tinta berada tak jauh dari permukaan kulit. Tato-tato yang biasanya tidak cantik dan ala kadarnya ini, lebih gampang dihapus.
Kualitas tinta juga menentukan lamanya proses pemecahan tinta. Tinta berkualitas baik dari seniman profesional biasanya lebih kental, lebih banyak, dan pigmen warnanya
lebih pekat. Maklum, tato semacam ini memang diniatkan permanen. “Akibatnya, makin sulit dipecah dengan tinta laser,” kata Matahari.
Lebih-lebih jika tato lama ditimpa tato baru. Atau, jika tato lama yang sudah memudar pernah ditebalkan lagi alias touch up.
Tinta tato lama biasanya lebih mudah dihapus dibanding tinta yang baru. Serpihan tinta lama umumnya sudah “dimakan” perlahan-lahan oleh sel tubuh, sehingga tidak sesolid tinta baru. Permasalahan lain, adanya tato baru juga membuat volume tinta yang harus dipecah jadi lebih banyak.
Warna tinta juga berpengaruh pada kecepatan proses penghapusan. Pigmen gelap lebih mudah pecah karena lebih menangkap gelombang energi dari laser. Karena itu warna hitam akan lebih mudah dihapus, daripada oranye atau merah.
“Tinta warna hitam sendiri biasanya dihapus menggunakan laser Q- switched Nd:YAG. Laser untuk warna hitam saat ini sudah banyak tersedia di Indonesia, namun untuk warna lain masih lebih jarang,” kata Matahari.
Kulit seperti diamplas
Sekilas, metode laser memang terdengar menyeramkan. Tapi sebenarnya tidak menyakitkan. Laser yang diarahkan langsung ke tinta tato sebenarnya tidak membakar jaringan kulit. Energi yang dihantarkan laser pecah di kulit kita menjadi gelombang kejut.
Gelombang ini bergerak di permukaan kulit, sehingga saat dilaser, kulit tampak keputihputihan. Rasanya memang agak nyeri, tapi hanya berlangsung singkat.
Masa pemulihan biasanya makan waktu satu sampai dua minggu. Meski tidak ada luka, nyeri kadang masih terasa selama masa pemulihan.
Ceritanya berbeda dengan proses menghapus tato dengan pengikisan kulit (dermabrasi). Di sini, prinsipnya kulit dikikis hingga ke lapisan tempat tinta tato berada. Sudah pasti luka dan berbekas. Namun dampaknya juga akan hilang perlahan-lahan.
Proses demabrasi dimulai dengan mendinginkan area tato yang jadi sasaran. Setelah terasa kebas, kulit diamplas menggunakan alat dermabrasi. Ujung alat ini berbentuk roda berlian dengan sikat kawat yang berputar kencang. Roda akan mengikis kulit sekaligus mengangkat tinta tato.
Karena terluka, wajar jika area kulit yang digarap akan terasa perih selama dua minggu sampai satu bulan. Dermabrasi biasanya juga menyebabkan perdarahan selama perawatan jaringan kulit yang dikikis. Risiko lain akan timbul kemerahan dan bengkak radang, perubahan warna kulit, serta adanya bekas luka.
Untuk tato kecil
Metode lain adalah bedah kulit. Ya, di sini dokter memainkan pisau bedah untuk mengambil kulit yang bertinta. Tentu saja diperlukan anestesi lokal. Usai pembedahan, pinggiran kulit disatukan kembali dengan jahitan.
Bedah kulit biasanya digunakan untuk mengangkat tato-tato berukuran kecil. Kalau diterapkan pada tato yang besar, konsekuensinya luka jahitan akan semakin panjang. Belum lagi jika pasien punya bakat keloid.
Metode bedah kulit (serta dermabrasi) memang berpotensi
memunculkan keloid di kulit. Di samping itu, masa pemulihan bedah kulit bisa makan waktu dua minggu-dua bulan.
“Untuk meminimalisasi risiko ini, dokter akan memberikan krim untuk menyiapkan kulit yang akan dibedah agar lebih kuat dan sehat,” kata Matahari. Setelah bedah, salep antibakteri juga membantu masa pemulihan kulit.
Meski meninggalkan bekas luka, menghapus tato dengan bedah hanya butuh satu kali tindakan operasi. Terjamin lebih cepat daripada metode laser yang
berpotensi butuh beberapa sesi laser sampai tinta benar-benar hilang.
Agar bekas luka tidak terlalu kelihatan, metode bedah kulit biasanya digunakan pada bagian tubuh yang cenderung tertutup pakaian. Permukaan kulit yang sudah diangkat juga bisa ditambal dengan cangkokan kulit dan perluasan jaringan halus pada kulit. Namun, opsi cangkok juga memiliki risiko komplikasi yang lebih besar.
Baik metode laser, dermabrasi, maupun bedah kulit tidak lepas dari risiko infeksi. Untuk meminimalisasinya, tentunya perlu perawatan khusus.
Sekilas, tato memang bisa demikian menarik untuk dicoba. Namun jika tidak berencana memiliki tato permanen, pikirpikir dulu sebelum tinta-tinta itu menetap di tubuh kita.