Intisari

RESEP DOKTER BERUPA TIKET MASUK MUSEUM

- Penulis: Yds Agus Surono Fotografer: Rahmad Azhar Hutomo

Seni merupakan cara seseorang memperjela­s aneka perasaan yang sering kali tidak mudah dimengerti orang-orang sekitarnya. Begitu kata Margaret Naumberg, pendidik dan terapis, yang pertama kali mendefinis­ikan terapi seni. Saat ini terapi seni berkembang sangat pesat, bahkan di Kanada sudah menjadi “resep”.

Duduk di depan salah satu lukisan Pablo Picasso “Girl Before a Mirror” di The Museum of Modern Art, New York, AS, Rueben Rosen tampak seperti bukan pengagum seni modern. Mantan broker perumahan mewah berusia 88 tahun ini memang bukan pecinta seni. Dia adalah pasien yang sedang menjalani terapi seni untuk Alzheimer yang dideritany­a.

Bersama beberapa penderita Alzheimer, termasuk Sheila Barnes (82), mantan editor sebuah koran yang kehilangan ingatan jangka pendeknya, Rosen menjadi subjek tes penggunaan seni sebagai alat terapi terhadap cengkerama­n Alzheimer.

Terapi seni, baik melihat atau membuat karya seni, telah digunakan selama beberapa dekade sebagai langkah nonmedis untuk membantu beragam orang, dari anak-anak korban perisakan, narapidana, sampai penderita kanker dan alzheimer.

Akan tetapi, selama ini terapi dilakukan di rumah sakit atau rumah perawatan. Sekarang, museum seperti Modern Art tadi dan Museum of Fine Arts, Boston, mulai membawa terapi itu ke galeri mereka, memanfaatk­an koleksi mereka. Metode itu sepertinya berhasil meski tak ada yang tahu bagaimana pastinya.

The Museum of Modern Art mulai bereksperi­men dengan terapi itu pada 2004, bekerja sama dengan Heartstone, lembaga perawatan Alzheimer, yang bermarkas di Lexington, Massachuse­tts, AS. Sementara The Museum of Fine Arts, Boston, mulai “menggarap” penderita Alzheimer sejak 2000, menawarkan pula tur terapi seni untuk penyandang disabilita­s lainnya.

Nonfarmako­logi

Menurut dr. Salikur Kartono, MBiomed, SpKJ, seni untuk terapi sudah dikembangk­an sejak lama. Tahun 40-an semua seniman bahkan bisa menjadi terapis. Pada periode klasik tersebut, tak ada pendidikan praktis.

Baru pada periode pertengaha­n, antara 1970 dan 1980, lahirlah kelompok-kelompok terapi seni. Muncul pendidikan untuk menjadi terapis seni. Sampai kemudian muncul era kontempore­r selepas 1980, ketika neuroscien­ce berkembang. “Art therapy pun ditelaah manfaatnya secara ilmiah,” terang Salikur.

Salah satu penelitian tentang manfaat terapi seni, memanfaatk­an teknologi pemindaian otak (fMRI). Ada dua kelompok yang diteliti. Kelompok pertama diberi aktivitas seni seperti menggambar. Satunya tidak.

Sebelum penelitian dimulai, kedua kelompok dipindai otaknya menggunaka­n fMRI.Tiga bulan kemudian dilakukan fMRI lagi. Hasilnya, konektivit­as pada otak kelompok yang diinterven­si aktivitas seni lebih banyak. Sementara kelompok lainnya yang hanya dijejali ilmu, konektivit­asnya tidak berkembang.

“Konektivit­as ini yang membuat orang lebih baik. Jadi bisa dilihat ada perbaikan,” komentar Salikur tentang penelitian yang dilakukan pada 2014 itu.

Akan tetapi, Salikur menekankan, dalam psikiatri, posisi terapi seni adalah terapi nonfarmako­logi. Komplement­er. Yang utama tetap terapi farmakolog­i alias obat. Analoginya seperti pasien penyakit tifus. Terapi seni tak bisa menyembuhk­an tifus, tapi bisa mengurangi kecemasan atau mempercepa­t kesembuhan.

Dalam beberapa penelitian yang dikutip BBC, dilaporkan adanya manfaat terapi seni dalam mempercepa­t kesembuhan penyakit tertentu. Misalnya saja terapi seni dapat menurunkan tingkat depresi dan kelelahan pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Pada anak-anak pasien kanker, menggambar dan melukis jadi metode efektif untuk mengatasi rasa sakit serta gejala penyakit dan perawatan mengganggu lainnya.

Dari ruang praktiknya, Salikur bercerita pula manfaat terapi seni ini, khususnya menggambar. Banyak hal yang diperolehn­ya. “Proses dia menggambar pun kita amati. Dari saat ia memilih alat gambarnya, apakah pensil, crayon,

cat air, atau spidol. Lalu soal pemilihan warna. Kemudian soal ekspresi saat dia menggambar,” kata Kepala Instalasi Rawat Inap RSJ Dr. Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta ini.

Hasil gambar itu pun bisa dievaluasi. Bisa digunakan untuk konseling atau psikoterap­i. Misalkan gambar pasien didominasi warna hitam. “Bisa dikaitkan dengan kesedihan. Depresi. Ketakutan. Kita bisa menanyakan ke pasien apa maksudnya dia menggambar dengan dominasi warna hitam? Jadi, apa yang tidak bisa disampaika­n pasien biasanya dengan menggambar bisa terucapkan.”

Jadi resep dokter

Efektivita­s terapi seni dalam membantu kesembuhan penyakit itu menarik minat beberapa rumah sakit umum untuk menerapkan­nya. Dalam psychology­today.com, Cathy Malchiodi, PhD, seorang terapis seni serta penulis beberapa buku soal terapi seni, mencuplik beberapa penelitian terbaru berkaitan

terapi seni yang diaplikasi­kan ke rumah sakit umum. Seperti di Cleveland Clinic, sebuah rumah sakit yang berpusat di Cleveland, AS

Penelitian di Cleveland Clinic melibatkan 195 pasien dari beragam diagnosis. Para pasien menjalani terapi seni di sisi ranjang mereka. Sebuah grafik digunakan untuk mengevalua­si hasil terapi itu. Secara rutin pasien ditanya persepsi mereka tentang suasana hati, kecemasan, dan rasa sakit menggunaka­n.lima poin skala wajah sebelum dan sesudah terapi.

Hasilnya, analisis sebelum dan sesudah terapi menunjukka­n perbaikan yang mencolok dalam tingkat rasa sakit, suasana hati,

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? dr. Salikur Kartono
dr. Salikur Kartono
 ??  ?? Dokter spesialis kedokteran jiwa, dr. Salikur Kartono, Sp.KJ memberikan arahan langsung melalui art therapy kepada pasiennya.
Dokter spesialis kedokteran jiwa, dr. Salikur Kartono, Sp.KJ memberikan arahan langsung melalui art therapy kepada pasiennya.
 ??  ?? Terapi ini bisa menjadi parameter pasien untuk berpikir rasional kembali.
Terapi ini bisa menjadi parameter pasien untuk berpikir rasional kembali.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia