Intisari

PAPRINGAN TEMPAT BERBURU KUDAPAN DAN KENANGAN

Nama dusun kecil terpencil di rerimbunan kebun bambu mendadak terkenal di kalangan wisatawan lokal. Sebuah event pasar tradisiona­l yang terbukti berhasil mengangkat beragam potensi sebuah desa. Apa saja keunikanny­a?

- Penulis: Mike Natalia di Semarang

Hari masih pagi benar. Arloji di tangan belum lagi menunjuk pukul enam. Namun warga Dusun Ngadiprono, di Kecamatan Kedu, Temanggung, Jawa Tengah sudah bersiap diri menyambut tamu-tamu bulanan mereka.

Ya, Minggu pagi itu akan jadi hari besar bagi warga setempat yang umumnya petani dan peternak. Desa mereka bakal kedatangan hampir seribuan wisatawan yang akan menuju Pasar Papringan. Sebuah event wisata yang terbilang unik, sekaligus mampu mengangkat beragam potensi desa.

Suasana riuh dari deru kendaraan bermotor, benar-benar membangunk­an seisi desa. Sejumlah warga yang menjadi petugas, terlihat sibuk mengatur arus roda empat dan roda dua yang terus mengalir masuk ke perkampung­an. Lalu lintas seketika menjadi padat.

Akibat keterbatas­an tempat, setiap jengkal tanah kosong di Ngadiprono dimanfaatk­an sebagai tempat parkir. Setiap kendaraan diatur rapi dan rapat, agar penggunaan lahannya efisien.

Melihat fenomena itu, barulah saya paham akan pesan seorang teman yang menyuruh datang ke Papringan sepagi mungkin. Tujuannya agar kita mendapat tempat parkir kendaraan yang nyaman. Semakin siang, parkir kita akan semakin jauh dari pusat keramaian. Yang artinya, juga harus berjalan kaki lebih jauh lagi.

Bambu jadi mata uang

Papringan, asalnya dari “pring”, yang dalam bahasa Jawa artinya bambu. Pasar ini memang berlokasi di sebuah lahan di pinggiran desa seluas 2.500 m2 dan ditumbuhi pepohonan bambu dewasa yang menjulang tinggi hingga 15-20 m.

Dari kondisi alam ini saja, tentu bisa dibayangka­n syahdunya suasana alam di Papringan. Perpaduan rerimbunan pohon penghasil oksigen murni dengan sayup-sayup terdengar irama gesekan dedaunan bambu tatkala angin berembus.

Namun bagi orang-orang kota, yang lebih penting, nuansa hijauhijau­an ini sangatlah instagrama­ble. Tak perlu banyak sentuhan filter-filter polesan, foto akan langsung cantik dipandang.

Potensi kekayaan bambu desa ini pula yang dimanfaatk­an sebagai ciri khas Papringan yakni alat pembayaran. Pasar ini hanya mengenal “mata uang” bernama pring yang dihargai Rp2.000 setiap keping.

Pengunjung bisa menukarkan uang bambu di pintu masuk pasar, dengan minimal penukaran Rp40.000 (senilai 20 pring). Hanya saja, Anda harus benar-benar cermat saat membelinya, karena pring tidak bisa ditukar uang ( refund) jika ada kelebihan. Namun pring tetap berlaku pada event-event pasar selanjutny­a.

Keunikan pasar ini segera terlihat dari kesungguha­nnya menggali potensi warga desa setempat, baik barang dagangan maupun segala aktivitasn­ya. Maka tak heran jika beraneka makanan tradisiona­l jadi andalan. Di samping berbagai hasil

pertanian, barang kerajinan, hewan ternak, aneka permainan, sampai pertunjuka­n kesenian.

Akan tetapi sepertinya mayoritas pengunjung sudah mafhum, tujuan utama mereka adalah menguji daya tampung lambung sampai batas kemampuan. Bahkan, sangat besar kemungkina­n, mereka berangkat tanpa sarapan.

Karena itulah, saat pasar mulai dibuka, sekitar pukul 06.30, terasa sekali atmosfer persaingan sengit dari para pengunjung untuk men- dapatkan makanan-makanan incaran mereka. Padahal lorongloro­ng pasar cukup sempit. Suasana jadi cukup sesak.

Makanan bernama eksotis

Sebagai penikmat makanan tradisiona­l, tentu saya juga tak ketinggala­n berburu berbagai panganan nongluten, nonpengawe­t, dan nonpewarna sintetis ini. Sejauh saya cocokkan dalam list di luar kepala, sepertinya segala makanan tradisiona­l semua tersedia.

Makanan-makanan yang paling umum contohnya aneka jajan pasar, dawet, bubur sumsum, bubur kacang hijau, nasi kuning, soto, kupat tahu, gudeg, pecel, wedang tape, dll. Kabarnya ada sekitar 70 pelapak makanan di pasar ini.

Akan tetapi, menariknya, ada pula jenis-jenis makanan membuat alis kita spontan mengernyit. Mungkin terasa asing atau sedikit menerbitka­n kecurigaan lantaran nama-namanya “eksotis”.

Contoh, ndas borok, yang tak perlu diartikan secara harfiah, karena isinya parutan singkong serta, serta gula aren, lalu dikukus. Atau, wedang pring (artinya minuman bambu) yang komposisin­ya cengkeh, gula batu, kayu manis, akar alang-alang, serta rebusan daun bambu muda.

Mengingat makanan yang dijajakan sangatlah umum, maka soal rasa tentu akan sulit untuk dinilai apalagi diperbandi­ngkan. Namun dalam hal harga, saya menilainya masih dalam batas wajar.

Untuk makanan-makanan ringan harganya 2-3 pring (sekitar Rp4-6 ribu), sementara yang agak berat berkisar 4-5 pring (Rp8-10 ribu). Hanya saja, menurut saya, porsinya cukup “mini” dibandingk­an porsi

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Suasana pasar yang penuh sesak.
Suasana pasar yang penuh sesak.
 ??  ?? Tempat penukaran uang di pintu masuk.
Tempat penukaran uang di pintu masuk.
 ??  ?? Pecel khas daerah setempat.
Pecel khas daerah setempat.
 ??  ?? Wedang pring.
Wedang pring.
 ??  ?? Aneka bubur.
Aneka bubur.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia