BEROLAHRAGA SEGALA SUASANA
Kantor kami pernah menggelar perlombaan lari yang di luar kebiasaan. Para pelari berputar mengelilingi gedung, kemudian menaiki anak tangga dari lantai pertama sampai lantai ketujuh di sayap kanan gedung. Selanjutnya, mereka berlari menuruni anak tangga di sayap kiri gedung.
Hasilnya? Sederet kawan menjadi pemenangnya. Bahkan, salah seorang sampai muntah-muntah setelah melintasi garis akhir.
Apakah ini olah raga? Tentu, karena secara definisi mungkin sudah memenuhi syarat: kegiatan yang melibatkan pengerahan tenaga fisik dan keterampilan individu atau tim yang bersaing. Namun, apakah ini cara olah raga yang baik? Tunggu dulu, karena olahraga bisa memberikan pengaruh optimal bagi tubuh apabila dilakukan secara bertahap dan terus-menerus.
Saya punya seorang kawan yang begitu gemar berolahraga. Setiap usai berlari, ia kerap mengunggah pencapaiannya via aplikasi Strava ke media sosial. Ia adalah tipe
pekerja yang tidak menempatkan kesibukan sebagai penghalang dalam berolahraga. Bahkan, bila harus bertugas ke luar negeri, ia selalu menyempatkan untuk berolahraga lari. “As long as there is a road,” ujarnya.
Namun, baginya berlari adalah penebus perasaan bersalah setelah bersantap makanan lezat yang biasanya tak sehat. Saya bertanya, bukankan olah raga dan gaya hidup bersantap adalah dua perkara yang berbeda? “Benar,” ungkapnya. Kemudian ia mengakuinya sembari berkelakar, “Seperti saya ini kolesterol mendekati batas atas.”
Natalia Mandiriani, jurnalis termuda di majalah ini, mengingatkan kepada kita tentang mitos dan fakta seputar olah raga. Kami menyajikan cerita betapa pentingnya berolahraga dan bagaimana menjadikan olahraga itu bagian dari kesibukan berkarya kita. Bukankah sesuatu yang dilakukan sebagai kebiasaan nan menyenangkan akan lebih mudah bagi kita untuk menjamin hasil akhirnya?