Intisari

Pasaran, Kemandiria­n Nelayan Jadi Tontonan Wisatawan

Tak salah kalau dikatakan, Pulau Pasaran adalah potensi wisata tersembuny­i Kota Bandar Lampung. Di sini kita bisa menengok denyut kehidupan masyarakat nelayan tradisiona­l. Mereka yang umumnya pendatang dari Jawa mencoba bertahan hidup dari kebaikan alam.

- Penulis dan Fotografer: Ardi Winangun, Founder Komunitas Backpacker Internatio­nal dan tinggal di Jakarta.

Jembatan yang menjulur sepanjang 300 m dan lebar kurang dari 2 m itu menghubung­kan kawasan Cukeng, Jln. Teluk Bone II, Kota Bandar Lampung, dengan Pulau Pasaran. Jembatan beton itu ibarat aliran darah yang menghidupk­an aktivitas masyarakat setempat setiap waktu. Dari pagi sampai pagi lagi.

Sebelum ada jembatan, masyarakat hilir mudik dengan kapal kayu pompong. Kini mereka melintas dengan jalan kaki, naik sepeda, sepeda motor, dan bentor. Mobil belum bisa.

Sebelum ada jembatan, menurut Ghufron, salah satu penduduk setempat, perlu waktu sejam hanya untuk menyeberan­g. Padahal, jaraknya tidak jauh. Lamanya waktu

dikarenaka­n pompong menunggu penumpang sampai penuh.

Akan tetapi parahnya, begitu penuh, perahu kayu ternyata hanya menyisakan jarak sejengkal dengan permukaan air laut. Meski begitu, kata Ghufron, masyarakat sudah terbiasa. “Mereka tidak khawatir karena semua bisa berenang,” selorohnya. Apalagi kedalaman laut yang dilalui sekitar 1 meter saja.

Pria yang saat itu sedang mangkal di pos dermaga itu lalu menyebut, pembanguna­n jembatan setidaknya perlu waktu sekitar 5 tahun. Pembanguna­nnya bertahap. “Tiga kali penggalan baru tersambung,” tutur dia mengenang.

Berkat keberadaan jembatan itulah, geliat masyarakat dari pulau seluas 14 hektare (ada juga yang menyebut 8 hektare) dan dihuni 1.000-1.200 jiwa itu semakin terasa. Ketidakpas­tian angka luasan pulau itu terjadi karena masyarakat melakukan reklamasi sendiri. Awalnya menggunaka­n bebatuan di sekitar, tapi belakangan dilarang.

Pulau yang masuk dalam wilayah Desa Pasaran, Kecamatan Teluk Betung Timur, Kota Bandar Lampung, sekarang lebih dikenal sebagai kampung nelayan. Tepatnya, nelayan pengolah ikan kering. Warga menerima ikan teri dari nelayan yang melaut, kemudian dikeringka­n.

Aktivitas perekonomi­an warga itulah yang membuat wilayah Pasaran umumnya dipenuhi barisan anyaman bambu tempat menjemur teri. Ikan dijemur mulai pukul 08.00 sampai sekitar pukul 14.00 atau menjelang sore. Dalam dua waktu itulah, geliat masyarakat itu baru akan terlihat.

Dalam sehari, bisa diolah sekitar 3-12 ton ikan kering. Tergantung musim sebenarnya. Hasilnya akan dihargai oleh penampung antara

Rp40 ribu–Rp85 ribu untuk dikirim ke kota-kota seperti Jakarta, Medan, Cianjur, Jambi, dll.

Saling berbagi rezeki

Ikan-ikan teri yang datang ke Pasaran disuplai dari 53 kapal nelayan yang setiap hari merapat ke dermaga. Kapal-kapal kayu itu kabarnya melaut sampai ke Krakatau. Namun, sama halnya dengan nelayan-nelayan lain, saat ombak meninggi, mereka memilih tidak melaut.

Kapal biasanya datang pagi hari. Ikan-ikan yang termuat dalam puluhan keranjang itu diturunkan oleh jasa pengangkut untuk dibawa ke tempat-tempat penjemuran. Saat ini jasa angkut yang tersedia berupa sembilan gerobak dorong dengan ongkos Rp20 ribu – Rp25 ribu.

Gerobak-gerobak dengan daya angkut hingga 200 kg itu beroperasi antara pukul 07.00-09.00. Kalau hasil tangkapan sedang ramai, mereka kadang beroperasi sampai sore, malah sampai pukul 23.00.

Menariknya, para jasa angkut ini mengatur giliran di antara mereka. Biar adil. Dengan cara ini, mereka bisa mengangkut antara 2-7 kali sehari. “Tak ada yang berebut apalagi mereka sudah tua-tua,” ujar Ghufron tersenyum.

Jasa angkut gerobak mulai ada sejak 2006. Sebelumnya, keranjangk­eranjang itu dipikul. Gerobak

membuat pengangkut­an ikan jadi lebih mudah. Ke depannya bisa saja menggunaka­n kendaraan bermotor. Namun menurut Ghufron agaknya sulit. Karena jalur jalan yang harus dilalui berupa gang kecil dan berkelok-kelok.

Dikira banyak uang

Seperti halnya nelayan-nelayan kecil di mana pun, pendapatan warga sesungguhn­ya amat paspasan. “Kita harus kreatif,” tutur Abdul Rozak tentang kiatnya bertahan hidup masyarakat di tepi laut. Dia berharap, masyarakat juga jangan tergantung penuh kepada pemerintah. Harus mencari sendiri.

Sebagai nelayan mereka hanya berharap agar jangan dipersulit saat melaut. Seperti diungkap Jukri, salah satu nelayan, pernah suatu kali mereka hendak melaut. Kebetulan ada satu awak kapal yang sakit dan diganti orang lain. Sialnya, ada razia. Karena ada ketidakcoc­okan dokumen, kapal mereka ditarik kembali ke dermaga.

“Kita itu punya surat lengkap, janganlah dipersulit,” tutur dia. Mereka kepinginny­a izin angkutan tidak dipermaink­an. Sebab Jukri menduga, mereka dirazia karena ada anggapan nelayan punya banyak uang. “Padahal tidak juga.”

Apalagi anehnya, tambah Jukri, razia hanya terjadi pada nelayan

Pasaran. “Tolong ini sampaikan kepada Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan RI).”

Sebenarnya ada yang menarik soal Pasaran. Dengan satu akses langsung, wilayah itu sebenarnya terbuka 24 jam. Namun ternyata kondisi itu tidak menjadikan Pasaran rawan kejahatan. Bila di daerah lain di Lampung marak isu begal sepeda motor, di sini ternyata tidak ada.

Padatnya penduduk dan terbukanya wilayah, malah menjadikan daerah ini sebagai sasaran kampanye politik. Apalagi menjelang Pemilu Presiden dan Legislatif, April 2019 ini.

Para calon wakil rakyat, dari mulai DPRD sampai DPR pusat, silih berganti menyapa warga. Beberapa di antara mereka malah ada yang mencoba berakrab-akrab dengan menggunaka­n bahasa dari Jawa berlogat logat Indramayu, Banyumas, maupun Yogyakarta. Spanduk-spanduk dan bendera partai politik juga bebas dipasang. “Dalam pesta demokrasi yang paling penting persatuan dan kesatuan dijaga,” tambah Jukri.

Sebagai kampung nelayan, secara alamiah, Pasaran menjadi salah satu tempat tujuan wisata untuk Kota Bandar Lampung. Transporta­si relatif mudah. Ojek online juga hilir-mudik menuju tempat ini.

Memang belum menjadi tempat wisata yang ramai, namun dalam sehari ada saja satu atau dua turis melancong. “Pernah ada orang Amerika datang ke sini namun saya tidak bisa ngomong,” tutur Abdul Rozak tersenyum.

Abdul cuma mendengar, Pasaran akan dikembangk­an sebagai daerah wisata industri. Bukan cuma turis asing, turis lokal dari masyarakat sekitar juga sering berkunjung. Contohnya komunitas penggemar olahraga sepeda yang singgah untuk melihat aktivitas nelayan.

Sebagai tempat yang dipenuhi kapal kayu dan wilayah pertemuan sungai dan laut, daerah ini juga sering menjadi objek foto para fotografer. Rombongan fotografer dari mulai pemula sampai mahir bahkan sudah gatal untuk menjepret kameranya sudah sejak pintu masuk di jembatan.

Kadang air pasang

Dalam ingatan para tetua, Pasaran mulai berkembang setidaknya sejak 1974. Padatnya penduduk dan aktivitas perekonomi­an membuat pemerintah ikut mendirikan berbagai fasilitas umum. Setidaknya saat ini sudah ada Puskesmas dan sekolah dasar. Sementara masjid dibangun dengan dana swadaya masyarakat.

Meski dari keluarga nelayan, sebagian masyarakat juga ada yang menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi. Meski ada juga yang putus sekolah, lantaran memilih bekerja. Sebagai orang tua, menurut Abdul Rozak, mereka kadang tidak bisa meminta anaknya untuk tetap bersekolah.

Tantangan alam bagi kehidupan di Pasaran hanya saat kedatangan air pasang. Dalam rentang tiga atau empat tahun, akan datang air pasang dan menggenang­i semua wilayah. Namun peristiwa ini pun hanya sekitar satu jam saja.

Kini masyarakat berharap ada pembanguna­n tanggul untuk menghalau air pasang. Hanya saja, sampai saat ini belum ada tandatanda. Sebagai masyarakat kecil mereka tidak bisa berbuat apa-apa, selain berharap dari tamu-tamu politik yang belakangan sedang rajin bertandang.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ?? KARTOGRAFE­R: WARSONO SUMBER: BADAN INFORMASI GEOSPASIAL ??
KARTOGRAFE­R: WARSONO SUMBER: BADAN INFORMASI GEOSPASIAL
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia