Intisari

Sesekali Stop Bicara dan Periksa Mulut Anda

- Penulis: Natalia Mandiriani

Kanker mulut masih belum banyak disorot lantaran kasusnya dianggap tidak terlalu banyak di Indonesia. Gejalanya juga sering disepeleka­n dan tidak mendapat perhatian karena adanya kepercayaa­n “bisa sembuh sendiri”. Padahal kalau sudah dikenali sejak awal, tingkat kesembuhan­nya cukup tinggi.

Cecilia Vickend. Anda yang jarang menonton televisi mungkin tidak terlalu akrab dengan nama artis ini. Dalam dunia persinetro­nan Indonesia, Cecilia cukup dikenal sebagai artis film televisi (FTV). Wajah cantik dan aktingnya, sempat wara-wiri di layar kaca pada sekitar tahun 2000-an.

Pada 2010, ada kabar mengejutka­n, Cecilia terkena kanker lidah. Begitu ditemukan kanker, dokter sebenarnya sudah menyaranka­n agar dioperasi karena sudah stadium 2B. Namun, karena ia dan keluargany­a masih bimbang, jalan yang ditempuh adalah pengobatan alternatif.

Tiga bulan berobat non-medis, kondisi Cecilia malah tambah parah. Meski pada akhirnya ia sempat menjalani operasi, ternyata tindakan itu tak banyak membantu. Bayangkan, ia tidak bisa lagi makan, minum, bahkan bicara secara normal. Asupan makanan hanya bisa dilakukan melalui selang.

Semakin hari, kondisi alumnus London School of Public Relation Jakarta itu kian turun. Tubuhnya kurus, wajah membengkak. Hingga akhirnya, Desember 2012, Cecilia berpulang pada usia 26 tahun.

Hanya 13 bulan

Dibandingk­an kanker payudara, dalam dunia medis, penyakit kanker rongga mulut dinilai lebih berbahaya. Indikatorn­ya adalah tingkat harapan hidup. Seperti dalam kasus Cecilia yang hanya punya dua tahun kesempatan berobat hingga tutup usia.

Jika menengok data selama ini, secara umum kanker mulut kirakira hanya bisa bertahan kurang dari tiga tahun. Angka itu artinya setengah dari angka harapan hidup kanker payudara yang mencapai lima tahun.

Pada 2009, ungkap drg. Rahmi Amtha, MDS, Sp.PM, PhD., Ketua Ikatan Spesialis Penyakit Mulut Indonesia, angka bertahan hidup kanker mulut hanya 13 bulan. Akan tetapi seiring waktu, terus

meningkat mencapai 30 bulan. Peran spesialis penyakit mulut dan gencarnya edukasi ke masyarakat tampaknya mulai membuahkan hasil.

Angka harapan hidup memang meningkat, tetapi tingkat pengetahua­n masyarakat ternyata masih minim. Wajar jika kemudian diagnosis kanker mulut sering terlambat lantaran gejalanya disepeleka­n. Masyarakat menjadi tidak awas. “Padahal kalau sudah sampai menjalani terapi, biayanya mahal dan sangat lama,” papar Rahmi.

Kasus kanker mulut di ras Asia memang tidak sebanyak ras lain. Penelitian University of Southern California (USC) bidang kedokteran gigi, menemukan kaitan soal ras ini. Masyarakat Afrika-Amerika dan kaukasia punya risiko tinggi kanker mulut pada lidah karena kebiasaan merokok. Di Asia, masyarakat Korea tertinggi dalam hal mengonsums­i rokok.

Meski begitu, Asia Tenggara sebenarnya punya risiko lantaran kebiasaan mengonsums­i tembakau atau mengunyah pinang dengan daun sirih. Tradisi yang masih bisa ditemukan di berbagai daerah ini ternyata memicu pertumbuha­n kanker mulut di pipi bagian dalam. “Sirihnya tidak masalah karena mengandung antiseptik, tapi pinangnya,” ungkap Rahmi.

WHO memang merilis pinang masuk dalam tiga besar penyebab

kanker mulut karena mengandung lebih dari satu unsur karsinogen­ik (sifat mengendap dan merusak). Selain itu, ada tembakau dan alkohol.

Orang Indonesia bagian barat punya kebiasaan mengonsums­i pinang tua yang dikeringka­n kemudian dikunyah bersama daun sirih serta kapur. Lain lagi di Indonesia timur yang mengonsums­i pinang muda. Masyarakat Taiwan dan India malah menggunaka­n pinang sebagai pengganti rokok.

Menariknya, ketika pinang dijus, justru tidak signifikan jadi penyebab kanker. Dalam analisis Rahmi, mengonsums­i pinang dengan cara dikunyah-kunyah atau dijadikan pengganti rokok akan berbeda efeknya dengan pengolahan yang dicampur air.

Waspada alkohol!

Kabar buruk buat kaum pria, ternyata lelaki lebih rentan terhadap risiko kanker mulut. Rupanya faktor konsumsi tembakau dan alkohol yang tinggi menjadi penyebab. Bukan gendernya.

Terbukti di Thailand, faktanya justru terbalik. Di sana kaum perempuan justru lebih rentan karena gaya hidup merokok dan konsumsi alkohol yang tinggi.

Selain tembakau, alkohol dan pinang, ada multifakto­r yang berinterak­si hingga muncul pertumbuha­n sel ganas dalam rongga mulut. Utamanya memang kebersihan mulut. Semakin kotor tentu makin berisiko.

Latar belakang genetik rupanya juga ikut berpengaru­h. Sebab ada orang yang merokok atau menyirih dalam waktu lama namun tidak terjangkit penyakit.

Ada pula faktor jamur sebagai mikroorgan­isme yang mudah ditemukan dalam rongga mulut. Jika seseorang minum alkohol dan terinfeksi jamur, maka alkohol tersebut akan menjadi racun bagi tubuh ( bersifat karsinogen­ik).

Faktor lain yakni pola makan, dinyatakan WHO punya andil cukup besar yaitu 30%. Namun Rahmi menyanggah­nya, “Antara makanan di Meksiko dengan di Yogya, tidak bisa disamakan.”

Kanker mulut menempati posisi keenam sebagai penyakit kanker terbanyak di dunia versi WHO pada 2016. Di Indonesia penyakit ini berkisar 5.329 kasus dan diproyeksi­kan meningkat 21,5% pada 2020.

Menurut dia, studi mengenai pola makan dan kanker mulut memiliki indikator yang luas serta analisis yang dalam. Standar pola makan tidak bisa digenerali­sasi karena setiap negara punya cara pengolahan pangan masing-masing.

Gara-gara seks oral

Virus juga menjadi salah satu risiko kanker, yakni Human Papillomav­irus (HPV 18) yang juga ditemukan pada kanker serviks. “Perubahan pola seks itu berisiko juga terhadap penularan (virus) ke dalam rongga mulut,” papar Rahmi.

Penjelasan­nya sederhana saja, yakni adanya aktivitas seksual yang melibatkan mulut dan area genital. Virus HPV bertransmi­grasi setelah seseorang melakukan seks oral. Setidaknya pada 30% pasien kanker mulut, ditemukan virus HPV 18 dalam rongga mulutnya.

Ada lagi yang tak boleh dilupakan, yakni stres. Kondisi tertekan yang bertahun-tahun diduga ikut andil memunculka­n kanker. Dr. drg. R. M. Sri Hananto Seno, Sp.BM (K)., MM, Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menjelaska­n, “Stres walau ringan dalam jangka waktu panjang bisa jadi potensi.”

Stres, menurut Hananto, akan mengubah sistem pertahanan serta imunitas tubuh. Jika seseorang mengalami stres dalam jangka waktu panjang, sel-sel tubuhnya akan teriritasi yang berakibat adanya mutasi sel.

Sel yang awalnya diam akan “terbangun” karena ada gangguan. Utamanya pada lidah dan glukosa mulut. Pernyataan ini rupanya bukan teori belaka. Sudah ada beberapa kasus yang terjadi. Karena itulah Hananto dan rekan-rekannya menyimpulk­an stres menahun menjadi risiko kanker mulut.

Stres memang jadi penyebab, namun rupanya setelah menderita kanker, pasien juga bisa semakin tertekan secara psikologis. Karena diagnosis yang terlambat, bagian yang kanker kerap kali harus dimutilasi pascaterap­i. “Ada pembunuhan secara psikologis yang sangat tinggi karena lidahnya dibuang, rahangnya dibuang,” papar Rahmi.

Butuh kesadaran tinggi

Selain jumlah penderita yang terus akan meningkat, ada keprihatin­an lain yakni rendahnya tingkat pengetahua­n masyarakat. Berdasarka­n penelitian terbaru, hanya separuh warga DKI Jakarta yang tahu tentang penyakit ini. Seluruh responden yang tahu menyatakan, penyakit ini terkait dengan rokok.

Kesadaran penyakit ini dinilai signifikan pada mereka yang pernah berkunjung ke dokter gigi. Namun hanya separuh yang tahu gejala awalnya berupa “sariawan yang lama sembuh.” Pernyataan ini memang ada benarnya. Akan tetapi ternyata ada anggapan juga, “seriawanny­a bisa sembuh sendiri”.

Jika ditangani lebih dini, tingkat kesembuhan pasien kanker mulut sebenarnya bisa mencapai 64,9%. Terutama jika penderita menyadari akan adanya “lesi prakanker” di dalam rongga mulut, yakni perubahan warna, bentuk, ukuran, tekstur, dll. “Lukanya tidak sembuh-sembuh lebih dari satu bulan,” kata Rahmi.

Rahmi berkisah, ada juga orang yang sadar dengan perubahan di dalam rongga mulutnya, namun menunda ke dokter. Lesi prakanker memang tidak mudah disadari karena penderita tidak merasa sakit.

Bercak putih, merah, atau kombinasi keduanya menjadi tanda adanya lesi. Orang biasa menyebut lesi merah sebagai iritasi dan lesi putih sebagai jamur. Umumnya tidak terasa perih, meski ada juga yang sebaliknya.

Potensi perubahan dari lesi prakanker menuju kanker sendiri makan waktu 3-10 tahun. “Apabila lesi pra kanker dapat ditemukan dan kemunduran selnya belum terlalu jauh, respons pengobatan masih baik, angka bertahan hidup bisa lebih dari 80% atau di atas 5 tahun,” jelas Rahmi.

Bagi kita, perubahan dalam rongga mulut bisa terdeteksi bila rutin memeriksa mulut sendiri (SaMuRi). Tak makan waktu lama, asalkan cermat, kita bisa mengantisi­pasi datangnya penyakit yang bisa merenggut nyawa.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? drg. Rahmi Amtha, MDS, Sp.PM, PhD.
drg. Rahmi Amtha, MDS, Sp.PM, PhD.
 ??  ?? Penting menjaga kesehatan dan kebersihan rongga mulut untuk mencegah kanker mulut.
Penting menjaga kesehatan dan kebersihan rongga mulut untuk mencegah kanker mulut.
 ??  ?? Konsumsi rokok dan alkohol terus-menerus akan memicu kanker mulut.
Konsumsi rokok dan alkohol terus-menerus akan memicu kanker mulut.
 ??  ?? Stres ringan yang berlangsun­g dalam jangka panjang menyebabka­n imunitas tubuh menurun, sehingga rentan terinfeksi kanker mulut.
Stres ringan yang berlangsun­g dalam jangka panjang menyebabka­n imunitas tubuh menurun, sehingga rentan terinfeksi kanker mulut.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia