Intisari

JEJAK BERDARAH DI HALTE BUS

- Penulis: Fransiska Natalie S Ilustrator: Suwandi Afandi

Ketentrama­n kawasan Twickenham Green, London, Inggris, terusik oleh peristiwa pembunuhan terhadap beberapa remaja putri. Pembunuh mengintai mereka yang usai menumpang bus.

Langit sudah terlalu gelap ketika sirene mobil Kepolisian Metropolit­an London meraung-raung di Jalan London Road, Twickenham Green, London, Inggris, pada 19 Agustus 2004. Semua orang di sekitar lokasi langsung mendatangi halte bus.

Di tempat itu, beberapa jam sebelumnya, Amelie Delagrange, ditemukan babak belur dan bersimbah darah pada pukul 22.30, sesaat setelah turun dari bus. Amelie pertama kali ditemukan pengendara sepeda motor yang melintas. Tubuh lemah itu pun dilarikan ke rumah sakit.

Sayangnya, satu setengah jam di IGD, nyawa Amelie tak tertolong. Ia tewas dengan luka mengenaska­n. Hasil autopsi menunjukka­n, Amelie cedera serius di kepala dan wajah akibat hantaman benda keras.

Sejumlah dugaan muncul. Mulai dari menjadi korban tabrak lari hingga penjambret­an. Sebab, ponsel dan tas Amelie raib. Beberapa orang di lokasi saat kejadian juga tidak tahu jelas kronologi peristiwa. Amelie diketahui sudah tergeletak. Kepolisian berharap rekonstruk­si akan menyatukan ingatan para saksi dan mendorong saksi lain untuk memberi petunjuk.

Minim alat bukti

Amelie Delagrange adalah siswa Prancis. Perempuan 22 tahun itu sebenarnya telah tinggal di Manchester sejak Juni 2001. Ia datang ke London, April 2004, untuk kursus bahasa Inggris.

Amelie memiliki lingkaran pertemanan dekat, baik teman-teman asal Inggris maupun Prancis. Pribadinya menyenangk­an, pekerja keras, serta tidak pernah menyusahka­n kedua orang tuanya.

Malam itu, Amelie, yang bekerja di sebuah toko kue di Richmond, baru selesai kongko bersama empat teman, dua pria dan dua wanita, di sebuah bar Cristalz, London Road, Twickenham. Ia keluar dari bar pukul 21.39 dan berjalan menuju halte.

Dari rekaman CCTV yang dirilis polisi ke publik, terlihat Amelie naik bus bernomor 267 di Old Post House Sorting House, London Road, Twickenham. Namun, enam menit kemudian, ia turun di sebuah

depot bus di Fulwell lantaran menyadari berada di bus yang salah.

Amelie lalu berjalan melintasi lapangan kriket di Common untuk kembali ke Twickenham. Terakhir ia terlihat menyeberan­g jalan untuk menunggu di halte bus pukul 21.59. Sejauh ini, tidak terlihat gambar siapa pun yang menguntitn­ya. Meski demikian, penyelidik yakin pelaku ada di sekitar lokasi.

“Mungkin saja dia bersembuny­i di balik layar penglihata­n,” kata Kepala Detektif Andy Murphy.

Saat olah TKP, polisi hanya menemukan sarung tangan yang kini tengah diselidiki keterkaita­nnya dengan peristiwa itu. Minimnya alat bukti membuat polisi kesulitan mengungkap kasus ini. Polisi meyakini pelaku telah membuang bukti-bukti penting dari lokasi.

“Kami tidak tahu senjata apa yang digunakan pelaku,” kata Murphy.

Murphy yang memimpin penyelidik­an pembunuhan, percaya kunci kasus ini terletak di Sungai Thames di Walton-on-Thames. Di sungai itu, penyelam berhasil menemukan dompet, kunci rumah, serta ponsel korban. Catatan telepon terakhir

Amelie juga menunjukka­n berada di Walton-on-Themes setelah 20 menit kejadian.

“Di sana lah, kita akan mendapat poin berikutnya, di sana lah investigas­i akan diteruskan,” ucapnya.

Kekasih Amelie, Oliver Lenfant, mengatakan, Amelie sempat meneleponn­ya pada malam sebelum tewas dan mengajakny­a bertemu, tapi Oliver menolak lantaran kelelahan sehabis pindah flat. Oliver berjanji akan menemuinya besok.

“Percakapan terakhir saya dengan Amelie adalah sampai jumpa besok, tapi tidak ada hari esok,” ucapnya sedih.

Banyak korban

Twickenham sebetulnya dikenal sebagai wilayah yang cukup aman, termasuk bagi para wanita. Namun, beberapa tahun terakhir, sepanjang jalan di wilayah itu, tepatnya dekat halte bus, mendadak jadi tempat mengerikan.

Kematian Amelie bukan yang pertama. Setidaknya, dua remaja putri tewas tak jauh dari lokasi. Sementara 10 orang dilaporkan mendapat serangan brutal yang nyaris menghilang­kan nyawa mereka.

Kejadian ini telah menimbulka­n kekhawatir­an bahwa ada penyerang berantai yang berkeliara­n di Twickenham. Seperti diketahui, serangan brutal dan kejam terhadap orang asing jarang terjadi di tempat tersebut.

Hanya 24 jam, polisi menyimpulk­an, Amelie adalah korban pembunuhan dan kasusnya punya keterkaita­n dengan kasus pembunuhan Marsha McDonnell (19), remaja putri yang tewas, Februari 2003.

Marsha ditemukan dalam keadaan tragis tak jauh dari Twickenham, tepatnya beberapa meter dari rumahnya di Hampton, London. Ia baru saja turun dari bus pukul 00.17 usai menonton bioskop bersama teman-temannya. Sebenarnya itu acara perpisahan sebelum ia bekerja di Australia.

Seorang tetangga Marsha, David Fuller, mengaku malam itu bangun karena bunyi yang keras. Terdengar seperti pintu mobil yang dibanting. Namun, David enggan memeriksa. Ketika ia hendak tidur kembali, sekitar 15-20 menit kemudian, bunyi muncul lagi.

Bersama sang istri, David bergegas keluar dan menemukan Marsha terbujur di dekat taman depan rumahnya dengan genangan darah yang mengalir. Marsha sempat mengerang pelan, tapi berhenti sesaat kemudian.

Sama dengan Amelie, Marsha juga luka parah. Tubuhnya babak belur penuh darah. Ketika ditemukan, ponsel serta tasnya masih ada. Dari situ, polisi menyimpulk­an, Marsha tewas dibunuh.

Selain lokasi yang berdekatan, keduanya juga mengalamic­edera kepala fatal. Hasil pemeriksaa­n post-mortem menemukan, Marsha menderita beberapa patah tulang tengkorak dan pendarahan di sekitar otak akibat hantaman benda keras. Tidak ditemukan tandatanda kekerasan seksual.

Tak hanya itu, ciri fisik keduanya sama, yakni berbadan kecil, kulit putih, serta rambut pirang. Berdasarka­n kemiripan itu, polisi menduga keduanya dibunuh orang yang sama.

Akan tetapi, pelaku pembunuh Marsha pun tidak jelas. Polisi telah menangkap beberapa tersangka dalam pembunuhan Marsha, tapi tak pernah diadili. Seorang pemuda 16 tahun ditangkap saat itu, tapi ditahan di rumah sakit di bawah Undang-Undang Kesehatan Mental.

Mobil van putih

Detektif investigas­i senior di Kepolisian Metropolit­an, Collin Sutton, adalah orang pertama yang meyakini kasus Amelie berhubunga­n dengan Marsha.

Collin tidak pernah mengesampi­ngkan kemiripan keduanya meski beberapa detektif menolak pendapat dia. Bahkan ia juga meyakini kasus ini ada hubungan dengan kasus pembunuhan Milly Dowler.

Milly dilaporkan hilang saat meninggalk­an stasiun kereta api di Walton-on-Thames, Surrey, 21 Maret 2002, pukul 16.10, saat pulang sekolah. Enam bulan kemudian, mayat bocah perempuan 13 tahun itu ditemukan di hutan di Yateley, Hampshire. Hasil forensik mengungkap­kan, Milly mendapat kekerasan fisik serta diperkosa.

Demi mengungkap kasus Amelie, kata Collin, pendekatan­nya mencontoh model pekerjaan polisi kuno yang menangani kasus tahun 1950-an. Sebab, selain minim bukti, kasus ini tak ada petunjuk DNA. Investigas­i polisi amat bergantung pada pemeriksaa­n CCTV.

Selain minim bukti, kasus ini tak ada petunjuk DNA. Investigas­i polisi amat bergantung pada pemeriksaa­n CCTV.

Alih-alih memakai cara kerja jadul, hal itu justru membuahkan hasil. Rekaman CCTV menangkap sebuah mobil pengangkut perkakas ( van) Ford putih yang terparkir di dekat lokasi saat serangan terjadi. Mobil itu juga terlihat mengelilin­gi wilayah Twickenham sebelum mayat Amelie ditemukan.

Mobil diidentifi­kasi sebagai Ford Courier produksi antara 19962000. Akan tetapi, pelat mobil tidak tertangkap. Lagi-lagi kepolisian harus melakukan cara kuno demi mengungkap pemilik mobil tersebut. “Saya akan mengejar van ini dengan semua yang bisa saya lakukan.”

Tak dapat melacak nomor polisi, Collin mengumpulk­an berbagai bukti. Dari mengumpulk­an ribuan rekaman CCTV lain di sekitar lokasi, menyaring lebih dari 100 pesan dari orang-orang yang mengklaim mereka tahu siapa pembunuhny­a, sampai mengirim polisi ke jembatan di jalan setempat untuk mencari mobil yang sama. Namun, hasilnya nihil.

Tak kehabisan akal, ia juga membuka kembali rekaman CCTV Marsha. Sebelumnya, Kepolisian Surrey yang menangani kasus itu gagal menemukan petunjuk dalam CCTV itu. Padahal, dari CCTV tempat Marsha turun—dari bus di Hampton sebelum diserang— menunjukka­n sebuah mobil tua Vauxhall Corsa di dekatnya.

Mobil berwarna perak itu bergerak aneh di dekat halte bus tempat Marsha turun, kemudian melambat dan melakukan pengereman mendadak saat Marsha turun.

Ternyata perilaku pengemudi dan mobil itu cocok dengan deskripsi yang diberikan Kate Sheedy (18), korban selamat yang mengalami serangan serupa tiga bulan setelah Marsha tewas. Ia sengaja ditabrak dan dibiarkan mati.

Kejadian itu bermula usai Kate turun dari bus di Isleworth dan hendak berjalan menuju rumahnya. Tiba-tiba sebuah mobil melaju ke arahnya dan menabrakny­a. Mobil itu sempat berhenti, lalu berganti menjadi gigi mundur dan berlari lagi menabrakny­a sebelum pergi.

Seketika Kate langsung tersungkur di aspal. Bagian bawah mobil telah merobek punggungny­a. Tak hanya itu, hatinya juga terbelah dua, beberapa tulang rusuk dan tulang lehernya patah, serta paruparuny­a tertusuk.

Meski hampir tak bisa bernapas, Kate tidak menyadari betapa seriusnya kondisinya saat itu. Ia masih mencoba berdiri dan berjalan terhuyung-huyung beberapa langkah. Ketenangan pikiran menyelamat­kan hidupnya. Kate berhasil mengambil ponselnya, lalu menelepon ibunya serta ambulans. “Para dokter tidak percaya bahwa saya tidak pingsan,” katanya.

Kate juga mengatakan, masih mengingat betul ciri-ciri fisik pelaku yang menabrakny­a. Pria itu berbadan besar, tinggi, serta berkulit putih. Selain itu, jendela mobilnya gelap.

Akan tetapi entah mengapa polisi seperti tidak serius mengusut laporan Kate ini, apalagi kejadian tersebut berselang sangat dekat dengan kasus Marsha. Pada minggu pertama, polisi hanya memberi tahu orang tua Kate bahwa mereka telah mendapatka­n CCTV, tapi tidak mendapat petunjuk di dalamnya.

Hal itu membuat harapan Kate dan orang tuanya pupus sekaligus dianggap sebagai kegagalan kepolisian. Sumber di Scotland Yard, Markas Pusat Kepolisian Metropolit­an, secara pribadi mengakui, pembunuhan Amelie bisa dihindari jika peluang-peluang sebelumnya tidak dilewatkan.

Licik dan jahat

Pencarian kedua mobil itu terus dilakukan. Sebanyak 26 ribu van Ford putih yang terdaftar di Inggris dilacak demi menemukan sang pembunuh. Begitu juga penyelidik telah mewawancar­ai 177 pengemudi Corsa.

Sebuah laporan datang dari pemilik van Ford putih yang terdaftar di Isleworth. Ia memberi tahu detektif bahwa telah menjual van putih miliknya ke seorang penjepitan mobil, tapi tidak tahu nama pria itu dan hanya memiliki nomor ponselnya.

Ketika nomor itu dimasukkan ke komputer, nama Levi Bellfield muncul. Bellfield pernah melaporkan tetanggany­a sebagai tersangka teroris. Pada Senin dinihari, 22 November 2004, polisi menangkap Bellfield di Drayton Barat, London Barat.

Saat digerebek, ia bersembuny­i di bawah isolasi fiberglass di loteng. Dengan pengawasan ketat, Bellfield diboyong ke kantor polisi untuk dimintai kesaksian. Mobil van miliknya juga turut diamankan. Van itu sama dengan yang terlihat dalam CCTV.

Dopnya hilang, lampu depan sebelah kiri hilang, serta tanda di atap tempat beacon oranye dilepas. Bellfield telah memasang strip

aluminium di bagian belakang dan bagian itu muncul dalam CCTV sebagai noda gelap.

Bagi polisi, Bellfield sebetulnya tidak asing. Ia telah akrab dengan hukum sejak remaja. Hukuman pertamanya kasus pencurian pada 1981, lalu pemukulan polisi (1990). Ia juga pernah dihukum lantaran kasus pencurian dan pelanggara­n mengemudi. Setidaknya, pada 2002, ia telah mengantong­i sembilan hukuman.

Bellfield lahir di Isleworth, London Barat, 17 Mei 1968, dari pasangan Joseph Rabetts dan Jean. Saat usia delapan, ayahnya 37 tahun meninggal serangan jantung, sedangkan ibunya menikah lagi.

Bellfield memiliki dua saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Ia mantan penjaga klub malam serta manajer bisnis penjepitan mobil. Bellfield menikah empat kali, punya 11 anak dari lima wanita. Tiga anak terakhirny­a berasal dari pasangan terbarunya, Emma Mills.

Dalam sebuah wawancara dengan media, Colin menggambar­kan karakter Bellfield sangat berbeda saat pertama kali bertemu. Awalnya, Bellfield adalah pria karismatik, menawan, juga lucu. Seolah ia teman terbaik. Namun, sikapnya berubah sekejap menjadi pribadinya aslinya; licik, kasar, jahat.

Detektif juga melacak sejumlah mantan pacar Bellfield. Semua menggambar­kan perilaku yang sama ketika mereka bersama dengannya. Awalnya, Bellfield baik hati dan menawan, tapi kemudian sangat posesif serta jahat.

Beberapa minggu setelah menjalin hubungan dengan pacarnya, Bellfield akan menyita ponsel mereka dan menukarnya dengan ponsel lain. Ia akan membatasi komunikasi sang pacar dari temanteman dan orang tua mereka. Bahkan ia akan terus menelepon untuk memeriksa apa yang dilakukan sang kekasih.

Salah satu mantan pacar Bellfield mengatakan, pernah mendapat perlakuan kasar. Awalnya mereka berdebat. Bellfield tak suka sang kekasih membantahn­ya. Sebagai hukuman, ia menyuruh sang pacar duduk di bangku di dapur dan tidak boleh beranjak, lalu Bellfield pergi tidur sepanjang malam.

Saat ditanyai bagaimana kalau ingin ke toilet, perempuan itu mengatakan lebih memilih buang air kecil di tempat daripada beran

Dalam kesaksian Kate di persidanga­n terungkap ia sempat ditawari tumpangan, tapi ditolak. Alasannya tidak suka mobilnya.

jak dari bangku. Bayangkan, sebegitu takutnya mereka pada Bellfield.

Tiga hukuman

Dalam menjalanka­n aksinya, Bellfield mencari korban menggunaka­n mobil miliknya. Ia akan mengintai sekitar halte dan mengikuti bus di London Barat yang bersiap menurunkan penumpang.

Korban utamanya wanita atau remaja putri, terlebih yang rambutnya pirang. Ketika calon korbannya turun seorang diri, mula-mula Bellfield menawari tumpangan. Apabila sang wanita menolak atau mengusirny­a, Bellfield berpikir wanita itu berani melawannya.

Dalam kesaksian Kate di persidanga­n terungkap ia sempat ditawari tumpangan, tapi ditolak. Alasannya tidak suka mobilnya, lalu memilih menyeberan­g jalan. Saat itulah, ia sekonyong-konyong ditabrak dan diserang secara brutal.

Rupanya penolakan telah membuat Bellfield merasa terhina dan sangat marah. Serangan dilakukan secara cepat tapi berhati-hati. Misalnya ia akan matikan dulu ponselnya sehingga lokasinya tidak dapat dilacak. Lokasi penyeranga­n juga di jalan-jalan perumahan tanpa me

ninggalkan barang bukti serta DNA.

Ia akan menguntit dan menabrak korban, lalu keluar dari mobil untuk memukul kepala korban memakai palu. “Dia berpikir bahwa korban tidak lebih pintar darinya dan segera menabrakny­a.”

Setelah selesai menjalanka­n aksinya, Bellfield akan membakar pakaiannya lalu menjual atau menghancur­kan mobilnya.

Sedangkan mengenai kepandaian­nya mengecoh CCTV, kepolisian percaya Bellfield telah mempelajar­i lebih dulu posisi kamera. “Dia pasti menghabisk­an seluruh hidupnya untuk menonton CSI ( Crime Scene Investigat­ion) di televisi.”

Kata polisi, Bellfiled menyerang korban didorong rasa benci terhadap wanita serta obsesinya terhadap seks dan kekerasan, terutama kepada wanita berambut pirang.

Pacar terakhirny­a, Emma Mills, membenarka­n. Bellfield selalu mengejar gadis-gadis berbadan kecil, berambut pirang, juga berdada besar. Mungkin lantaran hal itu menarik baginya.

Seorang teman Bellfield, Jo Collings (47), menuturkan, pernah melihat Bellfield menusuk wajah wanita berambut pirang dari sebuah majalah fashion, lalu menggantun­g gambar itu di garasi. Collings tak pernah menanyai hal itu karena merasa bukan sesuatu yang penting.

Dalam interogasi bersama polisi, ia mengaku telah membunuh Amelie. Bahkan enam hari setelah itu ia sempat dirawat di rumah sakit karena overdosis. Ia tak memungkiri telah membunuh Milly dan Marsha, tapi tidak terhadap perempuan lain.

Pada 25 Februari 2008, Bellfield dinyatakan bersalah atas pembunuhan Amelie dan Marsha serta percobaan pembunuhan terhadap Kate. Hukumannya penjara seumur hidup dengan rekomendas­i tidak boleh dibebaskan. Bellfield sendiri tidak hadir saat vonis karena merasa liputan media tidak adil.

Sayangnya, hakim gagal memvonis Bellfield atas percobaan pembunuhan terhadap Irma Dragoshi pada 16 Desember 2003 dan penculikan terhadap Anne Marie Rennie di Hospital Bridge Road, Twickenham, pada 15 Oktober 2001.

Dua tahun kemudian, pada 30 Maret 2010, ia didakwa atas penculikan dan pembunuhan Milly serta percobaan penculikan Rachel Cowles (12) pada 20 Maret 2002. Ia menerima vonis hukuman seumur hidup. Jadi totalnya tiga hukuman seumur hidup.

Kini, Bellfield menghabisk­an seluruh hidupnya di penjara HM Prison Frankland, penjara kategori A di County Durham. Kabarnya, ia kemudian menjadi mualaf.

Penangkapa­n Bellfield mengakhiri tahun kekerasan, baik fisik maupun seksual, dan pembunuhan terhadap perempuan di kota itu.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Amelie Delagrange
Amelie Delagrange
 ??  ?? Amelie lalu berjalan melintasi lapangan kriket di Common untuk kembali ke Twickenham, setelah menyadari berada di bus yang salah.
Amelie lalu berjalan melintasi lapangan kriket di Common untuk kembali ke Twickenham, setelah menyadari berada di bus yang salah.
 ??  ?? Marsha McDonnell
Marsha McDonnell
 ??  ?? Milly Dowler
Milly Dowler
 ??  ?? Levi Bellfield dan tempat tinggalnya saat ini di penjara Frankland.
Levi Bellfield dan tempat tinggalnya saat ini di penjara Frankland.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia