Anak Tersihir Gawai Orangtua Jangan Abai
Anak-anak dan gawai saat ini ibarat dua benda yang diolesi lem karena sulit dipisahkan. Gawai seperti mampu menyihir anak-anak untuk terus menatapnya, tak terusik apa pun, hingga terkadang orangtua harus mati-matian memisahkannya. Namun ketika tiba masanya sekolah daring, anak-anak bisa merasa sangat jenuh di depan layar.
Sama seperti orangtuaorangtua lainnya yang bekerja, saat masih di kantor, Sesilia Niken cuma punya waktu sedikit untuk mengecek kondisi anak-anaknya di rumah. Biasanya jelang sore, ketika ia dan rekan-rekannya berkumpul di pantry untuk sekadar ngopi dan makan camilan, Sesil akan mencari kabar tentang anak-anaknya lewat telepon.
Jika anak-anak kebetulan sedang tidak bisa menjawab, ada Asisten Rumah Tangga yang akan melaporkan kondisi di rumah. Biasanya laporan dari ART, pekerjaan rumah beres, anak-anak juga baik-baik saja. Anak-anak semua di rumah dan hanya asyik dengan ponsel atau gadget yang lain. Kondisi aman sentosa, tak kurang suatu apa.
Bagi para orangtua yang bekerja, situasi itu terdengar sangat aman terkendali. Anak-anak terasa sangat kooperatif dengan kesibukan orangtua di kantor yang memang menyita banyak perhatian. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Akan tetapi justru di situlah
Sesil merasa ada yang salah. Ia merasa semestinya berperan lebih banyak dalam tahap perkembangan dua anaknya yang masih usia SD. Sadar bahwa masamasa ini tidak akan terulang, ia bertekad untuk berinvestasi dalam hubungan dengan anak-anaknya. Kegelisahan itulah yang akhirnya mendorongnya resign setelah 17 tahun bekerja. Demi anak-anak, ia memilih jadi ibu rumah tangga.
Pada minggu pertama Sesil di rumah, ia mengamati pola kegiatan anak-anaknya sehari-hari. Baru di
Namun Sesil melihat, anakanak itu benar-benar terbius materi yang ada dalam gawainya. Mereka seperti tersihir dan tak bisa berbuat apa-apa. Memprihatinkannya lagi, karena gawai pula, anak-anak menunda makan, minum, salat, bahkan menunda ke toilet.
situlah ia menyadari, anak-anak itu memang begitu tenang, tapi lantaran mereka lengket dengan gawainya. Mereka memang berkumpul dengan teman-teman sebaya, tapi untuk sama-sama bermain game. “Ngumpulnya dekat colokan kabel karena sambil ngecharge,” kata Sesil menggambarkan anak-anak yang asyik terbuai gawai.
Bagi sebagian orangtua, pemandangan ini mungkin biasa. Namun Sesil melihat, anak-anak itu benar-benar terbius materi yang ada dalam gawainya. Mereka seperti tersihir dan tak bisa berbuat apa-apa. Memprihatinkannya lagi, karena gawai pula, anak-anak menunda makan, minum, salat, bahkan menunda ke toilet. Game online membuat mereka enggan beranjak, karena takut level dalam permainannya turun.
Sesil merasa ada yang tidak beres dengan situasi ini. Ia membandingkan dengan masa kecilnya dulu, ketika setiap sore anak-anak biasa bermain di lapangan dekat rumah. Bahagia rasanya bisa bermain dengan aneka permainan yang seru dan menyenangkan.
Kala itu anak-anak begitu gembira dan antusias bermain bersama, meski jenis permainannya tradisional dan murah seperti galasin, kasti, petak umpet, benteng, dll. Selain anak-anak bisa bersosialisasi dengan sesamanya, mereka juga sangat aktif bergerak.
Banyak stimulus yang berguna bagi perkembangan fisik dan otak anak.
Berangkat dari keprihatinan itu, Sesil mulai mengajak anakanak di lingkungan rumahnya di Perumahan Griya Rajawali I di Tangerang Selatan untuk bermain di luar rumah. Pukul 16.00 ketika cahaya matahari mulai tak panas lagi, anak-anak berkumpul di lapangan untuk ikutan “Jam Main”. Permainannya dimulai dari yang sederhana; batu tujuh, lompat karet, benteng, dll. Jenis-jenis permainan yang asing bagi anakanak sekarang.
Awalnya hanya sebagian anak berminat. Gawai masih pilihan utama. Namun berkat pendekatan ke orangtua, satu per satu mulai mau terlibat. Awalnya tentu berat, karena dalam permainan segala gawai harus ditinggalkan agar anak bebas dari gangguan. Di situlah anak bisa berdiet pemakaian gawai sekitar 1,5 jam setiap hari.
Sesil menyadari, “No Gadget Campaign” yang diprakarsainya tidak akan sukses tanpa dukungan orangtua. Karena itu para orangtua dan pengurus lingkungan juga dilibatkan untuk ikut aktif mendampingi dan mengarahkan. Serta yang terpenting, mematikan sambungan wifi mereka di rumah.
Mayoritas terpapar pornografi
Pasifnya anak-anak bukan satusatunya keprihatinan Sesil untuk bergerak. Ada juga kesadarannya bahwa anak-anak itu rentan
terpapar oleh dampak negatif internet seperti kekerasan, bullying, serta pornografi. “Anak mungkin tidak mencari, tetapi tiba-tiba muncul karena iklan yang diklik,” tutur Sesil yang sempat mendapati history akun Youtube-nya terdapat konten negatif yang ditonton anaknya.
Orangtua kadang tidak sadar karena mereka sibuk. Mereka percaya saja dengan apa yang dilakukan anak-anaknya. Apalagi jika ditengok-tengok sekilas, anakanak hanya bermain game atau menonton konten-konten hiburan. Padahal jika orangtua tidak waspada, bukan tidak mungkin konten-konten tersebut bermuatan materi yang tidak layak ditonton anak.
Orangtua boleh percaya pada anak, akan tetapi skrining adiksi pornografi dari Kementerian Kesehatan pada Juni 2018 membuktikan sebaliknya. Skrining yang diikuti 1.314 responden di kalangan SMP dan SMA hasilnya hanya 1,7 persen anak saja yang tidak terpapar pornografi, sementara yang terpapar mencapai 98,3 persen. Terpapar pornografi ini mulai dari tiga tingkatan, yakni rendah, sedang, dan tinggi.
Anak tidak hanya rawan jadi pelaku, tetapi tak kalah memprihatinkan kalau mereka menjadi objeknya. Pada 2016, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak mengungkapkan berdasarkan pantauan Interpol Polri, setiap hari ada 25 ribu aktivitas di internet terkait pornografi anak di wilayah
Indonesia.
Berdasar pengamatannya, Sesil melihat masih banyak orangtua yang abai terhadap gawai yang dipegang anak. Apa dicari atau ditonton anak tidak pernah dicek. Tidak mencari tahu tentang game yang dimainkan. Bahkan mereka mungkin sama sekali tidak melakukannya karena tidak mengerti alias gaptek.
Sesil mengungkap pengalaman dengan salah satu orangtua yang meyakini tablet anaknya bersih dari game-game tertentu yang bermuatan negatif. Padahal ia tahu persis justru anak tersebut sangat cerdas, karena bisa menyembunyikan segala game melalui aplikasi khusus. Ketika pulang ke rumah, jejak-jejak permainannya sudah dihapus.
Di samping keterlibatan dalam
Jam Main, Sesil juga mencoba membatasi penggunaan gawai terhadap anak-anaknya di rumah. Salah satu kesepakatan, boleh main tapi tidak lebih dari 2 jam. Setelah itu harus dikembalikan. “Statusnya memang pinjam karena gawai tersebut masih kepunyaan orangtua,” tutur Sisil yang berencana baru akan memberikan gawai sendiri jika anak berusia SMP.
Tentu ketika anak tak bergawai, harus ada aktivitas yang mereka lakukan. Bisa dengan bercengkerama atau bermain bersama orangtua.
Ada beragam pilihan asalkan di tengah kesibukannya orangtua (mungkin saat bekerja di rumah) mau meluangkan waktu. Di sinilah orangtua mesti menurunkan ego dengan memposisikan diri sebagai anak dan melakukan aktivitas bersama-sama mereka.
Tergantung aktivitas dengan gawai
Dua jam. Durasi ini selalu menjadi rekomendasi yang umum ketika orangtua bertanya: berapa lama sebenarnya anak boleh memainkan gawai dalam sehari. Namun setelah diberi tahu jawabannya, orangtua kembali bingung, bagaimana mekanisme pemanfaatan waktu tersebut. Apakah harus dicicil atau langsung dihabiskan?
Neysa Nadia Lestari, M.Psi, psikolog pendidikan dari @ arsanara.id, mengatakan sangat wajar jika orangtua bingung. Sebab angka itu hanya sekadar batasan waktu untuk memegang gawai tanpa mempedulikan latar belakang anak menggunakannya. “Padahal sangat tergantung apa yang dilakukan. Dua jamnya orang yang produktif sangat berbeda dengan dua jam orang yang hanya cuma menonton,” tutur Neysa.
Rekomendasi tersebut relevan
ketika anak hanya mendi konsumer pasif tanpa interaksi sosial. Tanpa ada kegiatan berpikir. Padahal orangtua semestinya tidak khawatir dengan waktu, tapi apa yang dilakukan anak dengan gawai.
“Dua jam” itu sendiri sebenarnya rekomendasi lama dari salah satu organisasi psikolog di Amerika Serikat. Sementara rekomendasi yang baru justru tidak distandarkan berdasarkan waktu, melainkan dipersonalisasi. Harus dilihat apa yang dilakukan oleh anak.
Dari situasi inilah orangtua bisa membuat kesepakatan bersama dengan anak. Harus dipertimbangkan, apakah dengan gawainya anak melihat konten edukatif, bahkan mungkin produktif. Atau hanya sekadar bermain game. Keduanya berbeda.
Walau anak seperti “dibebaskan”, Neysa mengingatkan pembatasan menatap layar juga perlu. Ada aturan “20 20 20” di mana setiap 20 menit, harus berhenti untuk memandang benda sejauh 20 kaki (sekitar 6 m) selama 20 detik. Imbauan ini tentunya terkait dengan kesehatan mata anak-anak.
Baik Neysa maupun Sesil sepakat, gawai dalam bentuk apapun seperti ponsel, tablet, atau laptop; tidak bisa disalahkan. Keberadaannya telah menjadi alat bantu komunikasi yang dibutuhkan di zaman sekarang. Justru tidak bisa dibayangkan, bagaimana kehidupan manusia sekarang tanpa
gawai.
Kondisi ini juga berlaku untuk anak-anak. Contoh paling aktual adalah program belajar online yang berlangsung saat Pandemi Covid-19 saat ini. Anak-anak belajar di rumah selayaknya bersekolah biasa dengan bantuan gawai mereka.
Akan tetapi fenomena menariknya, saat bersekolah online inilah, sebagian anak justru merasa sangat tidak nyaman di depan gawai. Anak-anak jenuh karena harus berjam-jam berada di depan gawai. Mereka sulit berkonsentrasi, gelisah, atau malah terganggu perhatiannya. “Emosi anak tidak ketebak, sehingga perlu banyak permakluman. Sebenarnya proses belajar akan enak kalau semua enjoy,” kata Sesil.
Sesil paham situasi ini tidak terelakkan. Guru juga harus dimaklumi karena mereka mengejar program pembelajaran sesuai kurikulum. Namun ada kenyataan juga, di rumah kadang anak-anak juga sulit menemukan mood belajar. Bahkan ia melihat anak-anak begitu pasif dan hanya bisa melihat gurunya berbicara di layar. Interaksi di antara anak-anak amat jarang.
Dalam situasi seperti ini, menurut Sesil wajar jika para orangtua prihatin. Ia sendiri tidak terlalu berharap anak-anak bisa mendapat banyak. Soal nilai pelajaran misalnya, ia pasrah, karena kejujuran jadi sangat tipis. “Yang penting kamu tanggung jawab kerjakan tugasmu sampai selesai,” tutur Sesil menirukan pesan kepada anak-anaknya.
naksir-naksiran
Anak-anak yang jenuh, menurut Neysa adalah wajar. Terlepas dari pola belajar online- nya yang memang tidak sempurna, anakanak sebenarnya juga kangen dengan situasi sekolah. “Bukan kangen dengan gedung sekolahnya secara fisik, ya. Tapi kangen pada perasaan ketika mereka berada di sekolah. Mereka kepingin excited ketemu teman. Kepingin naksirnaksiran. Kepingin ngeliatin temen,” tutur dia.
Orangtua tentu harus paham akan situasi yang dihadapi anak. Harus dimulai dari dialog dulu, ngobrol dari hati ke hati. Perhatikan apa aktivitas anak serta bagaimana perasaannya. Orangtua juga harus cari tahu seberapa anak-anak butuh refreshing. Apa yang mereka inginkan.
Kalau mereka ingin bermain bersama teman-temannya (tapi tentu tidak mungkin), mau tak mau orangtua juga yang menggantikannya dengan bermain bersama di rumah. “Main board game seperti ular tangga atau monopoli bisa jadi kegiatan baru yang refreshing,” tutur psikolog lulusan Universitas Indonesia ini.