Mendaki Ekspres, Begitu Sampai Puncak Langsung Turun
Beberapa pelari lintas alam ( trail runner) mencoba mencari tantangan. Tak lagi masuk keluar hutan, namun mencari EG: elevation gain. Akumulasi elevasi. Mendaki gunung adalah salah satunya. Dari sini lahirlah istilah pendaki tek-tok. Mendaki ke puncak, l
Bagi yang rajin menyambangi Gunung Gede – Pangrango, ada penambahan kemudahan bagi pengunjung. Tiket khusus bagi mereka yang ingin mendaki tanpa menginap. Istilahnya tek-tok. Ada yang melakukannya dengan berlari, banyak pula yang hiking. Masing-masing dengan sejumput alasan. Dari yang tidak punya banyak waktu hingga ingin menguji batas tubuh.
Penambahan tiket itu tentu merespon banyaknya pelari lintas alam yang menjadikan Gunung Gede-Pangrango sebagai tempat latihan, juga tempat lomba. Sebelum pandemi Covid-19, setidaknya ada gelaran Gepang Marathon dengan jarak lari bervariasi, dari 25k hingga 100K. Star dari Cibodas, lantas mendaki ke Puncak Pangrango dan Puncak Gede, lalu turun. Ada yang menambah rute dengan turun ke lapangan Sukamantri. Bahkan ada yang lebih turun lagi ke Selabintana, Sukabumi, salah satu gerbang masuk ke Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.
Tiket pendaki tek-tok ini sebenarnya sama dengan pendaki biasa. Hanya saja pendaki tek-tok tak perlu booking secara daring. Juga tak perlu melampirkan KTP dan surat sehat. Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi) bisa diperoleh saat itu dengan membayar Rp29.000 ( hari kerja) dan Rp34.000 di akhir pekan. Simaksi merupakan dokumen bukti legalitas orang untuk melakukan aktivitas tertentu dalam kawasan konservasi. Karena tak ribet mengurus Simaksi, maka pendaki tek-tok ini bisa langsung go-show. Datang, muncak, pulang.
Fenomena pendaki tek-tok tak hanya dijumpai di Gunung GedePangrango. Hampir semua gunung di Jawa sudah mulai dirambah pendaki tek-tok ini. Seperti yang dialami Intisari saat melakukan pendakian tek-tok Gunung Sum
Maraknya pendaki tek-tok atau pelari trail ke gunung oleh Jean-Marc Peillex, walikota St. Gervais, Prancis, tempat awal rute standar jalur trail run Mont Blanc, disebut sebagai “Efek Kilian”. Sebutan itu merujuk ke Kilian Jornet Burgada (33), pelari trail gunung terbaik. Dia paling getol mempromosikan berlari ke puncak gunung. Pelari asal Catalan, Spanyol, ini memiliki waktu tercepat di beberapa lintasan lari trail dari Mont Blanc hingga Everest.
bing dan Gunung Sindoro di Jawa Tengah awal Oktober 2020.
Meski masih didominasi pendaki biasa, namun ketika di G. Sindoro berpapasan dengan pendaki tek-tok ini, dari penampilannya mudah ditandai. Tak bawa banyak barang di tas punggung, hampir semua memegang tongkat jalan ( track pole), berpakaian dan bersepatu lari.
Penggaungan media sosial
Maraknya pendaki tek-tok atau pelari trail ke gunung oleh JeanMarc Peillex, walikota St. Gervais, Prancis, tempat awal rute standar jalur trail run Mont Blanc, disebut sebagai “Efek Kilian”. Sebutan itu merujuk ke Kilian Jornet Burgada (33), pelari trail gunung terbaik. Dia paling getol mempromosikan berlari ke puncak gunung. Pelari asal Catalan, Spanyol, ini memiliki waktu tercepat di beberapa lintasan lari trail dari Mont Blanc hingga Everest.
Media sosial juga turut andil mempopulerkan olahraga ini. Seperti yang dikatakan Trisha Steid, pelari lintas alam asal Seattle,
AS. “Lewat aplikasi media sosial seperti Strava, kita lebih mudah untuk berkomunikasi dan melihat apa yang dilakukan orang lain. Ini memicu banyak ide seperti, ‘Oh! Saya tidak pernah berpikir untuk menghubungkan puncak ini dan punggung bukit itu bersama-sama! “kata Trisha. Terlebih, ada aplikasi untuk mengunduh trek yang ada di aplikasi Strava itu. Orang pun dengan mudah mengikuti rute itu.
Hal senada diungkapkan oleh Ralph Näf, pelari lintas alam asal Grindelwald, Swiss, dan ketua lomba lari lintas alam Eiger Ultra. “Pelari lintas alam yang mencari tantangan terpengaruh dengan media sosial milik para atlet pro. Mereka memperoleh trek GPX, dan mengikutinya,” kata Näf.
Kondisi itu tak terjadi di Eropa atau Amerika Serikat saja. Global. Faktor media sosial kuat mendorong tumbuhnya pelari lintas alam mengeksplorasi gunung. “Atlet berperan mempromosikan tren yang menggabungkan lari dan mendaki tanpa tali. Luar biasa ini, sebab memicu orang untuk mencoba, namun itu bisa berbahaya,” timpal Hillary Allen, atlet lari lintas alam dari
Boulder, Colorado.
Steidl secara spesifik menunjuk pada Instagram dan Strava di belakang maraknya pelari tek-tok ini. “Seseorang mengunggah foto. Orang yang melihat kemudian berkomentar, ‘Aku ingin seperti itu.’ Mereka lantas mengunduh file GPS dan berpikir, ‘Jika saya mengikuti trek itu saya akan oke-oke saja.’
Tapi tak selalu begitu. Apa yang aman dilakukan pada Juni ketika salju menutup, bisa jadi berbahaya ketika permukaan berubah menjadi bebatuan lepas di bulan Agustus.”
Di Eropa, khususnya wilayah Mont Blanc, Prancis, beberapa tahun terakhir mulai tercatat beberapa pelari lintas alam mengalami celaka. TrailRunnerMag
mencatat, tidak hanya satu atau dua, tapi enam. Max Fabbro, salah satu pemandu pendakian gunung, menjadi saksi kecelakaan berujung kematian pelari lintas alam yang mencoba batas kemampuan tubuh melintasi gunung yang bersalju dan butuh teknik tersendiri untuk melewatinya.
“Ia berpakaian seperti pelari lintas alam: sepatu Keds, track pole, tanpa crampon atau kapak es. Saya bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Dia menjawab cukup baik,” kata
Fabbro ke pelari yang namanya dirahasiakan itu. Pelari itu baru saja tergelincir sejauh sekitar 275 m dan jatuh ke jurang sedalam 75 m dalam upayanya menggapai titik tertinggi di Eropa Barat, Mont Blanc (4.808 m).
“Dia akhirnya menghembuskan napasnya dan meninggalkan seorang istri serta dua orang anak,” tambah Fabbro.
Makan siang di puncak
Mendaki gunung secara tek-tok memang bukan perkara gampang. Bekal yang dibawa harus seminim
mungkin tapi harus mampu menghadapi iklim gunung yang berubah dengan cepat. Fisik tentu harus lebih dari siap dibandingkan dengan pendaki biasa.
Atas dasar itulah, Teguh Adriana ketika mengajak teman-temannya untuk melakukan serangkaian pendakian tek-tok ke Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro memastikan fisik teman-temannya sudah oke. Salah satunya dengan melakukan latihan bersama di kawasan Sentul, Bogor, sebulan sebelum pendakian tek-tok itu.
“Kawasan Sentul memiliki banyak jalur menanjak yang curam. Ada jalur sepanjang dua kilo saja sudah memberikan beda ketinggian ( elevation gain) sekitar 400 m. Bolak-balik lima kali saja sudah dapat EG 2.000-an,” kata pria yang berprofesi sebagai tenaga pengajar ini.
Teguh sendiri menyukai lari lintas alam sejak 2015. “Ingin mengenang masa-masa ketika aktif main MTB (sepeda gunung). Lebih sedikit risiko cedera tapi sama dalam menikmati alam. Baik pemandangan maupun udara segar. Namun kadang juga lari di jalan raya, biar enggak bosan,” katanya memberi alasan mengapa suka lari lintas alam.
Sejak itu, sudah banyak lomba lintas alam yang diikuti. Begitu juga dengan gunung-gunung yang
didaki secara tek-tok. Dari yang berjarak puluhan kilometer hingga seratusan kilometer. Sebagian besar gunung di Jawa sudah ditapaki. Gunung Gede Pangrango yang dekat dari tempat tinggalnya di Bekasi, Jawa Barat, hingga Gunung Semeru di Jawa Timur Bahkan sudah menjelajah sampai Gunung Rinjani, NTB. “Yang paling berkesan adalah Sentul Hill Trail Run (SHTR) 100K karena menjadi lari lintas alam tiga digit pertama buat saya.”
“Pertimbangannya, bisa jalanjalan sekaligus mengunjungi tempat-tempat atau gunung-gunung baru tentunya dengan tantangan baru,” begitu Teguh membingkai kesukaannya berlari lintas alam sekaligus mendaki gunung.
Dengan pengalaman yang sudah dilakoni dan profesinya sebagai
pengajar ini, tak heran kalau Teguh sering jadi leader atau pacer (pelari yang menjaga kecepatan berlari pelari lain agar bisa finish) bagi teman-temannya yang ingin mendaki tek-tok. Setidaknya ia sudah dua kali menjadi pacer di ajang lomba lari lintas alam, yakni Bromo Tengger Semeru 70K dan Bandung Ultra 100K.
Sedangkan di pendakian tek-tok
G. Sumbing- Sindoro tadi, Teguh menjadi tim logistik bagi temantemannya. Ia rela meredam egonya untuk tidak berlari seperti yang lainnya karena beban logistik yang ditaruh dalam carrier ukuran 35 L membuatnya tak leluasa lincah berlari. Dengan logistik ini, teman-temannya bisa makan siang “mewah” di puncak G. Sindoro dan Sumbing. “Lari ke puncak gunung
hanya buat makan siang saja nih,” kelakar Teguh.
Polisi gunung cek peralatan
Kepraktisan karena tak perlu membawa carrier seperti yang dibawa Teguh menjadi alasan bagi Fitri Utami menyukai pendakian tek-tok. Ia sendiri mulai suka lari lintas alam sejak dua tahun silam. Lalu, setelah beberapa kali naik gunung dengan cara biasa, jadi tertarik mendaki tek-tok karena tidak merepotkan. “Ndak harus bawa carrier yang besarnya bisa setengah dari ukuran badan saya,” seloroh Fitri. Tentu persiapan ekstra juga harus dilakukan, seperti carbo loading dan istirahat yang cukup.
Masa kecil Fitri di Menteng Atas, Jakarta Selatan yang waktu itu menjadi salah satu wilayah gusuran imbas pembangunan gedunggedung bertingkat, membuatnya akrab dengan aktivitas luar ruang. “Kami sering bermain di reruntuhan rumah-rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya.”
Sebagai perempuan, Fitri tentu saja sadar dengan ‘penampilan’, khususnya kulit tubuh. Meski tak menyolok banget, sebab “Saya kurang telaten dalam menjaga penampilan.”
Perawatan kulit baginya hanya menggunakan tabir surya dengan SPF 50 sebelum beraktivitas dan menggunakan pelembab lidah buaya setelahnya. Ia sendiri mengakui tidak takut dengan kulit hitam. “Teman-teman kantor kadang malah heran ketika melihat kulit saya tidak ‘menghitam’ di awal pekan. Pasti di akhir pekan tidak beraktivitas luar ruang,” kata Fitri.
Baik Teguh maupun Fitri sadar betul bahwa kondisi gunung tak mudah ditebak. Karena itu, dalam
tas punggung mereka yang kecil itu tersimpan peralatan untuk kondisi darurat juga. “Jas hujan, thermal blanket, lampu sorot, itu wajib dibawa,” ujar Fitri.
Teguh malah lebih detail lagi. Ia akan mempelajari rutenya dari file GPS orang lain yang sudah ke sana. Kemudian menyiapkan program latihan, minimal sebulan sebelumnya. Menjelang hari-H memantau kondisi cuaca. Selebihnya persiapan perbekalan seperti yang Fitri lakukan. Semua demi keselamatan diri sendiri.
Persoalan perbekalan keselamatan menjadi perhatian Peillex juga. Menanggapi jatuhnya korban jiwa, Peillex telah mengeluarkan seperangkat peraturan yang mewajibkan pendaki yang menuju puncak untuk membawa barang-barang keselamatan yang diperlukan. Polisi gunung, yang ditempatkan di rute standar, secara rutin menghentikan pendaki untuk memeriksa perlengkapan mereka.
Ya, semua itu demi kebaikan pendaki tek-tok juga. Jangan sampai tiket khusus yang memudahkan para pelari lintas alam untuk mendaki ke puncak G. Gede – Pangrango dicabut karena kekurangseriusan pendaki tek-tok yang berakibat kecelakaan.