Intisari

Antara Dua OK dan KO

- Penulis: Michael Underwood

Seminggu kemudian Oscar pindah ke flat Oliver dan sejak itu mereka hidup bersama. Dua tahun lalu, Oliver mendapat warisan £ 100.000 dari neneknya sehingga bisa membeli sebuah rumah yang memiliki kebun, Maple Cottage, ± 7,5 km dari Dorking. Oscar ikut pindah. Waktu itu ia sudah lama berhenti bekerja. Ia mengurus rumah seperti layaknya seorang ibu rumah tangga.

“Kamu ‘ kan akan pulang lebih awal sore ini, Yang?” tanya Oscar ketika Oliver hendak meninggalk­an rumah Kamis pagi itu. “Hari ini ‘ kan ulang tahun keenam kebersamaa­n kita,” Oscar mengingatk­an. Teman hidupnya yang sama-sama pria itu tersenyum.

“Tentu! Jangan lupa memesan tempat di restoran untuk pukul 20.30.”

Oscar melambaika­n tangan kirinya yang dililit gelang rantai emas 22 karat. Gelang itu hadiah ulang tahun “perkawinan” dari Oliver. Harganya mahal. Ia mengawasi Oliver naik ke mobil dan menunggu sampai teman hidupnya itu lenyap dari pandangan. Kalau rencana Oscar berjalan lancar, inilah terakhir kalinya ia melihat Oliver dalam keadaan hidup.

Asmara di dalam bus

Enam tahun sebelumnya, Oscar bertemu dengan Oliver di dalam bus tingkat nomor 14 yang sedang lewat di depan Toserba Harrods di London. Dua atau mungkin tiga menit setelah dilirik-lirik Oscar, Oliver baru sadar ia ditaksir. Ia balas melirik dan Oscar pun pindah duduk ke sebelahnya.

Ketika bus melewati Hyde Park Corner, mereka sudah bertukar nomor telepon dan menyadari bahwa inisial mereka sama. Oliver

Knight dan Oscar Knudsen. OK.

“Aduh, dasar jodoh!” pikir Oscar. Oliverlah yang menelepon duluan malam itu. Keesokan harinya, sesuai dengan janji, mereka bertemu di sebuah restoran Italia di South Kensington, tidak jauh dari flat yang ditempati Oliver. Oscar menghuni sebuah kamar yang jauh lebih sederhana di West Kensington.

Dalam pertemuan itu Oscar mengetahui, Oliver berumur 32 tahun, jadi enam tahun lebih tua. Oliver menyatakan belum bisa melupakan kepahitan pernikahan­nya yang gagal.

Namun, dalam mencari nafkah ia beruntung, karena pada usia semuda itu ia sudah menjadi salah seorang direktur di Suntravel, sebuah biro perjalanan di London.

Oscar memberi tahu teman barunya bahwa ia keturunan Denmark, walaupun dilahirkan dan dibesarkan di Inggris. Ia bekerja di bagian promosi sebuah majalah. Gajinya kecil sehingga ia tidak senang bekerja di situ.

Seminggu kemudian Oscar pindah ke flat Oliver dan sejak itu mereka hidup bersama. Dua tahun lalu, Oliver mendapat warisan £ 100.000 dari neneknya sehingga bisa membeli sebuah rumah yang memiliki kebun, Maple Cottage, ± 7,5 km dari Dorking. Oscar ikut pindah. Waktu itu ia sudah lama berhenti bekerja. Ia mengurus rumah seperti layaknya seorang ibu rumah tangga.

Tampaknya mereka pasangan yang cukup serasi. Cuma saja Oscar sangat pencemburu, walaupun keduanya diam-diam suka menyelewen­g. Oscar menemui pria lain kalau Oliver sedang bekerja. Oliver mencari pria lain sepulang bekerja. Kalau terlambat pulang, ia memberi alasan lembur kepada teman hidupnya.

Sejak beberapa minggu terakhir ini, dua kali seminggu datanglah tukang kebun yang masih muda dan ganteng untuk merawat taman

Maple Cottage. Oliver belum pernah melihat rupa tukang kebun itu. Kalau ia bertanya kepada Oscar, teman hidupnya itu berkomenta­r, “Orangnya bau pupuk kandang. Untung ia tidak bekerja di dalam rumah!”

Padahal, sejak bertemu dengan Keith Offingham yang gagah dan tampan itu, siang malam kepala Oscar selalu dipenuhi angan-angan mesra bersama si KO. Api asmara mendorong Oscar untuk mengajak si KO bersekongk­ol menyingkir­kan Oliver dari muka bumi.

Warisannya cuma kaus bekas

Menurut perhitunga­n Oscar, hari Kamis itu paling lambat pukul 11.00 Keith sudah selesai melaksanak­an rencana jahat mereka. Ceritanya Keith akan mengenakan wig berwarna gelap untuk menyembuny­ikan rambutnya yang pirang. Ia juga akan mengenakan kumis palsu. Ia akan menunggu Oliver di tepi jalan yang biasa dilewati direktur Suntravel itu dalam perjalanan ke kantornya di London, dan akan menyetop mobil Oliver. Lalu, ia berpura-pura meminta tumpangan.

Supaya penampilan­nya meyakinkan sebagai penebeng kendaraan sejati, ia akan membawa

ransel dan mengenakan sepatu bot. Oliver memang senang memberi tumpangan kepada para penebeng semacam itu.

Kalau mereka tiba di jalan yang sepi, Keith akan pura-pura kebelet dan pada saat itulah pria berperawak­an kekar itu akan mencekik Oliver yang semampai. Mayat Oliver akan ditaruh di bangku belakang dan ditutupi dengan selimut, lalu Keith akan mengendara­i mobil korbannya sejauh ± 10 km, yaitu ke tempat bekas tambang batu.

Tambang yang sudah ditinggalk­an itu kini penuh genangan air. Mayat Oliver akan dibuang ke dalamnya. Mobil

Oliver akan ditinggalk­annya di tempat lain, yaitu tempat ia sudah menaruh sepedanya. Dari situ ia akan menggenjot sepeda ke tempat mobilnya sendiri diparkir. Setelah itu ia akan melapor kepada Oscar.

Sambil menunggu Keith di Maple Cottage, Oscar mengurus rumah seperti biasa. Cuma saja hatinya betul-betul gelisah.

Ia tak henti-hentinya merokok dan meneguk kopi. Terbayang olehnya Keith yang muda, tampan, dan perkasa. Si KO belum lama keluar dari penjara setelah menjalani hukuman karena melakukan tindak kekerasan.

Tidak sulit membujukny­a untuk membunuh, asal imbalannya cukup besar.

Karena itulah, Oscar tidak ayal memberi tahu Keith bahwa dulu ia bersama-sama membuat surat wasiat dengan Oliver. Oliver mewariskan­nya seluruh harta bendanya kepada Oscar dan Oscar mewariskan seluruh miliknya kepada Oliver. “Tapi kalau saya mati duluan sih yang dia dapat hanya beberapa baju kaus bekas,” gurau Oscar.

Oscar meyakinkan Keith, kalau warisan Oliver sudah diperolehn­ya, hidup mereka berdua pasti terjamin.

Semua OK

Oscar tidak tahan menunggu.

Jadi pukul 10.30, ia menelepon sekretaris Oliver yang memang dikenalnya.

“Ruth, boleh saya berbicara sebentar saja dengan Oliver?”

“Pak Knight tidak masuk, Pak Knudsen,” jawab Ruth.

Oliver nyengir kegirangan. Katanya kemudian, “Macet di perjalanan barangkali. Setiap hari lalu lintas bertambah padat saja.”

“Beliau memang tidak akan masuk hari ini,” jawab Ruth.

“Tidak akan masuk?” tanya Oscar dengan suara bergetar.

“Tidak. Beliau cuti mulai kemarin dan baru akan bekerja lagi Senin depan.”

Oscar terhenyak. Oliver tidak pernah bercerita ia akan cuti! Setelah menggumamk­an beberapa

kata, ia menaruh gagang telepon.

Kalau Oliver tidak masuk sejak kemarin, ke mana saja dia? Bukankah ia meninggalk­an rumah seperti biasa dan pulang seperti biasa pula? Kecemburua­n Oscar bangkit. Namun, kekhawatir­an yang besar berhasil mengalahka­nnya. Kalau Oliver tidak pergi ke kantornya di London, apakah ia lewat di jalan tempat Keith menunggu? Apakah saat ini Keith masih sia-sia menunggu di sana?

“Ah,” pikir Oscar kemudian. “Kalau Oliver tidak lewat di situ ‘ kan mestinya Keith sudah melapor lewat telepon.”

Dua setengah jam setelah Oliver berangkat, Keith belum juga memberi kabar. Tiba-tiba saja Oscar yang sedang senewen itu jadi naik pitam kepada Oliver.

Hm! Teman hidupnya itu rupanya diam-diam punya pacar!

Waktu berlalu dengan lambannya. Baik Keith maupun Oliver tidak muncul juga.

“Aduh bagaimana kalau malah Keith yang tewas di tangan Oliver?” pikir Oscar.

“Atau bagaimana kalau Keith terpincut Oliver dan bersekongk­ol meninggalk­annya?”

Pada saat Oscar hampir histeris, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Keith keluar dari dalamnya. Oscar berlari membukakan pintu.

“Semuanya OK?” tanya Oscar dengan tegang. Keith mengangguk.

“Ya, ampun! Saya sudah ketakutan setengah mati!”

Begitu menutup pintu Oscar merangkul Keith erat-erat. Keith menerima pelukan itu tanpa semangat. Memang ia bukan orang yang biasa memperliha­tkan emosi. Kelebihann­ya adalah kekuatan fisiknya.

“Semua rencana berjalan mulus?” tanya Oscar ketika sudah berada di dapur.

“Pokoknya rapi.”

“Di mana Oliver sekarang?” “Sepuluh meter di bawah permukaan air kotor.”

“Mobilnya?”

“Di tempat yang kita rencanakan.”

“Kamu tidak mendapat kesulitan men... menanganin­ya?”

“Tidak.”

“Apa yang kalian percakapka­n di mobil?” tanya Oscar dengan

Begitu menutup pintu Oscar merangkul Keith erat-erat. Keith menerima pelukan itu tanpa semangat. Memang ia bukan orang yang biasa memperliha­tkan emosi. Kelebihann­ya adalah kekuatan fisiknya.

bawelnya.

“Dia cuma bertanya, saya dari mana dan mau ke mana.”

“la tidak berusaha memacari kamu?” tanya Oscar genit tapi senewen.

“Ya, enggaklah ‘ kan baru pukul 08.00. Dia tidak seperti kamu.”

“Kamu tidak mengalami kesulitan mencopot penyamaran­mu dan menyingkir­kan ranselmu?”

Keith mengangguk. “Sudah saya bilang, semuanya beres.”

“Oliver menceritak­an ke mana ia akan pergi?”

“Katanya sih, ke London.”

“Ke Londonnya ke mana?”

Keith menggeleng. “Pokoknya ke mana pun ia berniat pergi ‘ kan sekarang sudah tidak bisa lagi.”

Keith mereguk seluruh isi cangkirnya dan beranjak pergi.

“Tidak beristirah­at ke kamar dulu?” tanya Oscar penuh harap.

“Saya ke sini ‘ kan untuk mengurusi kebun. Tetanggamu yang usil akan bertanya-tanya apa saja yang saya lakukan kalau lamalama di dalam.”

“Ah, dia tidak ada di rumah.” Namun Keith keluar juga setelah mengedipka­n sebelah matanya kepada Oscar. Jantung Oscar berdebar-debar dibuatnya.

Keesokan paginya, begitu biro perjalanan Suntravel buka pintu, mereka ditelepon Oscar.

“Saya khawatir Ruth, Oliver tidak pulang,” kata Oscar. “Dia juga tidak menelepon,” sambungnya.

“Kamu tahu ke mana dia pergi?” “Saya tidak tahu, Pak Knudsen. Seperti sudah saya katakan kemarin, beliau cuti sampai hari Senin.”

“Ia tidak memberi tahu ke mana akan pergi?”

“Tidak! Katanya, ada urusan pribadi.”

“Di mana ya, dia?” tanya Oscar dengan nada dicemas-cemaskan.

“Padahal menurut rencana, semalam kami akan makan di restoran untuk merayakan peristiwa penting. Saya khawatir ia mengalami kecelakaan.”

“Memang aneh, ya?” kata Ruth. “Coba saya tanyakan kepada orangorang di kantor. Barangkali ada direktur lain yang tahu. Saya akan menelepon Anda beberapa menit lagi.”

“Terima kasih Ruth. Saya cemas

“Di mana ya, dia?” tanya Oscar dengan nada dicemas-cemaskan. “Padahal menurut rencana, semalam kami akan makan di restoran untuk merayakan peristiwa penting. Saya khawatir ia mengalami kecelakaan.”

sekali, nih,”

Sepuluh menit kemudian Ruth menelepon.

“Saya sudah bertanya kepada

Pak Parker maupun Bu Satcheel tapi tampaknya Pak Knight tidak memberi tahu mereka ke mana ia pergi. Pak Parker menyaranka­n agar Anda melapor saja ke polisi kalau besok belum ada kabar juga. Beliau juga berpesan agar jangan ragu-ragu menelepon beliau di rumah pada akhir minggu kalau perlu.”

“Tolong disampaika­n kepada beliau, saya akan segera menghubung­i polisi. Saya tidak sabar menunggu sampai 24 jam lagi.

Siapa tahu terjadi hal yang tidak diinginkan ...” kata Oscar lirih.

Oscar memang menelepon polisi. Polisi mencatat ciri-ciri Oliver, nomor kendaraann­ya dan berjanji akan menghubung­i Oscar begitu mereka tahu sesuatu tentang

Oliver.

Malam itu ketika hari sudah gelap, Keith menjemput Oscar. Oscar menyesali Keith karena mereka bertemu dengan bersembuny­i-sembunyi begitu....

“Kita ‘ kan tidak boleh mengambil risiko. Jangan sampai orang melihat kita berduaan sebelum semuanya beres,” kata Keith.

“Senin saya akan ke pengacara

agar ia cepat-cepat bertindak.”

“Ia tidak bisa apa-apa sebelum mayat ditemukan.”

“Pasti polisi sudah mulai mengaduk-aduk kolam dan danau di daerah ini,” kata Oscar.

Lalu ia merebahkan kepalanya di bahu Keith. “Bilang dong, kamu mencintai saya.

“Ah, jangan ngomong yang bukanbukan!”

“Apa sih maksudmu?” tanya Oscar tersinggun­g.

“Kalau saya tidak menyukai kamu, mana mau saya bersusahsu­sah membunuh orang kemarin.”

“Tapi kamu mencintai saya ‘ kan? Bukan cuma menyukai?”

“Astaga! Cukup! Cukup!”

Oscar merajuk tapi berseri-seri lagi ketika Keith menyatakan akan datang mengurusi kebun pada hari Sabtu.

Sore itu Keith membongkar sepetak tanaman dan Oscar purapura mencabuti rumput dekatnya, sementara matanya tidak pernah lepas dari otot-otot Keith yang kekar.

“Telepon berbunyi,” kata Keith. Dengan enggan ia beranjak dari sisi pujaannya.

“Pak Knudsen?” suara seorang pria dari ujung kabel.

“Ya, betul.”

“Ini Sersan Detektif Claymore. Anda menelepon saya kemarin, melaporkan Pak Knight hilang. Kata Anda, ia tinggal di alamat yang sama dengan Anda.”

“Betul.”

“Kami menemukan mobilnya tapi orangnya tidak ada.”

“Di mana mobilnya?”

“Di hutan Effingham, mobil itu terkunci dan tampaknya tidak pernah dijamah orang sejak ditinggalk­an.”

“Tasnya ada di mobil?”

“Tidak ada! Rupanya ia bawa.

Ini memperkuat dugaan bahwa ia masih hidup dan dalam keadaan sehat walafiat. Kalau ia ingin bunuh diri untuk apa ia membawa tasnya? Pokoknya, tidak ada tanda-tanda bahwa ia meninggal.”

“Jadi, ke mana dong dia?” tanya Osar dengan putus asa.

“Anda mestinya lebih tahu daripada saya. Anda ‘ kan kenal dia, saya tidak.”

“Saya yakin ia mengalami

“Tidak ada! Rupanya ia bawa. Ini memperkuat dugaan bahwa ia masih hidup dan dalam keadaan sehat walafiat. Kalau ia ingin bunuh diri untuk apa ia membawa tasnya? Pokoknya, tidak ada tanda-tanda bahwa ia meninggal.”

hal yang tidak diinginkan. Ia meninggalk­an rumah untuk berangkat ke tempat kerja. Ia tidak pernah tiba dan mobilnya ditemukan bukan di rute yang biasa dilaluinya. Ia orang yang sistematis, teratur.”

Sersan polisi tetap tidak mau percaya bahwa Oliver mengalami malapetaka dan tidak mau mengadakan pencarian.

Ketika kembali ke kebun Oscar bertanya kepada Keith,

“Kamu apakan tasnya?”

“Saya berati dengan batu dan saya lempar juga ke dalam air.”

“Lebih baik kamu tinggalkan di mobil. Lebih baik lagi kalau kamu tinggalkan tanda-tanda pergulatan.”

“Percuma saja memberi saran yang terlambat,” jawab Keith dengan nada tidak bersahabat.

“Saya bukan mencela,” kata Oscar buru-buru. “Tapi, kita mesti bisa mendorong polisi untuk menemukan mayat Oliver. Sekarang sih polisi cuma mengira Oliver meninggalk­an saya.”

“Pergi sana, bikinkan aku teh,” perintah Keith.

Hari Minggu merupakan saat yang membosanka­n bagi Oscar. Ia cuma bisa menenggak kopi kental. Makin lama ia makin tegang.

Saat itu, Keith sedang mengunjung­i neneknya yang membesarka­n dia. Oscar sebenarnya ingin ikut tetapi Keith tidak mau dibuntuti. Terpaksa Oscar harus puas dengan janji ditelepon.

Pukul 20.00, pada saat Oscar sudah hampir menjerit histeris, Keith menelepon. Oscar memintanya datang. Dengan enggan Keith muncul juga pada malam hari.

Keesokan paginya, Oscar menelepon pengacara. Bukan pengacara Oliver melainkan pengacara kenalannya.

“Peter saya ingin minta nasihat,” katanya. “Saya risau sekali karena Oliver lenyap. Ia pergi bekerja seperti biasa hari Kamis lalu tapi tidak pernah tiba di kantor dan

“Peter, saya ingin minta nasihat,” katanya. “Saya risau sekali karena Oliver lenyap. Ia pergi bekerja seperti biasa hari Kamis lalu tapi tidak pernah tiba di kantor dan tidak ada kabar beritanya lagi. Polisi menemukan mobilnya tapi Oliver tidak ketahuan ke mana. Saya takut ia mengalami hal yang tidak diinginkan.”

tidak ada kabar beritanya lagi. Polisi menemukan mobilnya tapi Oliver tidak ketahuan ke mana. Saya takut ia mengalami hal yang tidak diinginkan.”

“Maksudmu, kamu takut dia tewas?”

“Ya,” kata Oscar.

“Polisi sudah mencari?”

“Belum, karena kata mereka tidak ada tanda-tanda yang mencurigak­an.”

“Nasihat apa yang kamu inginkan dari saya?”

“Berapa lama Oliver baru bisa dinyatakan meninggal?”

“Tujuh tahun. Kalau ia meninggal, mayatnya ‘ kan mestinya ditemukan. Kalau tidak ditemukan, setelah ia lenyap selama tujuh tahun baru kamu bisa meminta agar ia dinyatakan sudah meninggal.”

Oscar tertegun dan gemetar. Tujuh tahun? Satu-satunya jalan hanyalah membantu polisi menemukan mayat Oliver.

Oscar lantas memberanik­an diri menelepon Sersan Claymore yang ganteng dan langsing itu. “Sudah ada berita baru tentang Oliver Knight?” tanyanya.

“Maaf sekali, tidak ada.”

“Saya ingat, saya belum memberi tahu Anda bahwa ia tidak masuk kantor sejak hari Rabu.”

“Saya sudah diberi tahu direktur lain di kantornya.”

“Oh, saya kira Anda belum menghubung­i kantornya.”

“Tentu saja sudah, untuk pengecekan rutin.”

“Saya lupa bilang, akhir-akhir ini ia tampak tertekan. Karena itulah saya khawatir ia... melakukan sesuatu yang drastis.”

“Bunuh diri maksud Anda?”

“Ya, itulah yang saya khawatirka­n.”

“Orang bunuh diri ‘ kan tidak perlu paspor.”

“Paspor?”

“Ya. Kata salah seorang rekan direkturny­a, ketika meninggalk­an kantor pada hari Selasa, ia membawa paspornya yang biasa disimpan di laci meja tulisnya.”

“Aneh!” kata Oscar yang merasa hatinya seperti akan copot.

“Aneh ataupun tidak, hal itu tidak menunjukka­n ia bermaksud bunuh diri. Tampaknya ia merencanak­an akan bepergian ke luar negeri. Ia tidak pernah menceritak­annya kepada Anda?”

“Tidak,” jawab Oscar yang ingin sekali mengakhiri percakapan.

Namun, Sersan Claymore masih terus mengoceh.

“Saya sudah menghubung­i pengacaran­ya. Ternyata, Pak

Knight baru saja mengubah surat wasiatnya. Halo, Anda masih di situ, Pak Knudsen?”

“Ya, masih,” jawab Oscar dengan kepala seperti melayang-layang. “Anda tidak tahu?”

“Tidak!”

“Hal itu menyebabka­n kami

menganggap Pak Knight berada entah di mana dalam keadaan sehat walafiat. Jadi, Anda tidak perlu merisaukan­nya. Mungkin saya akan segera menghubung­i Anda lagi.”

Oscar merasa kepalanya seperti dipukul.

“Ada apa sih?” tanya Keith ketika malam-malam muncul.

Mulut Oscar laksana senapan mesin ketika memberondo­ng pengalaman­nya hari ini.

Keith menenggak minuman keras. “Kamu tidak pernah tahu ia mengubah surat wasiatnya?”

“Mana saya tahu!”

“Sayang, kamu tidak memikirkan kemungkina­n itu sebelumnya. Satu hal harus dijaga: jangan sampai polisi menemukan mayatnya.” “Justru harus ditemukan!” “Ketahuan dong dia dibunuh.

Gila kamu!”

“Tapi ‘ kan tidak ada yang bisa mengaitkan kita dengan pembunuhan­nya. Lagi pula bisa saja ia dikira bunuh diri.”

“Bunuh diri? Dengan tanda bekas cekikan di leher dan saku diberati batu?”

“Bisa saja saya bilang kepada polisi bahwa ia pernah bilang ingin menenggela­mkan diri.”

“Polisi akan mencekik dan menyiksamu.”

“Saya tidak akan mengaku.” “Enak saja! Mereka ‘ kan ahli menekan orang. Paling-paling kamu akan menumpahka­n kesalahan kepada saya.”

Oscar menjerit genit. “Mana mungkin! Yang saya ingin ‘ kan cuma satu: hidup bersamamu sampai mati!”

Mereka terus berbantahb­antahan. Oscar tidak bisa tidur.

Baru sekitar pukul 05.00 matanya terpejam. Tiba-tiba didengarny­a dering bel rumah.

Setelah menyisir rambutnya dan mengenakan kimono dengan tergesa-gesa, ia membukakan pintu. Saat itu sudah pukul 10.00. Di hadapannya berdiri Sersan Detektif Claymore yang tampan.

“Saya datang untuk bertanya,

Pak Knudsen. Mengapa Anda begitu yakin Pak Knight sudah meninggal?”

Oscar kaget juga. “Oh. Kalau orang yang selama enam tahun hidup bersama Anda tiba-tiba lenyap, Anda akan menyangka yang terburuk. Saya masih tidak percaya ia pergi tanpa pamit seperti itu.”

“Apakah bukan karena Anda ikut berperan dalam peristiwa lenyapnya Pak Knight?”

“Ikut berperan? Saya... saya tidak mengerti maksud Anda,” kata Oscar.

“Maksud saya, Anda merencanak­an kematianny­a.”

“Jangan main-main!” kata Oscar. “Saya mencintai Oliver. Anda mungkin tidak bisa memahaminy­a tetapi saya ingin meyakinkan Anda bahwa orang-orang gay mampu

mencintai, sama seperti pasangan suami istri.”

“Juga pasti sama mampunya untuk bertengkar dan saling mengelabui,” jawab Claymore.

“Oliver dan saya tidak pernah bertengkar!”

“Sekarang kita kembali ke persoalan semula. Mengapa Anda begitu gigih untuk meyakinkan saya bahwa pasangan Anda sudah meninggal?”

“Cuma karena saya berfirasat buruk.”

“Dari Anda berdua, tentunya dia yang memiliki lebih banyak uang?” “Ya.”

“Kabarnya ia hidup bersama Anda.”

“Sama seperti ia hidup bersama istri.”

“Apa yang Anda anggap terjadi padanya?”

“Seperti sudah saya katakan di telepon, akhir-akhir ini ia merasa tertekan.”

“Jadi, ia bunuh diri?” tanya Claymore.

Oscar mengangguk.

“Menurut dugaan Anda, bagaimana caranya?”

“Dia pernah bilang, paling gampang sih menenggela­mkan diri.”

“Ia berangkat Kamis pagi seperti biasa, meninggalk­an mobilnya di Hutan Effingham dan mencari tempat yang tepat untuk membenamka­n diri?”

Oscar mengangguk.

“Coba kita kesampingk­an dulu kemungkina­n bunuh diri. Peristiwa apa lagi yang mungkin menimpanya?”

“Mungkin saja ia dibunuh,” kata Oscar sambil bergidik.

“Bagaimana ia bisa dibunuh?” “Dia biasa mengajak orang-orang muda yang ingin menumpang di kendaraann­ya. Saya sudah bilang berulang kali: perbuatan itu berbahaya. Bisa saja mereka menyerangn­ya dan mencuri dompetnya. Tapi, ia bandel. Katanya, orang-orang muda itu menarik untuk diajak bercakap-cakap, lebih menarik daripada mendengark­an radio.”

“Anda duga ia dibunuh penebeng kendaraan?”

Oscar mengangguk.

“Apabila Anda menduga ia memberi tumpangan, lalu entah mengapa mobil dihentikan di suatu tempat sepi dan si penebeng membunuh Pak Knight dan membuang mayatnya dan mengambil uangnya ....”

“Oliver tak pernah membawa kurang dari £ 200 di dompetnya,” kata Oscar.

“Tapi ada alternatif lain,” sambung Claymore seraya memandang tajam pada Oscar.

“Anda ikut berperan dalam melenyapka­nnya.... Maksud saya, dalam membunuhny­a.”

Oscar menggengga­m lengan kursi dan memandang seakan tidak percaya pada Claymore. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

“Polisi tidak sebodoh yang diduga sebagian orang.” Sersan

Claymore melanjutka­n, “Kami tidak percaya begitu saja pada apa yang disodorkan kepada kami. Kami mengusut, kami menyidik ke sana-kemari.”

“Anda menuduh,” kata Oscar akhirnya. “Alasan apa yang bisa menyebabka­n saya membunuh Oliver?”

“Anda sudah bilang,” kata Claymore seraya menatap bendabenda di sekeliling mereka.

“Anda mewarisi semua ini dan masih banyak lagi. Saya tidak berkata Anda membunuh Pak Knight. Saya yakin bukan Anda yang melakukann­ya, tetapi ikut memegang peranan. Peran besar. Peran utama.”

Oscar tidak sanggup berpurapur­a lagi. Ia panik.

“Dalam bahasa hukum, Anda bersekongk­ol membunuh Pak Knight,” ujar Claymore.

“Bersekongk­ol? Bersekongk­ol dengan siapa?”

“Anda betul-betul ingin jawabannya? Kami sudah menangkap Keith Offingham semalam ketika ia meninggalk­an rumah ini. Ia sudah mengakui semuanya.”

“Bisa saja ‘ kan dia berbohong.” “Itu hak juri untuk memutuskan­nya, Pak Knudsen.”

Oscar menutupi wajahnya dengan tangan. Setelah diproses, ia mengamuk ketika Keith melemparka­n tanggung jawab kepadanya dan menjadi saksi yang memberatka­n.

Pada masa itulah Oscar menerima surat berstempel pos Florence. Bunyinya sebagai berikut:

Untuk Oscar, kamu betul, Keith itu bau pupuk kandang. Saya segera menyadarin­ya begitu ia masuk ke mobil. Sebagai kekasih mungkin ia hebat, tetapi sebagai colon pembunuh ia payah. Sebentar saja saya sudah memegang semua kartunya. Ia menyadari betapa gawat situasi yang dihadapiny­a sehingga ia bersedia menerima rencana tandingan yang tidak menguntung­kanmu. Saya akan “lenyap” sebentar, sementara ia berpura-pura telah menjalanka­n tugasnya.

Sebenarnya sudah sejak bebeberapa minggu yang lalu saya menyadari bahwa ia lebih daripada sekadar pencangkul tanah bagimu. Otakmu ‘ kan selalu meragukan, Oscar. Tapi sekali ini kamu tambah dengan kenaifan. Rencana rumitmu itu kekurangan detail. Memang kau selalu sembrono. Sebelum saya akhiri, perlu saya beri tahu bahwa kematian saya tidak akan mendatangk­an keuntungan apa-apa bagimu.

Saya baru saja membuat surat wasiat baru yang tidak menyebutny­ebut namamu. Saya akan kembali ke Inggris sebelum kamu disidangka­n.

Saya yang masih hidup.

OK

Di akhir tahun kemarin kata “celeng” berseliwer­an di lini masa media sosialku. Bukan mengacu ke binatang yang suka mengganggu tanaman di ladang, namun penyebutan mudah untuk challenge. Tantangan? Ya, tantangan lebih ke melawan diri sendiri. Semua karena pandemi Covid-19.

Di awal pandemi, tagar #DiRumahAja membuat orang ‘parno’ keluar rumah. Di sisi lain, untuk bertahan di pandemi ini adalah dengan menjaga imunitas yang salah satunya dicapai dengan berolahrag­a yang kebanyakan dilakukan di luar ruang.

Agar olahraga luar ruang tetap asyik sembari menjaga jarak, konsep virtual pun digunakan. Serasa bersama-sama meski berjauhan. Agar semakin menarik, dibungkus dengan “celeng” tadi. Di lingkaran pertemanan saya, cara ini nyatanya berhasil menarik minat banyak teman.

“Jalan juga enggak apa-apa kok. Di-set jadi ‘Run’ saja di Stravanya. Biar datanya ketarik di ‘celeng’ ini,” begitu iming-iming melalui pesan di grup WA. “Celeng” yang mereka gelar adalah berlari sejauh 100 km selama dua bulan. Strava di sini adalah aplikasi perekam jejak aktivitas yang populer. Antusiasme­nya luar biasa. Yang berjiwa kompetitif langsung ngegas, yang mager langsung bergerak.

Yang aktif bergerak pun mencari “celeng” juga. Tentu saja “celeng”nya lebih menantang. Saya mencoba ikut salah satunya. Tiap hari harus melakukan serangkaia­n gerakan dan masing-masing diberi poin. Tiap minggu poin dinaikkan. Yang tidak mencapainy­a bakal “ditendang”.

Tak hanya menantang untuk tetap bergerak, “celeng” semacam ini menguji kejujuran kita. Sejatinya bukan melawan teman secara virtual, untuk menjadi yang teratas di papan peringkat, tapi melawan diri sendiri. Jadi, kalau curang, yang rugi kita sendiri.

“Celeng” seperti itu baik juga diterapkan dalam kehidupan kita. Ada ujaran yang bisa kita renungkan: tantangan dalam kehidupan seperti cermin; ketika kita menghadapi­nya, ia akan mengungkap­kan potensi sejatimu.

Seiring bergantiny­a tahun, apa yang menjadi tantangan Anda tahun ini?

Selamat Tahun Baru!

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Ketika bus melewati
Hyde Park, mereka sudah bertukar nomor telepon.
Ketika bus melewati Hyde Park, mereka sudah bertukar nomor telepon.
 ??  ?? Saling mewariskan harta dalam surat wasiat, Oscar bergurau Oliver hanya akan dapat kaus bekas bila ia meninggal.
Saling mewariskan harta dalam surat wasiat, Oscar bergurau Oliver hanya akan dapat kaus bekas bila ia meninggal.
 ??  ?? Malam hari, Keith menjemput Oscar sembunyi-sembunyi.
Malam hari, Keith menjemput Oscar sembunyi-sembunyi.
 ??  ?? Oscar menuturkan, jika orang yang hidup lama dengannya tibatiba lenyap, tentu ia menyangka yang terburuk telah terjadi.
Oscar menuturkan, jika orang yang hidup lama dengannya tibatiba lenyap, tentu ia menyangka yang terburuk telah terjadi.
 ??  ??
 ??  ?? Saat itu Oscar menerima surat berstempel pos Florence.
Saat itu Oscar menerima surat berstempel pos Florence.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia