Yang Tua Berhoaks Yang Muda Berjoget
Memasuki 2021 keriuhan media sosial makin marak karena munculnya beragam platform baru atau pembaruan fitur-fitur menarik dari platformplatform lama. Perkembangan juga didorong para imigran digital yang semakin rajin bermedsos-ria lantaran pandemi.
Video itu berdurasi singkat, hanya sekitar 45 detik saja. Isinya adegan bencana banjir dahsyat yang menghancurkan sebuah kawasan, di mana bangunan serta mobil-mobil tersapu aliran air yang besar. Kerusakan parah terjadi sekejap mata. Mirip sapuan air bah tsunami.
Siapa pun yang menerima video tersebut tentu akan kaget sekaligus prihatin. Pasalnya video itu dinaraikan “banjir di Cicurug Sukabumi”. Saat video itu beredar, memang sedang hangat-hangatnya peristiwa banjir bandang di Sukabumi, 21 September 2020. Empat desa diterjang air bah tibatiba, sejumlah bangunan rusak dan dua orang hilang terbawa arus.
Dari video-video yang beredar di media sosial kala itu, peristiwa banjir Cicurug memang terlihat cukup dahsyat. Sayangnya, salah satu video yang justru paling mengundang perhatian banyak orang adalah kabar bohong alias hoaks. Video itu aslinya peristiwa tsunami di Kota Natori, Jepang, pada 2011. Entah bagaimana awalnya, video itu ikut-ikutan meramaikan heboh banjir Cicurug.
Video tsunami yang dikelirukan sebagai banjir di Sukabumi kemudian tercatat sebagai salah satu hoaks yang disorot media asing, AFP, sepanjang tahun 2020. Di masyarakat, video ini cukup banyak dibagikan hingga akhirnya viral. Tak terhitung, berapa banyak yang tertipu.
Agen penyebar hoaks
Bagi orang-orang yang sudah “melek digital” atau digital native, fenomena munculnya hoaks di tengah terjadinya peristiwa besar, tentu sudah tidak mengejutkan lagi. Ibarat lengkuas di tengah kumpulan daging rendang berbalut bumbu rempah, kabar bohong ini sering terselip di sela derasnya informasi ke masyarakat. Menariknya, justru kabar-kabar semacam inilah yang “disukai” dan lebih cepat memasyarakat.
Contoh hoaks paling hangat
Hasil penelitian yang melibatkan 3.500 orang ini ternyata cukup mengejutkan. Sesuai kategori usia, golongan yang dianggap paling sering menyebar hoaks adalah di atas usia 65 tahun dengan besaran 11 persen. Bandingkan saja dengan golongan usia 18-29 tahun atau golongan usia termuda yang hanya 3 persen.
adalah peristiwa polisi bentrok dengan anggota FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Desember 2020. Dalam kejadian yang menewaskan enam orang itu, muncul di media sosial foto wajah seorang pria yang dinarasikan sebagai salah satu korban meninggal. Tak butuh waktu lama bagi foto wajah pria tersenyum itu untuk viral. Bisa jadi banyak orang bersimpati kepada nasibnya.
Belakangan terdengar kabar foto itu hoaks. Bahkan yang mengklarifikasi si empunya wajah itu sendiri, pria asal Kutai Kartanegara, Kalimatan Timur.
Fotonya yang akan tidur dan sedang tersenyum, katanya disalahgunakan orang lain, seakan-akan foto jenazah korban penembakan. Dia lapor ke polisi karena merasa jadi korban berita yang tidak benar.
Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur. Disinformasi ini sudah menyebar ke segala penjuru dan diyakini banyak orang. Upaya korban, dibantu polisi, untuk meluruskan, arusnya tidak sebesar saat kabar itu beredar secara bombastis. “Kerusakan” sudah telanjur terjadi tanpa bisa dipulihkan seratus persen seperti sediakala. Begitulah hoaks.
Keprihatinan terhadap maraknya hoaks di media sosial bukan saja soal isi kontennya. Melainkan juga agen-agen penyebarnya yang ternyata didominasi generasi yang senior alias para manula. Bahkan semakin berumur, kerentanan terhadap hoaks semakin tinggi. Di tangan mereka secepat kabar didapatkan, secepat itu pula kabar diteruskan ke pihak lain.
Persoalan kerentanan ini pernah jadi kajian para akademisi New
York University dan Princeton University. Seperti ditulis
Science Advance, para peneliti mencoba menganalisis perilaku di masyarakat Amerika Serikat seputar peristiwa Pemilihan Presiden 2016. Kala itu, rivalitas Donald Trump dan Hillary Clinton dalam Pilpres menjadi sorotan dunia karena isu-isunya begitu tajam membelah bangsa Amerika.
Hasil penelitian yang melibatkan 3.500 orang ini ternyata cukup mengejutkan. Sesuai kategori usia, golongan yang dianggap paling sering menyebar hoaks adalah di atas usia 65 tahun dengan besaran 11 persen. Bandingkan saja dengan golongan usia 18-29 tahun atau golongan usia termuda yang hanya 3 persen.
Kesimpulan lainnya, pengguna Facebook dari golongan manula itu ternyata menyebar hoaks dua kali lebih banyak dibandingkan usia di bawahnya yakni 45-65 tahun. Bahkan perbandingannya tujuh kali lipat ketimbang pengguna usia 18-29 tahun. Tentu saja kesimpulan ini memprihatinkan, mengingat dampak sebuah hoaks bisa sangat merusak.
Sulit memverifikasi
Di Indonesia kerentanan kaum manula dengan hoaks kondisinya setali tiga uang. Dr. Firman Kurniawan, pengajar di Universitas Indonesia yang juga pemerhati komunikasi digital membenarkan peran besar para warga senior itu dalam penyebaran kabar bohong ke media sosial. Mereka menyebarkan kabar bohong, secepat menerimanya.
Dari interaksi Firman dengan mahasiswanya, ia mendengar persoalan itu ada tatkala lintas generasi itu berkumpul dalam satu grup WhatsApp ( WA), terutama grup WA keluarga. Situasi itu makin terasa ketika terjadi kontestasi politik menjelang Pemilu Presiden 2019 antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Kabar-kabar politik yang di- posting di grup oleh orang-orang tua ternyata banyak
terselip kabar bohong bahkan cenderung hasutan.
“Nah, ketika anak-anak muda ini mencoba mengingatkan, mereka dihardik, dimarahi. Akhirnya mereka memilih diam saja,” tutur Firman yang kini mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP UI.
Ada banyak dugaan tentang
penyebab akrabnya kelompok usia tua ini dengan kabar bohong. Firman sendiri berpendapat, kelompok usia baby boomers ( lahir 1946-1964) pernah punya kebiasaan mengonsumsi informasi secara analog. Bertahun-tahun mereka akrab dengan media massa seperti koran, majalah, radio, atau televisi, dengan berita-berita yang disajikan sudah melalui proses pengecekan sebelum dirilis.
Saat ini situasinya informasi masuk ke dalam perangkat digital mereka secara langsung. Peralihan ini terjadi relatif cepat tanpa ada “persiapan” apa pun sehingga banyak yang tidak siap. “Padahal mereka masih punya infrastruktur mental bahwa informasi yang diterima sudah melalui quality control seperti tadi,” tutur Firman.
Persoalan tambah pelik, karena kabar-kabar hoaks pada umumnya sengaja disusun sedemikian rupa untuk menggerakkan emosi orang yang membacanya. Isunya sengaja dibuat agar terkesan “genting”
sehingga si penerima sangat sayang kalau dilewatkan bahkan ia akhirnya berpikir mungkin bisa bermanfaat buat orang banyak.
“Hoaks ini kan strukturnya sengaja dibuat produsennya dengan memperhatikan upaya untuk menggerakkan emosi penerima. Sehingga tanpa proses rasionalisasi cepat disebarkan. Kecanggihan dari produsen hoaks ini menunggangi emosi dari penerimanya,” tutur Firman.
Masalah lain, kebanyakan orang kesulitan memverifikasi kebenaran kabar itu. Wajar jika generasi tua ini mengalaminya lantaran mereka belum lama memanfaatkan literasi digital. Sehingga tanpa proses rasionalisasi cepat, kabar sudah tersebar ke handai taulan. Kabar itu terus bereplikasi dan tersebar dalam sekejap.
Salah satu peneliti dalam kaitan dengan Pilpres AS, Andrew Guewss, menyodorkan beberapa teori kemungkinan cepatnya golongan tua menyebar hoaks. Teori pertama, orang tua relatif lebih terlambat menggunakan internet dan media sosial dibanding generasigenerasi di bawahnya. Faktor ini yang menyebabkan literasi digital mereka rendah.
Teori berikutnya, ada masalah biologis yang membuat kemampuan kognitif mereka menurun akibat pertambahan usia. Belum lagi persoalan gaptek alias
“gagap teknologi”. Karena beraneka keterbatasan fisik, mereka rentan dikerjain hoaks.
Sosialisasi 3M
Membanjirnya hoaks di media sosial mungkin hanya salah satu dampak dari kedatangan para digital immigrant (istilah untuk orang yang mengenal digital belakangan) ke internet dan media sosial. Namun, jumlah mereka memang terus bertambah dan tak bisa disepelekan. Terutama setelah akses internet semakin memasyarakat, terlebih setelah era pandemi.
Meski bukan pengguna mayoritas, kelompok usia senior ini agaknya sudah menemukan platform media sosial yang dianggap nyaman, yakni Facebook dan WhatsApp. Pengguna FB sendiri saat ini masih didominasi kelompok usia 25-34 tahun yaitu mencapai 34,9 persen (data akhir 2019). Bisa jadi lantaran sudah merasa cocok, golongan senior ini juga enggan masuk ke media sosial yang dianggap lebih muda seperti Instagram atau Tiktok.
Firman sendiri melihat kecenderungan memilih platform tertentu ini mirip dengan pembentukan ekosistem di alam. Meski kondisi di alam relatif sama, namun ternyata segala makhluk hidup yang tinggal atasnya bisa sangat berbeda. Cocoknya generasi tua dengan FB, menurutnya karena terbuai nostalgia. Salah satunya, FB yang sering mengingatkan
kenangan beberapa tahun silam dari penggunanya lewat posting- an yang dimunculkan ulang.
Faktor yang tidak boleh dilupakan masalah simbolisasi. Karena FB identik dengan generasi tua, maka perlahan-lahan generasi mudanya menyingkir dan memilih platform lain yang lebih cocok dan kekinian. “Tapi harus diketahui, anak-anak muda itu sebenarnya cuma nonaktif saja, tidak mematikan akun Facebooknya,” tutur Firman mengenai keunggulan FB dalam menjaga loyalitas penggunanya.
Di sisi lain simbolisasi ini pula yang membuat generasi tua merasa jengah kalau mencoba platform baru, seperti Instagram atau Tiktok. Mereka takut terasing di aplikasi yang dibanjiri anak-anak muda.
Padahal Tiktok, kata Firman, bukan melulu joget-jogetan saja seperti yang biasa kita lihat. Di dalamnya beragam konten dari mulai yang main-main, serius, bahkan bisnis, dll. Berbagai institusi pemerintah sudah memanfaatkan untuk mengkampanyekan programnya. Di sejumlah negara, bahkan Tiktok sukses dipakai untuk mensosialisasikan gerakan 3M di masa pandemi.
Ibarat sebuah buku, medsos memang jangan serta merta dihakimi dari penampilan luarnya saja.