SIASAT BERTAHAN DI TAHUN KERBAU LOGAM 2021
EDISI KHUSUS SHIO
Saujana Di Timur Jawa
“Ini warung (nasi) terakhir sebelum masuk hutan,” kata Pak Yono seraya mematikan mesin jip Chevrolet Willys dari kursi kemudinya. Lalu, kami, saya, Umi, dan Pak Yono, yang berangkat dari Bandara Banyuwangi, Jawa Timur, turun dari jip. Langit biru tanpa awan pada tengah hari itu membawa hawa panas yang langsung menerpa begitu kami keluar dari jip.
Si empunya warung dengan dialek Banyuwangi menyapa Pak Yono yang memang sudah sering membawa tamu untuk makan di warung itu sebelum masuk kawasan Taman Nasional (TN) Meru
Betiri. Taman nasional seluas 580 kilometer persegi tersebut berada di dua kabupaten, Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Kami menyambangi TN Meru Betiri di Kabupaten Banyuwangi.
Di warung, tanpa dilayani, kami pun mengambil nasi dan lauk-pauk yang ada di rak kaca. Aneka laukpauk khas Banyuwangi tersedia serta sayuran berkuah dan lalapan. Semuanya tampak segar tanda baru saja dimasak. Ikannya segar karena warung yang berada di Kecamatan Pesanggaran itu letaknya tidak jauh dari pantai selatan. Ketika sedang menyantap, mata saya tertuju pada tulisan di dinding yang menyatakan nama wifi dan kodenya. Rupanya internet sudah masuk desa.
Desa Pancasila di tengah perjalanan
Selesai makan kami beristirahat sejenak sebelum melanjutkan ke tujuan Pantai Sukamade di TN Meru Betiri. Masih di Kecamatan Pesanggaran, jip kami menepi di jalan raya yang sepi.
Di tepi jalan itu terdapat pemakaman yang unik. Ditemani Umi dan Pak Yono, saya melongok dari pembatas pemakaman dengan
jalan. Kuburan dengan tanda salib berdampingan dengan kuburan yang batu nisannya bertuliskan aksara Arab. “Di sini sudah biasa dan tidak ada yang keberatan,” Pak Yono menjelaskan. Itulah satusatunya pemakaman campur di Indonesia yang pernah saya lihat.
Mata saya pun menyapu pemandangan sekeliling. Terhampar kebun buah naga dan sayur-mayur yang subur. Seakanakan itulah keberkahan Tuhan Yang Maha Esa atas kerukunan di desa tersebut.
Kecamatan Pesanggaran adalah kecamatan penyangga antara wilayah pemukiman dan taman nasional. “Di depan ini jalanan berbatu,“Pak Yono yang sudah hafal rute perjalanan menjelaskan. Kami pun mulai terguncang sewaktu ban jip yang kami tumpangi melindas jalan berbatu
tanpa aspal.
Selain pemakaman campur, ada lagi yang unik dari Kecamatan Pesanggaran yaitu Desa Sarongan. Di desa kecil tersebut terdapat empat macam rumah ibadah: masjid, gereja, vihara, dan pura. Saya tidak sempat mampir di
Desa Sarongan mengingat waktu yang sempit. Menurut Pak Yono, warga desa sudah bertahuntahun hidup tanpa konflik. Desa Sarongan disebut-sebut sebagai desa Pancasila karena warga telah mampu mengamalkan nilai Pancasila.
Teluk Hijau yang menakjubkan
Ban jip terus melaju. Sesampai di gerbang masuk taman nasional, kami pun turun, sementara itu Pak Yono mengurus surat-surat.
Tujuan kami yang pertama adalah Teluk Hijau. Teluk Hijau dapat dicapai dengan berjalan kaki melewati jalan hutan yang tidak rata dan turun naik atau melalui laut dengan perahu dari Pantai Rajagwesi. Saya memilih jalur laut karena pertimbangan waktu.
Pantai Rajagwesi berjarak sekitar 30 menit berkendara dari pintu gerbang taman nasional. Di situ terdapat perkampungan
nelayan. Mereka juga menyewakan perahu untuk pengunjung yang menyeberang ke Teluk Hijau.
Saya dan Umi menyeberang ke Teluk Hijau sementara Pak Yono menunggu di Pantai Rajagwesi yang juga menyediakan tempat mandi dan warung.
Perjalanan dengan perahu bermotor sungguh mengasyikkan. Perahu kami menampar ombak yang, bagi jurumudi, kecil. Terjangan ombak membuat baju kami basah meskipun memakai life jacket. Perjalanan laut berlangsung kurang dari 30 menit. Kami mengitari tebing cadas yang tinggi sampai kami menyaksikan dari kejauhan sebuah teluk berwarna hijau toska dengan pasirnya yang putih.
“Oh! Luar biasa,” mulut saya menganga. Mendekati teluk jurumudi perahu melambatkan kecepatan sampai perahu menepi dan tersungkur di pasir putih.
Pantai berpasir putih itu menjorok ke daratan. Airnya yang berwarna toska membuatnya mendapat julukan Teluk Hijau. Tidak ada penjual makanan, atau saung-saung; yang ada hanyalah tembok tebing cadas dengan semak belukar yang menjadi pembatas antara pantai dan daratan. Ada jalan tembus di balik tebing yang menjadi akses bagi mereka yang berjalan kaki atau bermotor dari Pantai Rajagwesi.
Saya dan Umi menuju ke batu
karang hitam yang dipayungi pepohonan untuk menyaksikan keindahan Teluk Hijau. Saya sedikit menyesal karena tidak membawa pakaian renang. Melihat air laut yang jernih dan pasir putih benarbenar menggoyahkan diri saya. Apalagi langit sangat cerah tanpa awan.
Kami menyingkir ketika melihat sekawanan kera mulai berdatangan. Rupanya ada pengunjung yang memberi mereka makan. Ditambah, ada sisa-sisa pembungkus makanan dibuang begitu saja di bebatuan. Sayang sekali masih banyak pengunjung yang tidak sadar diri.
Di pantai, pemandangan tidak kalah menarik, debur ombak dan buihnya yang berkejaran tidak pernah berhenti membuat perasaan menjadi tenang. Gradasi warna air laut dari hijau muda hingga hijau tua menjadi lebih jelas. Ingin rasanya berlama- lama di Teluk Hijau, tapi kami masih punya tujuan akhir yang harus ditempuh. Setelah satu jam lebih kami pun kembali dengan perahu ke Pantai Rajegwesi.
Off-road di hutan
Perjalanan off-road menuju Pantai Sukamade menyenangkan sekaligus menantang. Jalannya beralas tanah dan bebatuan hanya cukup untuk satu mobil. Serasah daun dan ranting menutupi sebagian jalan. Untungnya bukan musim hujan jadi jalan tidak licin.
Kami berguncang di jalan berbatu yang tidak rata. Dengan kondisi jalan seperti itu masih ada juga yang mengendarai sepeda motor bebek. “Sudah biasa, dan memang tidak ada pilihan,” ujar Pak Yono menanggapi keheranan saya. Di tengah-tengah TN Meru Betiri memang ada perkebunan swasta dengan pemukiman kecil.
Di kiri-kanan tumbuh pohonpohon menjulang tinggi, tanaman perdu dan rindang. Kami seperti melewati lorong pepohonan karena sinar matahari terhalang kanopi pohon. Kadang jalan menanjak, kadang membelok cukup tajam. Pak Yono terlihat sudah mengenal betul medan yang dilalui.
Beberapa kali kami berhenti untuk mengamati pohon yang baru pertama saya lihat, seperti pohon kolang-kaling. Suasana sunyi, kami hanya mendengar suarasuara hewan, burung dan serangga bersatu padu.
Perjalanan menjadi lama karena kondisi jalan yang memang dibiarkan seperti itu. Sesekali kami berpapasan dengan pencari kayu bakar. Setelah melewati hutan, kami menyeberangi anak sungai yang dangkal. “Waktu musim hujan, air sungai tinggi dan sulit dilalui,” kenang Pak Yono yang pernah melewati sungai setinggi pintu jip.
Setiba di seberang sungai, jip kembali melaju kali ini melewati perkebunan. Setelah lebih dari dua jam berjalan di bawah kanopi
pepohonan, saya kembali melihat langit. Sesekali kami melihat kawanan kera ekor panjang yang berlompatan di pohon dan juga burung merak.
“Sekitar sejam lagi kita akan tiba di Pantai Sukamade,” Pak Yono memperkirakan, sewaktu mobil jip melalui pemukiman pekerja perkebunan. Tidak disangka bahwa di tengah hutan ada pemukiman yang dilengkapi dengan sekolah, puskesmas, dan tempat ibadah.
Pak Yono menyapa kenalannya di perkebunan.
Jip kembali bergerak melalui perkebunan tanaman keras, karet, kopi, yang kadang ada gubuk kecilnya. Jalanan sudah tidak berbatu lagi. Kami berpapasan dengan truk yang mengangkut hasil perkebunan, serta rumah-rumah pekerja perkebunan.
Pantai Sukamade rumah para penyu
Menjelang senja kami tiba di penginapan yang satu kompleks dengan tempat penangkaran penyu. Penginapan di Sukamade ada beberapa kamar. Tempat ini sangat cocok untuk menyepi karena tidak terjangkau jaringan telepon. Jaringan listrik pun belum masuk dan masih digarap. Terdengar suara-suara yang tidak biasa, yang
berasal dari hewan hutan, burung, dan serangga. Udara tidak dingin karena berada dekat pantai.
Setelah kurang lebih lima jam menghabiskan waktu di jip, akhirnya saya bisa merebahkan diri. “Sesudah makan malam, jam 9 ada penjelasan tentang penyu sebelum ke pantai melihat penyu bertelur,” ujar Umi yang menemani saya.
Ranger memberi penjelasan sebelum mengamati penyu bertelur. Kami dilarang menyalakan senter setiba di pantai karena penyu sensitif sinar. Ketika akan menyaksikan proses bertelur harus dari belakang badannya dengan sedikit sinar.
Ditemani ranger, saya, Umi dan dua wisatawan Prancis berjalan menuju pantai. Di bawah sinar rembulan dan senter kami menapaki jalan tanah yang ditutupi serasah, jaraknya kurang lebih 700 meter dari tempat kami menginap. Di pantai kami diminta untuk menunggu sampai ranger yang berkomunikasi dengan ranger lain mengabarkan tempat penyu bertelur.
Penyu hijau ( Chelonia mydas), penyu lekang ( Lepidochelys olivacea), penyu sisik ( Eretmochelys imbricata), dan penyu belimbing ( Dermochelys coriacea) pernah
mendarat di Pantai Sukamade.
Para ranger akan mengamankan telur-telur penyu di pantai untuk ditangkar. Sebab, hewan liar siap memangsa telur-telur itu.
Telur yang dikumpulkan itu lalu ditetaskan di penangkaran. Tukik yang ditetaskan akan dilepaskan kembali ke laut.
Kami menunggu di pantai. Meskipun dibalut jaket, tubuh terasa dingin karena embusan angin laut. Karena lelah saya pun berbaring di atas pasir yang hangat. Bintang-bintang di langit tampak berkelap kelip, sudah lama saya tidak melihat langit seindah itu.
“Kak, bangun!” tiba-tiba saya mendengar sayup-sayup suara
Umi. Saya tertidur beberapa saat. Rupanya titik tempat penyu bertelur sudah ditemukan. Saya pun bangkit agak terhuyunghuyung dan mengikuti langkah Ranger.
Sudah pukul 23.00. Kami berjalan di atas pasir kurang lebih setengah jam. Sudah ada dua ranger yang menunggu penyu sedang bertelur. Hanya satu senter dinyalakan itu pun di bagian belakang untuk melihat telur dikeluarkan. Ranger yang lain memunguti telur yang jatuh ke lubang untuk ditetaskan di penangkaran.
Sungguh pengalaman luar biasa menyaksikan langsung penyu bertelur. Ada lubang pasir yang sudah ia gali sebelumnya. Secara insting penyu akan bertelur, yang jumlahnya antara 100-140. Setelah itu ia akan menutupi kembali lubang dengan pasir. Rangkaian prosesi bertelur itu sekitar 3 jam.
Setelah tidak ada lagi telur yang dikeluarkan, saya dan Umi pun bersiap kembali ke penginapan, sementara wisatawan Prancis menunggu sampai proses penguburan lubang selesai.
Keesokan paginya, kami meninjau penangkaran penyu untuk mengambil tukik yang akan dilepaskan di pantai. Di tempat penangkaran ada lahan pasir tempat telur menetas. Tukik-tukik yang ditetaskan dimasukkan ke dalam ember. Mereka kemudian dilepaskan di pantai.
Ada beberapa jejak penyu di Pantai Sukamade pada pagi hari. Jejaknya mengarah ke pantai.
“Tukik dikeluarkan satu per satu. Jika sudah dilepas jangan dipegang lagi,” ranger menerangkan. Kami bergantian mengeluarkan tukik dari ember dan meletakkannya di pasir. Seketika tukik pun berjalan menuju laut tanpa ragu. Ketika ombak menyapu, si tukik sudah hilang dari pandangan. Ada perasaan sedih. “Ketika akan bertelur, ia akan kembali lagi,” ranger menambahkan.
Lengkap sudah perjalanan saya ke Sukamade dengan segala goresan warna pengalaman yang disaksikan. Yang tak terlupakan, tentu saja menyaksikan penyu bertelur.