Diet Gizi Seimbang, Bakteri Usus, Penyakit Autoimun: Apa Hubungannya?
Diet Gizi Seimbang, Bakteri Usus, Penyakit Autoimun: Apa Hubungannya?
Kuman di usus kita turut menentukan kuat-tidaknya daya tahan tubuh. Namun tidak kecil juga perannya dalam menimbulkan penyakit autoimun. Diet gizi seimbang adalah salah satu cara untuk mengendalikan kuman-kuman ini, supaya bukan tubuh kita yang diatur oleh mereka. Penulis: dr. Adelina & dr. Wiji Lestari, M.Gizi, SpGK
Penyakit autoimun adalah kondisi yang timbul saat tubuh salah mengenali komponen tubuh sendiri sebagai zat asing, menyebabkan sistem imun aktif dan memproduksi antibodi sebagai upaya untuk mengeliminasi komponen asing tersebut.
Banyak penyakit sudah dikenal yang didasari oleh kondisi autoimun, misalnya lupus atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE), psoriasis, radang sendi rheumatoid ( rheumatoid arthritis), multiple sclerosis (MS), dan lainlain.
Gejala yang timbul akibat penyakit autoimun ini bergantung pada organ yang terdampak.
Contoh, pada orang dengan psoriasis, muncul gejala pada kulit karena antibodi menyerang selsel kulit. Sedangkan gejala akibat lupus bisa sangat beragam karena antibodi dapat menyerang sel ginjal, sel kulit, persendian, bahkan sel jantung.
Penyakit autoimun biasanya bersifat kronik atau menetap lama, yang sering kali disertai dengan kekambuhan. Acap kali penyakit autoimun menyebabkan keterbatasan penderitanya untuk beraktivitas, menurunkan kualitas hidup, bahkan kematian.
Memahami kerajaan bakteri di usus
Tubuh manusia selalu terpapar
kuman dari luar yang dapat menginfeksi dan membuat tubuh menjadi sakit. Tidaklah asing di masa pandemi COVID-19 ini, kita mendengar jargon diet seimbang demi daya tahan tubuh yang kuat untuk melawan virus dan kuman lainnya. Namun, sadarkah kita, kalau di dalam usus manusia hidup berjuta bakteri yang ikut mempengaruhi daya tahan tubuh?
Bakteri-bakteri ini bisa memperkuat sistem imun tubuh kita. Tetapi sayangnya di sisi lain, bakteri juga dapat menjadi musuh dalam selimut yang memporakporandakan benteng pertahanan tubuh.
Gut microbiota, atau mikrobiota usus, adalah bakteri-bakteri yang hidup bersimbiosis di dalam usus manusia. Bayangkan usus kita seperti Tembok China yang tersohor itu. Usus, selain untuk mencerna semua makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh, sebenarnya juga merupakan benteng pertahanan tubuh dari semua benda asing yang masuk.
Mikrobiota usus yang “baik” bak prajurit yang menjaga benteng, menghalau musuh yang menyerang. Sedangkan mikrobiota usus yang “tidak baik” bak prajurit musuh yang menyusup, kemudian memporakporandakan pertahanan tubuh.
Disbiosis merupakan istilah untuk menggambarkan ketidakseimbangan komposisi serta fungsi mikrobiota usus. Pada kondisi ini, kuman yang membawa dampak buruk lebih banyak atau lebih kuat dari kuman yang baik.
Autoimun dan bakteri usus
Berbagai faktor lingkungan sudah diketahui sebagai pencetus penyakit autoimun. Contoh, saja merkuri, pestisida, silika, rokok, sampai trichloroethene, pelarut kimiawi yang banyak dipakai dalam industri.
Lewat bukti ilmiah dari studistudi terkini, ternyata bakteri usus ditemukan turut berperan dalam terjadinya penyakit autoimun.
Dari jutaan mikroorganisme yang normal ada di usus manusia, ada 500 jenis bakteri yang berbeda, dan berasal dari dua keluarga besar Bacteroidetes dan Firmicutes.
Lupus adalah salah satu penyakit autoimun yang umum ditemukan,
Mikrobiota usus yang “baik” bak prajurit yang menjaga benteng, menghalau musuh yang menyerang. Sedangkan mikrobiota usus yang “tidak baik” bak prajurit musuh yang menyusup, kemudian memporakporandakan pertahanan tubuh.
dan hingga saat ini bagaimana mekanisme terjadinya belum diketahui sepenuhnya. Namun diketahui bahwa ada faktor genetik, hormonal, dan lingkungan yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakit.
Studi terbaru menunjukkan adanya perubahan komposisi dan juga fungsi (disbiosis) kuman usus berhubungan dengan kekambuhan lupus, jumlah bakteri yang baik menurun, tapi jumlah bakteri yang buruk meningkat. Kondisi ini memicu proses peradangan di usus.
Saat terjadi peradangan, sel-sel usus yang dalam kondisi sehat berjejer rapat tanpa jarak, menjadi renggang dan berjauhan. Kondisi ini digambarkan sebagai kebocoran usus atau leaky gut. Sel-sel usus yang merenggang memungkinkan kuman buruk beserta racunnya untuk masuk lebih jauh ke dalam tubuh, lewat aliran darah, menyebabkan reaksi radang yang lebih hebat lagi. Salah satu bentuk reaksi radang ini adalah pembentukan autoantibodi yang menjadi dasar penyakit autoimun.
Pengaruh diet terhadap bakteri usus dan penyakit autoimun
Makanan yang kita makan juga digunakan oleh mikrobiota usus. Jadi apa yang kita makan sangat mempengaruhi jenis kuman yang hidup di usus. Semakin beragam jenis bakteri usus yang ada semakin seimbang kondisi usus, dan perkembangan kuman yang buruk dapat ditekan oleh kuman yang lain.
Akan tetapi jika kuman yang ada tidak beragam, maka salah satu jenis kuman berpotensi untuk tumbuh melebihi jumlah kuman yang lain, dan dapat menjadi sumber penyakit.
Dalam 70 tahun terakhir, komposisi kuman usus manusia sudah sangat berubah akibat perubahan pola makan, terutama akibat tingginya konsumsi makanan olahan yang umumnya rendah nutrisi. Makanan manusia modern cenderung membatasi keberagaman kuman usus, karena umumnya tinggi lemak jenuh dan juga rendah serat.
Sayur dan buah adalah sumber serat utama dalam makanan manusia, tapi konsumsi serat harian rata-rata orang Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, sebanyak 95,5% penduduk Indonesia berusia 5 tahun ke atas tidak cukup mengkonsumsi sayur dan buah seperti yang direkomendasikan, yaitu 5 porsi per hari.
Sementar itu, konsumsi lemak jenuh orang Indonesia ratarata adalah 21%, dua kali dari jumlah yang direkomendasikan. Dibandingkan 40 negara di dunia, Indonesia menempati peringkat
pertama jumlah konsumsi lemak jenuh terbanyak.
Diet yang baik dapat menjaga keseimbangan mikrobiota usus, dan membantu mengendalikan peyakit autoimun. Pemberian nutrien yang spesifik seperti vitamin A dan probiotik pada hewan percobaan ditemukan dapat meningkatkan jumlah bakteri Lactobacillus pada usus dan meringankan gejala akibat lupus.
Probiotik adalah bakteri hidup yang jika dikonsumsi dapat tetap hidup sampai di usus, dalam jumlah cukup, dan memberi manfaat bagi kesehatan. Probiotik ditemukan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit autoimun, yaitu dengan mengeluarkan zat anti-radang, memperbaiki benteng pertahanan usus, serta menekan autoantibodi.
Berbeda dengan probiotik, serat makanan berperan sebagai prebiotik, yaitu makanan yang dapat digunakan oleh bakteri usus. Serat yang tidak dicerna akan masuk ke usus besar, kemudian difermentasi oleh bakteri untuk menghasilkan energi. Produk fermentasi ini yang kemudian berinteraksi dengan sel-sel imun di usus, menciptakan keseimbangan daya tahan tubuh.
Diet Mediterania dikenal baik untuk mencegah penyakit jantung. Tetapi ternyata diet ini juga sangat bermanfaat bagi penderita autoimun. Diet Mediterania adalah diet yang kaya akan sayur-sayuran
dan buah segar, whole grain, ikan, dan minyak zaitun, serta rendah daging merah.
Saat ini mekanisme bagaimana diet Mediterania dapat mencegah penyakit autoimun belum diketahui, namun dapat dijelaskan dengan tingginya kandungan serat yang dapat digunakan oleh mikrobiota usus. Selain kaya akan serat, sayur dan buah juga kaya akan vitamin yang berperan sebagai antioksidan, komponen penting lain dalam pengaturan sistem imun tubuh.
Harus makan apa?
Diet gizi seimbang akan memberikan banyak manfaat bagi penderita autoimun. Tidak hanya untuk menjaga kesehatan secara umum, tetapi secara spesifik juga untuk membantu mengendalikan penyakitnya.
Menerapkan diet Mediterania di tanah Indonesia mungkin tidak selalu mampu terlaksana. Tetapi selalu ada pilihan untuk hidup sehat. Misalnya saja dengan menerapkan prinsip diet gizi seimbang.
Tips untuk diet gizi seimbang cukup sederhana, yaitu dengan memenuhi setengah piring makan setiap kali makan dengan sayur dan buah segar, mengkonsumsi ikan laut 1-2 kali per minggu, mengurangi konsumsi makanan yang digoreng dan juga makanan yang banyak diolah, serta membatasi asupan daging merah. Cukup mudah bukan?