PARA PEREMPUAN INDONESIA NAN DIGDAYA
“Perempuan itu persoalan yang tidak pernah selesai di Indonesia,” ujar Arswendo Atmowiloto pada sebuah acara. Dia berseloroh sembari menanggapi opini masyarakat yang seolah ingin mengatur apapun berkait perempuan—dari busana sampai kehidupan sosialnya.
Kita bertanya-tanya, mengapa masyarakat cenderung menuntut imaji-imaji sosok perempuan, yang mungkin tidak sesuai lagi dengan semangat zaman?
Pada edisi ini kami menampilkan sosok-sosok perempuan inspiratif dari zaman yang berbeda. Kita boleh menyebut mereka sebagai para perempuan digdaya. Pada masa silam kata “digdaya” kerap dikaitkan dengan “sakti”, “ampuh”, atau “tak terkalahkan”. Namun, seiring perkembangan zaman, kini kita bisa menyematkannya kepada seorang yang berilmu. Tanpa ilmu dan pengetahuan, kita tidak pernah sampai pada dunia yang sekarang.
majalah mungil ini membingkiskan sejumput cerita sampul tentang Soerastri Karma Trimurti. Dia dikenal sebagai jurnalis dan tokoh yang mengawali kiprahnya dalam pergerakan pemuda pada 1930-an. Sosok inspiratif berikutnya adalah Roehana Koeddoes, yang ditahbiskan sebagai jurnalis perempuan pertama Indonesia; dan Inggit Garnasih sebagai perempuan yang menginspirasi dan mandukung gagasan Bung Karno. Kebetulan para perempuan itu hidup sezaman.
Sejatinya, sebelum era Kartini, perempuan-perempuan Nusantara sudah memiliki peran dalam sistem sosial dan politik. Kerajaan Majapahit di Jawa Timur pernah dua kali dipimpin oleh perempuan Bhre Kahuripan (abad ke-14) dan Prabhustri (abad ke-15). Di Aceh, Keumalahayati menjadi laksamana perempuan pertama di dunia modern, dengan armadanya yang didukung lebih dari 2.000 janda pada abad ke-16. Bahkan, bumi dan kesuburan kerap disimbolkan sebagai sosok perempuan atau ibu.
Sejak edisi ini, kami akan lebih memantapkan dalam pembahasan biografi, histori, dan tradisi.
Ikuti jargon #KitaDigdaya untuk Indonesia berdaya.