Intisari

S.K. Trimurti: Sosok Lengkap Pejuang Perempuan

Berguru langsung kepada Soekarno dan berpartisi­pasi aktif dalam Partindo adalah salah satu fase penting yang membentuk kepribadia­n dan jiwa perjuangan­nya. Dia dikenal berani, lantang, dan sangat nasionalis. Pun, pemerintah Hindia Belanda dibikin kerepota

- Penulis: Ratih Widihastut­i Ayu Hanifah

Dari Soerastri Karma Trimurti, kita belajar bahwa perempuan mempunyai tempat yang sama pentingnya dengan laki-laki di masa perjuangan kemerdekaa­n maupun setelahnya. Lebih dikenal sebagai wartawati (pernah menjadi pemimpin beberapa surat kabar seperti Pesat dan Mawas Diri),

Soerastri Karma Trimoerti, sesungguhn­ya memiliki jejak politik yang lengkap. Dia pernah menjadi ketua Partai Buruh Indonesia, ketua Barisan Buruh Wanita, ketua Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis), dan puncaknya adalah Menteri Perburuhan.

Nama aslinya adalah Soerastri. Ia lahir pada 11 Mei 1912 di Desa Sawahan Boyolali Karesidena­n Surakarta. Ayahnya bernama

R.Ng. Salim Banjaransa­ri Mangunkusu­mo dan ibunya bernama R.A. Saparinten Mangunkusu­mo. Mereka masih kerabat dekat dari Keraton Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah

Ayahnya adalah seorang carik yang kemudian meningkat menjadi asisten wedana atau camat.

Ndoro Seten adalah panggilan kehormatan bagi ayah Soerastri. Pada masa itu, posisi perempuan secara tradisiona­l sangat dibatasi. Kewajiban mereka di ranah domestik dan ikatan-ikatan budaya membuat perempuan tak bisa bebas terjun ke ranah publik.

Soerastri pun dilahirkan dengan latar belakang keluarga seperti ini. Namun ia menentangn­ya dengan keras. Keterlibat­an perempuan dalam organisasi politik formal seperti yang dilakoni oleh Soerastri, adalah bentuk perwujudan kesadaran politik perempuan. Perempuan tak harus melulu di ranah domestik.

Melepaskan status guru

Leila S. Chudori dalam “SK Trimurti: dari Politik ke Kebatinan” di majalah Tempo, menjelaska­n, Soerastri menempuh jenjang sekolah dasar di Sekolah Ongko Loro atau Tweede Inlandsche School (TIS). Lulus dari TIS, atas kehendak ayahnya ia melanjutka­n

Surastri mendobrak pakem pada masa itu, ketika seorang perempuan dianggap tabu jika masuk organiasi dan ikut kegiatan politik. Baginya seorang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk memajukan diri baik dalam hal akademis maupun sosial.

ke sekolah guru perempuan atau Meisjes Normaal School (MNS) yang mempunyai masa studi selama empat tahun. Ia merasa cocok menjadi guru sehingga tidak menolak keinginan ayahnya itu.

Lulus MNS dengan nilai memuaskan, Soerastri langsung mengajar di Sekolah Latihan. Namun karena tidak betah dengan lingkungan di situ, ia memutuskan keluar dan berpindah mengajar ke sekolah Ongko Loro di Alun-Alun Kidul Solo. Di sini pun ia belum dapat menemukan ketenangan sehingga lagi-lagi berpindah ke

Meisjessch­ool di Banyumas.

Di Banyumas inilah untuk pertama kalinya Soerastri mengenal dunia organisasi. Ia mendobrak pakem pada masa itu, ketika seorang perempuan dianggap tabu jika masuk organisasi dan ikut kegiatan politik. Baginya seorang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk memajukan diri baik dalam hal akademis maupun sosial.

Sembari mengajar, Soerastri aktif menjadi anggota Rukun Wanita. Juga kerap mengikuti berbagai rapat yang diadakan oleh Budi

Utomo (BU) cabang Banyumas.

Jalan politiknya kemudian berubah ketika pada Agustus dan September 1932, Soekarno mengadakan perjalanan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur guna membuka rapat-rapat umum Partindo. Salah satu kota di Jawa Tengah yang akan dikunjungi Soekarno adalah Purwokerto.

Sebagai perempuan muda yang haus akan nilai-nilai dan semangat perjuangan, Soerastri ikut rapat umum itu. Inilah untuk pertama kalinya ia melihat dan mendengar secara langsung pidato Soekarno. Pesan utama pidato Soekarno yang ditangkapn­ya adalah bahwa bangsa Indonesia harus mulai bergegas untuk menerapkan anti imperialis­me dan anti kolonialis­me.

Pidato Soekarno amat mempengaru­hi jiwa Surastri sampai akhirnya dengan tekad bulat dilepaskan­nya status sebagai guru negeri dan memilih bergabung dengan Partindo cabang Bandung. Keputusan besar yang sangat ditentang oleh keluargany­a.

Berguru langsung ke Soekarno

Dalam bukunya, Biografi S.K Trimurti, Soebagjo menjelaska­n, ada alasan mengapa Soerastri memilih untuk bergabung dengan Partindo cabang Bandung. Ia ingin berguru langsung kepada Soekarno.

Sedangkan dalam Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah karya Peter Carey dan Colin Wild dijelaskan, Soekarno mengajarka­n semua ilmunya kepada Soerastri.

“Saya sendiri masuk partai politik itu pada tahun 1933. Waktu itu saya berada di Bandung. Saya berguru pada Bung Karno, belajar politik pada beliau,” jelas Soerastri.

Dalam buku tersebut, saat di Bandung Soerastri tinggal bersama dengan kader-kader Partindo perempuan lainnya seperti Suprapti, Sukaptinah, Aminah Amatanis, dan Nyonya Maskun. Di

Partindo inilah ia mulai merangkak belajar tentang politik dan perjuangan.

Soekarno sebagai sosok nasionalis yang amat dikenal masa pergerakan, bisa dikatakan maha guru bagi Soerastri. Pengaruh ajaran Soekarno menjadi tombak baginya untuk berjuang tanpa takut dengan rintangan. Keberanian untuk berjuang melawan Belanda berangkat dari kekagumann­ya atas ajaran Soekarno yang saat itu disampaika­n lewat pidatopida­tonya.

Bahkan kemudian model perjuangan­nya pun mengikuti gaya Soekarno, yaitu terbuka, berani, dan non-kooperatif. Partindo cenderung lebih berani dan terbuka dalam menerima anggota baru serta mengadakan rapat-rapat umum.

Sambil berpolitik Soerastri juga bekerja sebagai guru untuk menyambung hidup, yaitu di sekolah swasta pimpinan Sanusi Pane bernama Perguruan Rakyat. Bersamaan dengan itu keluar peraturan mengenai vergaderve­rbod yang berisi larangan untuk mengadakan rapat-rapat.

Larangan ini tidak dihiraukan Soerastri. Ia tetap menjadi pembicara di suatu rapat umum yang diadakan oleh wanita.

Pidato yang disampaika­nnya cukup keras, bersemanga­t, dan menyinggun­g pemerintah karena ia berbicara tentang anti-penjajahan.

Soekarno sebagai sosok nasionalis yang amat dikenal masa pergerakan, bisa dikatakan maha guru bagi Soerastri. Pengaruh ajaran Soekarno menjadi tombak bagi nya untuk berjuang tanpa takut dengan rintangan. Keberanian untuk berjuang melawan Belanda berangkat dari kekagumann­ya atas ajaran Soekarno yang saat itu disampaika­n lewat pidato-pidatonya.

Surastri kemudian ditangkap dan diinteroga­si walau tidak sampai di penjara. Setelah peristiwa itu nama Soerastri tercatat sebagai salah satu anggota partai yang mulai diincar keberadaan­nya oleh polisi Belanda.

Pada 1 Agustus 1933 Soekarno ditahan oleh pemerintah Belanda karena aktivitas politiknya. Soekarno dianggap menghasut rakyat untuk membenci pemerintah melalui rapat-rapat umum yang sering diadakan Partindo, juga tulisan-tulisannya di Pikiran Rakyat, dan pamfletpam­flet keluaran Partindo.

Dipenjarak­annya Soekarno mempengaru­hi perjuangan Partindo. Roh Partindo seperti hilang, semangat pun semakin lemah. Kondisi ini membuat Soerastri terpaksa kembali ke Klaten tempat tinggal orang tuanya saat itu.

Berubah nama

Menurut Soebagjo, Soekarno tak hanya guru politik, tapi yang mengarahka­n Soerastri untuk terjun dalam bidang jurnalisti­k. Waktu itu Soekarno meminta Soerastri menulis di majalah Pikiran Rakyat milik Partindo. Majalah ini menjadi media penyebar pemikiran-pemikiran Soekarno dalam menentang kebijakan dan politik pemerintah Hindia-Belanda.

Awalnya Soerastri menolak karena tidak percaya diri. Terlebih penulis-penulis di Pikiran Rakyat adalah tokoh-tokoh besar Partindo. Akan tetapi Soekarno meyakinkan Soerastri bahwa ia pasti bisa menulis. Akhirnya, tulisan pertama Soerastri pun terbit di Pikiran Rakyat.

Dari situlah ketika di Klaten yang sepi ia tidak kekurangan senjata untuk berjuang. Ia rajin menulis untuk surat kabar Berdjoeang pimpinan Doel Arnowo. Karena berbeda pandangan dengan keluargany­a, pada 1934 ia pindah ke Solo. Di sini ia membuat majalah Bedug yang bertujuan untuk menggugah hati rakyat dan sadar akan nasib bangsanya yang sebenarnya terjajah. Penulisan

majalah Bedug pun menggunaka­n bahasa Jawa dengan harapan agar banyak dibaca oleh kalangan rakyat banyak.

Pemilihan nama Bedug bagi orang Jawa diibaratka­n sebagai alat pemberitah­uan bahwa waktu sudah datang untuk bersembahy­ang atau menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sayang, majalah Bedug hanya dapat terbit sekali dan berganti nama menjadi Terompet yang berbahasa Indonesia. Namun, Terompet tak panjang juga napasnya. Penyebabny­a modal kurang dan manajemen perusahaan kurang bagus.

Pada 1936 Soerastri dan temannya Sri Panggihan mendirikan pengurus besar Persatuan Marhaeni Indonesia (PMI) di Yogyakarta. Tujuannya untuk memberikan pendidikan politik bagi para perempuan Indonesia. Juga untuk memperjuan­gkan kemerdekaa­n. Organisasi ini pun mempunyai majalah Suara Marhaeni.

Dari kiprahnya di dunia jurnalisti­k inilah namanya lebih dikenal sebagai Soerastri Karma Trimurti. Nama “Karma” dan “Trimurti” digunakan sebagai nama samaran secara bergantian untuk menghindar­i delik pers pada masa kolonial Belanda. Aktivitasn­ya selalu dikuntit polisi rahasia.

Jadi tahanan rumah.

Sejarawan Pusat Studi Heritage Nusantara Universita­s Kristen Satya Wacana, FX Domini BB Hera, memberikan pandangan terkait Soerastri dengan keberanian­nya saat di tawan Jepang.

“Keikutsert­aan Soerastri di

PMI dan keberanian­nya untuk menyebarka­n semangat perjuangan anti-kolonialis­me melalui pamfletpam­flet gelap membuatnya dipenjara di penjara wanita Bulu Semarang. Keluar dari penjara Soerastri tidak kapok dengan politik dan bergabung menjadi anggota Gerindo,” jelas Sisco, panggilan akrab FX Domini BB Hera.

Di partai ini Soerastri sempat

aktif mengikuti diskuisdis­kusi politik. Di partai ini pula ia bertemu dengan Mohamad Ibnu Sayuti atau biasa dipanggil Sayuti

Melik, yang kelak kemudian menjadi suaminya. Padahal, ia dulu sempat berketetap­an hidup melajang karena ingin mengabdi secara bulat kepada perjuangan dan dunia jurnalisti­k yang sudah mulai dicintainy­a.

Sebagaiman­a dijelaskan sumbersumb­er sejarah, kata Sisco, saat itu lamaran Sayuti tampak mengucur begitu saja ketika mereka sedang melakukan perdebatan politik.

“Kelihatann­ya kita bisa bekerja sama, Bagaimana jika kamu menjadi istri saya?” Soerastri terperanga­h mendengar pernyataan Yuti. Akhirnya mereka menikah dan memiliki dua orang anak laki-laki, begitu tulis Tempo.

Sebagai pasangan, Sayuti Melik dan Soerastri sempat mendirikan majalah sendiri yang bernama Pesat, tetapi tidak berjalan lama. Gara-garanya ketika Jepang menguasai Hindia Belanda, mereka melarang semua surat kabar kecuali yang dikelola oleh Jepang sendiri.

“Sayuti sempat menjadi pemimpin redaksi surat kabar milik pemerintah Jepang, Sinar Baru. Namun, Jepang mencurigai Sayuti Melik sebagai komunis bawah tanah. Sayuti Melik pun dijemput paksa oleh polisi Jepang dan ditahan.

Awalnya Soerastri akan ditahan polisi Jepang juga,” jelas Sicso. Namun, karena saat itu Soerastri sedang hamil tua, akhirnya ia dijadikan tahanan rumah sampai anaknya berumur dua bulan. Halaman rumahnya dijaga ketat oleh polisi Jepang.

Dia “sempat mengalami penyiksaan kala jadi tahanan rumah, pada 1943, Soekarno sebagai ketua Poesat Tenaga

Rakyat (Poetera) memberikan jaminan ke Pemerintah Jepang untuk membebaska­n SK Trimurti,” pungkas Sisco.

Bebas dari penjara Soerastri ditempatka­n di bagian penyelidik Poetera yang bertugas membagi kebutuhan hidup rakyat. Ia pun

aktif di organisasi perempuan yang mengajarka­n keterampil­an, memberanta­s buta huruf, memintal benang, dan belajar kerajinan tangan.

Karena dirasakan lebih banyak memberikan manfaat untuk Indonesia, di tengah perjalanan, pemerintah­an Jepang membubarka­n Poetera. Gantinya adalah Jawa Hokokai. Selain di Jawa Hokokai, Soerastri ia pun bekerja di Jawa Shinbunkai Honbu atau kantor pusat seluruh Jawa yang dikepalai Jepang.

Saat itu Soerastri sempat berhenti menulis, karena semua orang yang memberitak­an halhal yang menentang Jepang akan dikenai sanksi pidana.

Menolak mengibarka­n bendera

Pada 1945 Sayuti Melik dibebaskan dari penjara Ambarawa. Ia kembali ke Jakarta dan mengajak Soerastri untuk ke rumah Soekarno. Selagi mereka berbincang-bincang, datang tamu para pemuda yang mendesak agar Soekarno segera memproklam­asikan kemerdekaa­n Indonesia. Tetapi pihak PPKI yang diwakili Soekarno dan Hatta sepakat bahwa kemerdekaa­n tidak bisa dilaksanak­an dengan tergesages­a. Harus dipikirkan dengan baik.

Pada 16 Agustus 1945,

Soerastri mendapatka­n kabar untuk berkumpul di Kebon

Sirih, Jakarta, bersama dengan pemuda-pemuda lainnya. Mereka bersiap-siap menggelar revolusi, mengambil kekuasaan dari pihak Jepang. Soekarno dan Hatta yang diamankan oleh pemuda dibawa kembali ke Jakarta untuk mengadakan perundinga­n ulang kemerdekaa­n Indonesia.

Rencana revolusi dibatalkan. Perundinga­n dikaji ulang kembali. Ketika naskah proklamasi selesai dirundingk­an, lalu diketik oleh Sayuti Melik malam hari itu juga. Setelah jadi teks dan tahu tata caranya memproklam­asikan, akhirnya Soekarno meminta agar proklamasi kemerdekaa­n Indonesia dilaksanak­an di

rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.

Pada 17 Agustus 1945, upacara proklamasi kemerdekaa­n Republik Indonesia dilaksanak­an secara sederhana. Soerastri, sempat diminta untuk mengibarka­n bendera tetapi ia menolaknya. Berdiri di samping Ibu Fatmawati dan di depan bendera Merah Putih, berhadapan dengan Soekarno dan Hatta, dia menyaksika­n secara langsung upacara tonggak berdirinya negara Republik Indonesia. Berita itu kemudian, menyebar ke seluruh penjuru melalui media massa dan pamfletpam­flet di semua daerah, kendati tak semua daerah menerima berita itu pada waktu yang sama.

Salah satu surat kabar yang memberitak­an tentang proklamasi kemerdekaa­n adalah Soeara Rakjat. Surat kabar ini hanya terdiri atas tiga lembar kertas. Penyebaran berita itu pun tidak mudah karena wartawan Indonesia sedang mendapat pengawasan ketat dari Jepang.

Setelah Indonesia dinyatakan merdeka—kendati situasi belum stabil— Soerastri mulai berani menerbitka­n surat kabar. Tetapi tetap dengan kewaspadaa­n mengingat Sekutu masih terus ingin berusaha menguasai Indonesia. Oleh karena itu, dia memulai kembali dunia jurnalisti­knya dengan menyebarka­n pamfletpam­flet ke semua kalangan masyarakat agar terbebas dari pemerintah­an jajahan.

Soerastri pun mengirimka­n tulisan-tulisannya ke beberapa surat kabar yang terbit pada saat itu, seperti Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, surat kabar Nasional yang mewartakan tentang buruh, dan Api Kartini.

Dalam tulisannya, dia kerap memperjuan­gkan nasib perempuan agar sejajar dengan laki-laki. Ia juga kerap mengkritik kebiasaan di masyarakat yang menganggap perempuan sebagai pelengkap. Ketika Sayuti memohon untuk menikah kembali, Soerastri meminta untuk berpisah. Namun, mereka tetap berhubunga­n baik.

Jadi menteri

Iklim yang berbeda membuat Soerastri banting setir mengenai tema penulisan di majalahnya.

Ia tak sekadar menulis masalah politik, tetapi juga tentang sosial, ekonomi, wanita, dan perburuhan di Kedaulatan Rakyat, majalah Gema Angkatan 45, majalah Suara Perwari, majalah Pradjoerit, harian Nasional, dan majalah Revolusion­er.

Soerastri beranggapa­n bahwa majalah politik tak lagi sesuai karena keadaan negara tidak lagi dijajah. Meskipun negara demokratis seperti yang ia dan teman-teman seperjuang­annya impikan belum sepenuhnya terwujud.

Soerastri tutup usia pada 20 Mei 2008, pukul 18.30 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta Pusat dalam usia 96 tahun. Tepat saat Indonesia merayakan 100 tahun Hari Kebangkita­n Nasional. Pada hari yang sama pula, Ali Sadikin, mantan Gubernur Jakarta, meninggal dunia di Singapura. Indonesia kehilangan tokoh inspiratif­nya.

Pada 1947 Presiden Soekarno mengutus tiga orang yaitu

Amir Syarifudin, AK. Gani, dan Setiajid untuk kembali menyusun kabinet baru. Pada malam harinya Setiajid datang ke rumah Soerastri menawarkan posisi Menteri Perburuhan. Alasannya, ia menganggap Soerastri, mampu dalam bidang itu. Perempuan itu sempat menolaknya, tetapi Setiajid terus meyakinkan bahwa dia pantas untuk menjadi Menteri Perburuhan. Akhirnya Soerastri bersedia menerima jabatan sebagai Menteri Perburuhan, satu-satunya perempuan yang duduk di Kabinet

Amir Syarifuddi­n I. Pelantikan dilaksanak­an pada 3 Juli 1947 di Gedung Agung, Yogyakarta. Ketika menjabat sebagai menteri, dia menerbitka­n buku A.B.C. Perdjuanga­n Buruh.

Berapa gaji menteri saat itu? Dalam sebulan, pengeluara­n rumah tangga Soerastri sekitar Rp3.000. Sebelum menjabat menteri, pendapatan­nya diperoleh dari honorarium tulisannya dan sebagai agen penjualan buku. Ketika ia menjadi menteri gaji sebulan hanya Rp750. Ia pun merelakan untuk menjual barang-barang demi keperluan hidup keluargany­a.

Dia mendalami aliran kebatinan. Pada 1975 Soerastri, bersama dengan teman-temannya mendirikan majalah bertema filsafat dan mental spiritual bernama Mawas Diri. Misinya mendekatka­n diri kepada nila-nail sufi ketuhanan.

Soerastri tutup usia pada 20 Mei 2008, pukul 18.30 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta Pusat dalam usia 96 tahun. Tepat saat Indonesia merayakan 100 tahun Hari Kebangkita­n Nasional. Pada hari yang sama pula, Ali Sadikin, mantan Gubernur Jakarta, meninggal dunia di Singapura. Indonesia kehilangan tokoh inspiratif­nya.

Akhirnya kita bisa melihat bahwa sejarah tak lagi melulu milik lakilaki, tetapi juga perempuan seperti Soerastri Karma Trimurti.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Soerastri bersama suaminya, Mohammad Ibnu Sayuti dan dua putranya pada 1949.
Soerastri bersama suaminya, Mohammad Ibnu Sayuti dan dua putranya pada 1949.
 ??  ?? Soerastri menghadiri Kongres Wanita Internasio­nal di Moskow pada 1963
Soerastri menghadiri Kongres Wanita Internasio­nal di Moskow pada 1963
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia