Pejuang Literasi Berpena Tajam
Setelah masa kemerdekaan, Soerastri, nama kecil Soerastri Karma Trimurti, memilih untuk lebih aktif dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak hidup dan politik perempuan Indonesia, khususnya kaum buruh. Kegigihannya ini sudah terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dia upayakan saat menjadi Menteri Perburuhan pada era kabinet Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin pada 1947 hingga 1948.
Satu kasus nyata yang membuat Soerastri geram dan mengalihkan fokusnya pada isu-isu perburuhan perempuan adalah kasus yang menimpa buruh perempuan industri batik di Lasem, Jawa Tengah. Pada periode 1930-an, para buruh perempuan dipekerjakan dengan upah yang sangat kecil.
Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, Vol. 7 No. 1, 2008 yang ditulis oleh Giana Fitri Indraswari dan Leli Yulifar dari Universitas Pendidikan Indonesia mencatat bahwa terdapat laporan dari kantor tenaga kerja pada 1931 tentang praktek eksploitasi buruh perempuan yang cukup luas di Lasem.
Para buruh perempuan ini mayoritas merupakan buruh luar yang selain digaji dengan upah sangat kecil, mereka juga kerap dikenai denda yang sangat besar jika melakukan kesalahan.
“Belum lagi mengenai hakhak reproduktif seperti cuti haid, cuti melahirkan dan hakhak reproduktif lainnya selalu diabaikan. Hingga akhirnya, kondisi seperti inilah yang menjadi stimulus perlawanan para buruh perempuan,” mengutip dari Jurnal Sejarah tersebut.
S.K. Trimurti dan Gerwis
Di usia 38, Soerastri bersama banyak pejuang perempuan lain mendirikan Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis). Soerastri duduk memangku posisi Ketua
III bersama dengan dua teman perempuan lainnya yaitu Tris Mettty sebagai Ketua I dan Umi Sarjono sebagai Ketua II. Gerwis terbentuk karena usai periode 1950-an, hampir seluruh persatuan gerakan wanita Indonesia yang dibangun pada masa perjuangan
Berdirinya Gerwis dimulai dari berkumpulnya wakilwakil dari enam organisasi wanita di Semarang, 4 Juni 1950. Mereka berkumpul dengan agenda meleburkan enam organisasi ke dalam satu wadah tunggal, yaitu Gerwis.
nasional, perlahan mulai tumbang dan hancur.
Berdirinya Gerwis dimulai dari berkumpulnya wakil-wakil dari enam organisasi wanita di Semarang, 4 Juni 1950. Mereka berkumpul dengan agenda meleburkan enam organisasi ke dalam satu wadah tunggal, yaitu Gerwis.
Enam organisasi ini ialah Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita
Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura dari Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan.
Program utama Gerwis adalah menuntut UU Perkawinan, mengkampanyekan hak-hak perempuan, serta memperjuangkan hak-hak kaum buruh dan tani. Di rapat pertamanya, Gerwis mengajukan tuntutan kepada pemerintah, antara lain agar fondasi pembangunan negara ditujukan bagi kemakmuran rakyat. Mereka juga menghendaki negara kesatuan yang 100 persen lepas dari ideologi penjajahan.
Pada kongres Gerwis pertama di Yogyakarta, kedudukan Tris Metty tersisihkan dan digantikan oleh Soerastri karena terjadi perselisihan di dalam tubuh anggota terkait pilihan dan
keterbukaan Tris Metty sebagai lesbian.
Saat berusia 41 tahun, Soerastri melanjutkan studinya di Jurusan Ekonomi, Universitas Indonesia (UI) dan meraih gelarnya pada tahun 1960. Pada masa-masa pendidikan ini, Soerastri sempat menolak janji untuk menjadi Menteri Sosial pada tahun 1959 dalam rangka untuk menyelesaikan gelar sarjananya.
Pada 1954, Saat Soerastri menginjak usia 42, Kongres Ketiga Gerwis dilaksanakan. Kongres ini mengganti nama Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Namun, pada pemilu 1955, Gerwani ternyata cenderung mendekat pada salah satu partai politik, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak namanya berubah, Soerastri menunjukan ketidakaktifannya sebagai pengurus besar, hingga pada akhirnya ia pun keluar dari keanggotaan Gerwani.
Pasca-Gerwani
Jurnal ilmiah karya Ipung Jazimah yang berjudul “S K Trimurti: Pejuang Perempuan Indonesia”, menceritakan bahwa pada masa menjelang 1965, suami Soerastri yaitu Sayuti Melik membuat heboh dengan tulisannya di sebuah serial bernama Suluh Indonesia.
Suluh Indonesia, menurut FX Domini BB Hera, sejarawan dari Pusat Studi Heritage Nusantara
Universitas Kristen Satya Wacana (PSHN UKSW), adalah sebuah wadah karya penulisan yang dibangun oleh Soerastri bersama dengan sang suami, walaupun usianya tidak bertahan lama.
“Suluh Indonesia ini dibangun bersama dengan sang suami Sayuti Melik, tapi beberapa kurun waktu sudah tidak beredar, sampai akhirnya Soerastri memulai kiprahnya dengan mendalami ilmu kebatinan,” ungkap pria yang akrab disapa Sisco ini.
Tulisan Sayuti di Suluh Indonesia mengupas tentang Marhaenisme yang menitikberatkan pada paham Nasasos (Nasionalis, Agama, dan
Sosialis). Sayuti beranggapan bahwa Marhaenisme yang dicetuskan oleh Soekarno tidak dipengaruhi oleh Marxisme maupun Leninisme. Artikel itu tentu sangat mengena dan menyinggung ideologi yang telah diamini bagi para anggota PKI yang sebelumnya menyalahartikan ajaran Soekarno.
Tulisan Sayuti ini membuat geger dan bahkan melahirkan BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) yang diketuai oleh Adam Malik. Karena tulisan sang suami, rumah mereka sering didatangi oleh orangorang PKI yang kebetulan kantor pusatnya dekat rumah mereka. Ia juga dipanggil oleh pengurus
Gerwani untuk datang ke kantor pusat.
Di kantor pusat Gerwani, Soerastri ditanya oleh temantemannya tentang artikel yang ditulis sang suami dan tentang pendirian BPS. Soerastri diminta memilih antara mengikuti langkah organisasi atau mengikuti langkah suami.
Soerastri pun memilih untuk berada di pihak suaminya.
“Saya tidak dapat berdiri di atas dua perahu. Dengan ini saya menyatakan bahwa saya berdiri di samping suami saya!” tegasnya.
Kiprah di dunia jurnalistik
Awal mula perkenalan Soerastri dengan dunia jurnalistik tidak bisa dilepaskan dari peran Bung Karno. Gurunya dalam menulis ini memintanya menulis untuk majalah Pikiran Rakyat pada
1933. Majalah ini secara khusus menyebarluaskan gagasan bahwa kaum perempuan Indonesia akan dapat meraih nasib baik hanya di dalam suatu masyarakat yang merdeka, adil, dan makmur.
Kebiasaan menulisnya ini tidak pernah surut walau dalam keadaan apa pun. Setelah kemerdekaan, Soerastri mulai mengubah haluan keresahannya. Iklim yang berbeda membuatnya banting setir mengenai tema penulisan.
Soerastri menjadi lebih fokus menulis masalah politik, namun juga menulis tentang sosial ekonomi, wanita, dan perburuhan di Kedaulatan Rakyat, Majalah Gema Angkatan 45, Majalah Suara Perwari, Majalah Pradjoerit,
Harian Nasional, dan Majalah Revolusioner.
Selama di Gerwis, Soerastri juga banyak menulis tentang nasib kaum perempuan di majalah Api Kartini, Berita Gerwani dan menulis kolom khusus untuk perempuan setiap kamis di Koran Harian Rakyat. Hingga di usia 63 tahun, Surastri bersama dengan teman-temannya mendirikan majalah bertemakan
Soerastri adalah representasi sosok idealis perempuan yang tangguh dan teguh pada pendirian. Penolakannya saat diminta menjadi Menteri oleh Bung Karno karena ingin fokus pada pendidikan di Universitas Indonesia serta pilihan untuk tidak melanjutkan hubungan dengan sang suami yang ingin ber-poligami, adalah idealisme teguh yang dia pilih.
filsafat dan mental spiritual bernama Mawas Diri.
“Kiprah Soerastri di dunia jurnalisme cukup panjang dari mulai membuka perpustakaan dan menulis buku. Hingga akhirnya mendalami dunia kebatinan dan sufi. Pada masa ini, Soerastri membuka pandepokan ‘mawas diri’ untuk mengingatkan tentang hubungannya dengan Tuhan,” tutup Sisco.
Soerastri Karma Trimurti adalah pejuang literasi yang melintasi tiga zaman. Hampir seluruh perjuangannya melibatkan karya jurnalistik. Tidak heran bila Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menjadikan nama besarnya sebagai nama sebuah penghargaan jurnalistik “S.K. Trimurti Award”.
Soerastri adalah representasi sosok idealis perempuan yang tangguh dan teguh pada pendirian. Penolakannya saat diminta menjadi Menteri oleh Bung Karno karena ingin fokus pada pendidikan di Universitas Indonesia serta pilihan untuk tidak melanjutkan hubungan dengan sang suami yang ingin berpoligami, adalah idealisme teguh yang dia pilih. Dia adalah politisi, aktivis, jurnalis serta guru yang semua gagasannya tertuang dalam sebuah karya yang akhirnya menjadi catatan sejarah bagi para penerusnya.