Saat Pandemi Justru Mereka Memulai
Pandemi Covid-19 tak hanya menghasilkan cerita-cerita sedih. Beberapa orang yang menjadi korban pandemi justru memulai usahanya dan berhasil. Sejauh ini kunci keberahasilannya: pintar membaca tren pasar anak muda.
Irsyad Rojali, pelaku usaha berusia 29 tahun ini terhitung cukup berani menjalani bisnis kuliner di tengah situasi pandemi. Setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada bulan Juni 2020, sebulan kemudian ia sudah mencoba peruntungan di bisnis kuliner yakni minuman boba.
Pandemi Covid-19 memang membuat banyak orang terkena PHK. Namun bagi Rojali situasinya semakin berat karena kala itu istrinya tengah hamil tujuh bulan. Bersama Ella Naseeh, sang istri, akhirnya ia menciptakan Su Boba. Di kalangan anak-anak muda, minuman dengan boba atau bolabola kecil hitam dari tapioka, memang sedang populer.
Modalnya Rp30 juta, hasil tabungan Rojali lima tahun bekerja. Ia sendiri mengatakan cukup nekat saat memulai bisnis. “Memikirkan ini masa depan calon bayi gimana, itu penyemangat saya,” kenang pria yang telah dua tahun menikah ini.
Gagal tujuh kali
Tidak sembarangan Rojali mengawali usaha kulinernya. Ia sempat riset kecil-kecilan tentang kuliner yang sedang ngetren, terutama di anak-anak muda. Ternyata minuman boba jawabannya.
Tanpa pelatihan apa pun dan hanya bermodalkan niat, Rojali memulai. Kebetulan temannya yang bekerja sebagai barista, ikut membantu memilihkan bahan baku. Tahapan ini sengaja dilakukan hati-hati agar rasa yang dihasilkan juga standar. “Kita punya standar rasa yang di- balancekan. Semua diriset,” jelas Rojali.
Tanpa pelatihan apapun dan hanya bermodalkan niat, Rojali memulai. Kebetulan temannya yang bekerja sebagai barista, ikut membantu memilihkan bahan baku. Tahapan ini sengaja dilakukan hati-hati agar rasa yang dihasilkan juga standar.
Awalnya Rojali meriset dahulu rasa sampel bahan-bahan cokelat, cappucino dan taro. Ia juga memilih 10 tempat sampel bahan baku dari tempat yang berbeda-beda dengan varian rasa masing-masing. Dari semua tempat, yang memenuhi kriteria dalam hal rasa hanya tiga tempat bahan baku masih digunakan sampai saat ini.
Dari beberapa kali uji coba, akhirnya Rojali menemukan formula yang pas. Minuman yang dinamainya Su Boba itu komposisinya terdiri atas susu sapi murni dipadu berbagai rasa seperti cokelat, taro, cappucino dan diberikan topping boba.
Rojali menduga, minuman ini bisa jalan dan berkembang lantaran rasa dan varian yang ditawarkan berbeda di pasaran. Varian menu Su boba sendiri ada 14 macam, di antaranya rasa cokelat, cappuccino, tiramisu, milk brown sugar, red velvet, blue velvet, matcha latte, dan thai tea, dll.
Memang ada sedikit kreasi dari Rojali untuk membuat minumannya istimewa. Misalnya minuman Su Boba tidak ditambah pemanis karena rasa manis sudah didapat dari varian rasa saja.
Rojali sengaja melakukannya agar pelanggan bisa lebih menikmati rasanya.
Dengan komposisi susu sebanyak 85 persen, sedangkan bubuk varian rasa hanya 15 persen, menurut Rojali rasa Su Boba tidak terlalu
manis. Berbeda dengan banyak minuman murah meriah yang sering terlalu tajam rasa manisnya. “Dengan rasa itu, saya menawarkan harga yang murah namun kualitas premium,” jelas Rojali yang sempat tujuh kali gagal menemukan resep boba yang lembut.
Tempat usaha pertamanya ada di sebuah ruko, berukuran 3 x 2 m, di kawasan Menteng Atas, Jakarta Selatan. Saat itu istrinya yang tengah mengandung sempat ikut membantu melayani pelanggan. Namun setelah melahirkan, Rojali telah dibantu tiga karyawan.
Pada saat awal berjualan, dalam sehari sudah tak kurang dari 150 cup boba terjual, seharga Rp10 ribu per cup. Rojali sendiri mengaku tidak menyangka antusiasme pembeli cukup tinggi. Dengan penjualan sebulan sekitar 2.000 – 3.000 cups, ia mampu meraup laba hingga Rp20 juta – Rp35 juta.
Keberhasilan pada tahap awal ini membuat Rojali semakin gencar berpromosi di Instagram @suboba. id, serta layanan aplikasi online, seperti Grabfood, Gofood, Dana, dan Shopeepay.
Melihat keberhasilan outlet pertamanya serta potensi yang masih besar, Rojali memberanikan diri membuka dua cabang lain, di Menteng Barat dan Utan
Kayu. Meski umumnya berhasil, ia mengaku sempat mengalami pasang-surut juga. Terutama saat Desember 2020, ketika daya beli
minuman jajanan menurun sampai 50 – 60 persen. “Tapi Februari ini sudah membaik,” tutur Rojali yang mengaku selalu yakin saat memulai usahanya.
Dari kopi ke cupang
Pandemi ini juga memberi pengalaman tersendiri bagi pasutri Sentra Arga Diantara dan Dewi Kirana. Kopitalisme, kedai kopi yang mereka jalankan selama lima tahun mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi. Jika sebelumnya mereka bisa meraup laba Rp60 juta – Rp70 juta per bulan, saat pandemi pendapatan hanya Rp10 juta - Rp20 juta per bulan.
Tentu saja kedai yang terletak di wilayah Buaran, Jakarta
Timur itu terpaksa gulung tikar. Pendapatan tidak dapat menutupi biaya operasional. Pasangan itu tentu sangat kecewa, karena kedai kopi itu dibesarkan dengan cara belajar autodidak. Modalnya juga pemberian orangtua.
Menyadari pandemi masih jauh dari titik terang, pasangan suamiistri beralih ke bisnis ikan cupang. Sebenarnya awalnya adalah inisiatif Arga tanpa sepengetahuan istrinya. Saat kedai kopi mulai tidak pasti, ia membeli beberapa ekor ikan cupang.
Tentu ini memancing reaksi protes dari Kirana. “Karena saya tahu ikan cupang itu untuk diadu,” cerita Kirana yang mulai tertarik bisnis cupang sejak 30 November 2020. Namun setelah bisnis ini sama-sama ditekuni, justru mereka menemukan banyak peluang.
Seiring pandemi dan banyak orang yang beraktivitas di rumah, animo masyarakat memang cukup tinggi untuk memelihara ikan. “Lihat dengan mata sendiri ikan cupang dijual sembilan juta rupiah dan orangnya enteng banget. Bayangin, kalau sebulan bisa ratusan juta,” terang Kirana yang kemudian lebih bersemangat.
Menyadari potensi yang besar di bidang ikan hias, Kirana mulai mempelajari jenis-jenis ikan cupang. Rupanya ada berbagai jenis ikan cupang yang dikenalnya seperti Avatar Multicolor, Fancy, Kachen Worachai, Plakat, atau
Double Tail. Dari terjun langsung, secara tidak langsung Kirana belajar menentukan nilai ikan cupang dari warna dan bentuk.
Bekerja sama dengan seorang teman, Arga dan Kirana mulai membangun bisnis ini dari nol. Pada awal pandemi, Kirana mengaku berhasil mendapatkan omzet berkisar dari Rp5 juta- Rp15 juta rupiah perbulan. Pemasukan antara lain dari penjualan ikan cupang hias yang mencapai Rp500 ribu - Rp2 juta. Namun setelah banyaknya pesaing, omzet mereka mulai turun menjadi Rp3 juta-10 juta perbulan.
Meski telah beralih ke bisnis ikan cupang, namun pasangan ini tidak memungkiri bahwa bisnis ini kemungkinan hanyalah sementara di saat pandemi. Mereka sendiri tetap berkeinginan kembali ke bisnis kedai kopi.
Gayung rupanya bersambut. Bermodalkan pengetahuan dan relasi pertemanan yang baik, sang suami diminta salah seorang teman untuk mengembangkan usaha sebuah kedai kopi. Mereka mau menerima tawaran itu karena kedudukan mereka disamakan seperti pemilik dalam mengembangkan usaha.
Dari kepercayaan inilah Arga dan Kirana seperti kembali lagi ke dasar untuk memulai bisnis kedai kopi lagi. Dari kesalahan-kesalahan masa lalu, mereka belajar lagi soal konsep usaha, strategi pemasaran,
dan program campaign. “Ini harus survive enggak seperti Kopitalisme tutup di tengah jalan,” cerita Kirana tentang usahanya dulu yang harus gulung tikar.
Kirana mengaku bersyukur bisa kembali berbisnis kedai kopi yang dinamainya Kopi Mantap dan berlokasi di daerah Sentra Timur, Bekasi. Beberapa waktu lalu ia dan suami sempat mengalami masamasa sulit, namun mereka justru memetik banyak pelajaran dari pengalaman itu. “Pasti selalu ada pelangi setelah badai,” senyum Kirana.
Berawal dari Korea
Mirip dengan kisah sebelumnya yang bermodalkan keyakinan.
Begitu pula yang dirasakan Muhammad Rafidz Mahendra, mahasiswa komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta yang berani mengajak teman-temannya untuk memulai bisnis makanan Korea Selatan, Kerochi.id.
Ide bisnis muncul dari pengalaman Rafidz yang pernah bekerja paruh waktu sebagai petugas pencuci piring dan memasak di Seoul, Korea Selatan. Saat itu Rafidz mengikuti program pemagangan ke Korea Selatan yang disponsori oleh Seoul Metropolitan Government, bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja Jakarta.
Ia memutuskan bekerja paruh waktu karena uang beasiswa yang tidak mencukupi untuk hidup
dan bepergian di sana. “Walaupun sebenarnya dilarang sih, soalnya lagi pemagangan,” jelas pria 23 tahun tersebut.
Saat bekerja itulah Rafidz bertemu Diko, ketua dari
Indonesia Community Center (ICC) di Korea Selatan. Diko adalah pemilik restoran tempat ia bekerja paruh waktu yakni
Kedai Rinjani. ”Mungkin karena melihat semangat saya seorang pelajar masih ada giat bekerja dengan aktivitas mencuci piring dan membantu memasak, akhirnya ditawarin usaha mulainya dari situ, ” kata Rafidz yang kemudian diajak bekerja sama.
Berbekal ilmu yang ia pelajari selama bekerja paruh waktu, Rafidz mulai memikirkan secara matang konsep membuka restoran jajanan
Korea di Indonesia. Sejujurnya Konsep ini sudah dipikirkan sejak 2017 ketika ia baru kembali dari Korea Selatan. Namun karena kebutuhan akan riset, pembentukan strategi marketing, proposal bisnis, ditambah karena kesibukan kuliah, rencana itu tertunda.
Rafidz dan empat temannya awalnya juga sempat ragu karena memulai bisnisnya di tengah situasi pandemi. Namun di sisi lain mereka merasa yakin pada kematangan konsepnya karena sudah lama dipikirkan. Akhirnya dengan modal dari investor, mereka membangun @Kerochi.id. Tepatnya pada Desember 2020 di Pamulang, Tangerang Selatan.
Bisnis restoran ini menurut Rafidz, selanjutnya akan terus dikembangkan dengan sistem franchise. Tentu saja ia mendapat bimbingan dari Diko yang selain sebagai investor, sangat berpengalaman dan punya relasi luas dengan pelaku usaha makanan di Korea Selatan. Di @Kerochi. id, Rafidz juga mengemban tugas sebagai investor relation atau orang yang menjembatani direktur dengan investor.
Kini franchise dari @Kerochi. id sudah bisa didapatkan seharga Rp35 juta. Para penerima waralaba akan mendapat kelengkapan alat usaha seperti alat masak, bahan baku makanan, tempat, desain,
serta belajar sistem keuangan maupun sistem pemasaran.
Menyadari bahwa makanan Korea Selatan masih terasa asing bagi lidah orang Indonesia, Rafidz dan teman-temannya tentu mengadakan beberapa penyesuaian. Beberapa menu sengaja dibuat lebih pedas agar masuk ke lidah mayoritas konsumen dalam negeri.
Rata-rata orang Indonesia juga diperkirakan menggemari jenis camilan Korea seperti odeng, toppoki, dan kimbab. Strategi lain adalah membuat camilan ini punya harga yang ekonomis, bekisar Rp10 ribu – Rp25 ribu. Dengan harga yang terjangkau, Rafidz dan temantemannya dapat menjual 40-50 porsi dengan mengantongi omzet Rp400 ribu – Rp700 ribu per hari, dan omzet perbulannya 8-14 juta rupiah.
Karena menyasar pasar anak muda, Rafidz cukup giat mempromosikan usahanya melalui media sosial maupun aplikasi layanan pemesanan makanan. “Tekad bulat serta belajar mempelajari tren masa kini adalah kunci untuk mencari peruntungan di tengah pandemi ini,” tutur Rafidz yang kini mempekerjakan dua karyawan.
Pandemi memang tidak selalu harus diisi dengan meratapi diri.