Cinta Platonis Seorang Inggit Garnasih
“Saya sangat berhutang budi pada Bu Inggit yang tak bisa saya lunasi seumur hidupku. Bu Inggitlah yang menjadi tulang punggung dan tangan kananku.” – Ir. Soekarno
“Inggit hanya pulang dengan membawa dua hal. Satu, harga diri sebagai perempuan yang tak mau dimadu. Dua, kenangan indah yang akan dibawa menjadi kenangan Ibu Inggit selama berumah tangga dan bersama untuk mencapai perjuangan Indonesia.” Begitulah kira-kira Tito Zeni Asmara Hadi, cucu Inggit dari anak angkatnya Ratna Djuami (Omi) mengingat cerita Ibu Inggit, pascameninggalkan rumah di Pengangsaan Timur 56, Jakarta. Kala itu, Soekarno bersikukuh untuk menikahi Fatmawati demi mendapatkan keturunan.
Inggit tahu, ia tak mungkin memberikan keturunan. Ia mandul karena dua kali pernikahannya tak memberikan keturunan. Sementara dua anak angkat mereka tak cukup bagi Soekarno. Namun ia tak ingin direndahkan karena satu hal yang dianggap sebagai kekurangan. Ia adalah karakter kuat nan mandiri meski terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara.
Saat masih menyandang status istri Haji Sanusi atau Kang Uci, tokoh Sarekat Islam yang berada, Inggit pantang menadahkan tangannya pada sang suami. “Kita mesti bisa berdiri sendiri, pandai kerja, dan mendapatkan uang,” prinsip Inggit seperti ditulis KH. Ramadhan dalam Soekarno Kuantar ke Gerbang.
Kepiawaiannya menafkahi diri terbawa hingga Inggit menikah dengan Soekarno pada 24 Maret 1923 di rumah orangtua Inggit. Pernikahan ini atas restu Haji Sanusi yang terlebih dahulu menceraikan Inggit untuk dilepaskan kepada Soekarno.
Soekarno sendiri yang datang pada Kang Uci, meminta restu untuk meminang Inggit. Menyadari telah terjalin asmara antara Soekarno dan istrinya, saat itu pula Kang Uci meminta Soekarno berjanji untuk tidak menyakiti Inggit dan mencintai Inggit dengan sungguh-sungguh.
“Sepertinya ada prioritas pada zaman dahulu, pada para pejuang kita bahwa kemerdekaan itu lebih tinggi daripada cinta,” ungkap Deni Rachman, penyusun buku Kisah-Kisah Istimewa Inggit. Saat itu Haji Sanusi meminta Inggit untuk membantu dan mendampingi Soekarno menjadi pemimpin bangsa. Sesuai dengan cita-cita yang ingin digapai Soekarno, memerdekakan Indonesia.
“Sepertinya ada prioritas pada zaman dahulu, pada para pejuang kita bahwa kemerdekaan itu lebih tinggi daripada cinta,” ungkap Deni Rachman, penyusun buku KisahKisah Istimewa Inggit.
Saat itu Haji Sanusi meminta Inggit untuk membantu dan mendampingi Soekarno menjadi pemimpin bangsa. Sesuai dengan cita-cita yang ingin digapai Soekarno, memerdekakan Indonesia.
Puasa demi “Indonesia Menggugat”
Inggit sadar, ada banyak perbedaan saat menikah dengan Soekarno. Ia lebih tua 13 tahun dari Soekarno dan hanya tamatan madrasah, tidak seperti Soekarno yang calon insinyur. Namun demikian,
Inggit telah jatuh hati kepada Soekarno. Inggit mencintai cita-cita Soekarno untuk memerdekakan bangsa Indonesia dan memimpin bangsa Indonesia ke depan.
Tak heran, Inggit tak pernah mengeluh walau harus menafkahi rumah tangga mereka. Masa itu Soekarno hanyalah seorang mahasiswa. Kiriman yang diterima hanya cukup untuk keperluan kuliahnya.
Inggit juga tetap melayani Soekarno. Membangunkannya, mengingatkan waktu sembahyang, menyiapkan sarapan, menemani Soekarno berpidato, menyiapkan konsumsi saat ada diskusi di rumah mereka, dan menjadi penerjemah bahasa Sunda pada orang Sunda yang tak bisa berbahasa Indonesia.
Bahkan saat Kusno, pang
gilan sayang Inggit ke Soekarno, mendekam di penjara, Inggit terus mengikutinya. Ia tidak memedulikan apa kata orang.
Seperti pada 1929, saat Sekarno dan beberapa temannya ditangkap oleh Belanda dan dimasukkan ke dalam rumah penjara Banceuy, dengan berbagai cara Inggit berupaya agar suaminya tetap sejahtera Ia rutin membawakan makanan ke penjara, bahkan turun tangan membantu Soekarno dalam menyusun pembelaan yang kemudian dikenal dengan “Indonesia Menggugat.”
Demi menyelundupkan naskah “Indonesia Menggugat” tadi , Inggit rela berpuasa dua hari agar bisa menyembunyikan buku itu ke dalam stagen- nya (semacam korset). Ia juga menyisipkan gulden di kue nagasari buatannya. Gulden ini dipakai Soekarno untuk menyogok para penjaga di sana untuk berbagai keperluannya. Inggit memang cerdik.
Ketika Soekarno dipindahkan ke Sukamiskin, demi bertemu dan menghiburnya ia rela berjalan kaki sejauh 20 kilometer bersama anak mereka Omi dari rumahnya karena tidak ada uang. Bahkan tak jarang harus meneduh dulu saat hujan datang. Inggit tak pernah bercerita kepada Soekarno soal ini.
Begitu juga saat Soekarno kembali ditangkap dan diasingkan ke Ende, Flores, Inggit tetap gigih menemani. Kali ini ia memboyong ibu kandungnya, Bu Asmi, dan
Omi. “Aku bangga mempunyai istri seperti kamu, Enggit,” ucap Soekarno kala itu. Itulah cita Inggit, menemani Soekarno berjuang memerdekakan Indonesia.
Merelakan rumah ibu
Deni Rachman menyatakan bahwa inspirasi yang dipetik dari kisah Ibu Inggit adalah dalam perjuangan apa pun, daya dan data saja tak cukup. Tapi juga perlu dana. Lantas dari mana Inggit memperoleh dana itu? Dari hasil berjualan dan simpanannya.
Inggit termasuk perempuan ubet. Ia menjadi agen sabun cuci, agen cangkul dan parang, dan berjualan rokok buatannya yang ia beri nama “Ratna Djuami.” Juga menjahit kutang serta pakaian perempuan dan anak. Ia pun dikenal dengan produk-produk kecantikan seperti bedak dan lulur. Orang banyak membeli produk kecantikannya, karena memang paras Inggit sangatlah menawan. Kabarnya, banyak pemuda yang jatuh hati melihat kecantikannya hingga melemparinya dengan logam ringgit. Begitulah asal nama Inggit.
Setelah bercerai pun, Inggit masih terus berjualan produk kecantikan seperti Bedak Ningrum, Bedak Kasay, Bedak Puder, Bedak Sariawan, dan Jamu Pancasila. Bahkan, dalam salah satu edisi surat kabar Buana Minggu pada 1981. produk-produk kecantikan itu masih diiklankan.
Jika masih kurang, Inggit pun rela menjual perhiasannya yang ia simpan dalam sebuah peti cerutu. Juga perhiasan yang ia bawa dari orangtuanya dan ia kumpulkan semasa dengan Haji Sanusi, satu per satu dia lego demi perjuangan Soekarno memerdekakan Indonesia.
Pun, ketika Soekarno akan diasingkan ke Ende, Flores, Inggit menjual rumah ibunya di Jalan Javaveem untuk memenuhi kebutuhan selama di Ende nanti.
Inggit sadar bersuamikan seorang pejuang tentulah tak bersahabat dengan harta. Sementara itu, apalah arti pejuang yang memiliki mimpi tanpa dana. Soekarno memang pemimpi dan Inggitlah sosok yang membantu mewujudkannya.
Inggitlah yang hadir dengan kemandirian ekonomi membiayainya.
Inggit juga turut menghidupi beberapa orang yang bergerak membantu Soekarno. Salah satunya, Asmara Hadi, yang kemudian menjadi menantunya. Orangtuanya yang mendengar kabar Asmara Hadi bergabung dengan Soekarno, begitu marah dan berhenti mengirimkan uang.
Pantang dimadu
Tak hanya menyiapkan dana bagi perjuangan Soekarno, Inggit juga memompa semangat suaminya saat lemah. Ketika Soekarno terserang penyakit tifus kala mendekam di penjara Banceuy, ia seperti sudah pasrah. “Maafkanlah Inggit,… Aku telah menyusahkanmu.”
“Tegakkan dirimu, Kus, tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan
luntur karena cobaan semacam ini!” hibur Inggit kepada suaminya.
Kesetiaan Inggit juga muncul saat Soekarno dibuang ke Ende, Flores. “Ah, Kasep ( Ah, sayang) jangankan ke pembuangan, sekalipun ke dasar lautan aku pasti ikut. Kus jangan waswas mengenai itu, jangan ragu akan kesetiaanku,” ujar Inggit.
Selama empat tahun di Flores, pengalaman tidak mengenakan mengiringi perjalanan mereka. Ibundanya meninggal di Ende karena sakit dan dikubur di sana. Omi pernah jatuh sakit akibat malaria. Begitu juga Soekarno, malaria mengakibatkan badannya mengigil berhari-hari.
Namun, di Flores mereka juga mengangkat seorang anak bernama Kartika, Omi tentu senang mempunyai teman sepermainan.
Pada 1933, Belanda memindahkan Soekarno ke Bengkulu. Inggit kembali menemaninya. Baginya Bengkulu mengandung harapan baru dalam perjalanan mereka. Namun di sinilah Soekarno menyakitinya, Soekarno ingin punya keturunan. Permintaan ingin menikah kembali dan menjadikan Inggit sebagai istri pertama, melukai harga diri Inggit, “Ari kudu dicandung mah, Cadu!” (Kalau mesti dimadu, pantang!), begitu prinsip Inggit.
Rupanya Soekarno telah jatuh hati pada teman sebaya Omi yang telah mereka anggap sebagai anak sendiri, Fatmawati. Masalah ini terus mengusik rumah tangga Inggit hingga pada 1943, tepat dua tahun sebelum kemerdekaan.
Penghancur hati
“Oh, dream maker, you, heart
breaker” (Oh,pembuat mimpi, kau, penghancur hati) begitulah isi lirik Moon River yang dirilis pada 1961. Bagi Inggit, Soekarno adalah si pembuat mimpi namun penghancur hatinya kala itu.
Mereka bercerai di Pegangsaan Timur 56, disaksikan oleh Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Kyai Haji Mas Mansur yang tergabung dalam empat serangkai.
Soekarno telah mengkhianati kesetiaan Inggit, telah mengkhianati janjinya saat menikah dulu untuk sungguh-sungguh mencintai Inggit. Si pemimpi telah menghancurkan hati istrinya.
Pasca-bercerai, Inggit berpindahpindah kediaman. Persyaratan mengenai rumah yang diberikan oleh Soekarno pasca-bercerai serta berjanji akan mengembalikan dana semasa berumah tangga masih menjadi misteri. Hanya Inggit yang tahu. Menurut cerita Tito, janji itu tidak ada yang ditepati. Namun jelas, Inggit tak mengharapkan apaapa dari Soekarno.
Itu terbukti saat rombongan Soekarno mengantarkan Inggit kembali ke Bandung, “Ah, Enggit sama sekali tidak mengharapkan apa-apa. Biarlah yang sudah lampau lewat.”
Mungkin Inggit sudah mengamini ucapan guru spiritualnya saat bersama Soekarno dulu, Mama Amilin Abdul Jabbar, yang pernah berkata di hadapannya dan Soekarno, “Inggit, tugas kamu itu hanya untuk menemani dan menjadikan Soekarno karena sudah ada garis takdir kamu. Kamu tidak akan bertunas ke atas, ke bawah kamu tidak akan berakar.”
Pasca-bercerai, menurut cerita Tito, Soekarno beberapa kali bertemu dengan Inggit. Pertama kali saat menjelang berlangsungnya Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Soekarno meminta doa restu untuk kelancaran acara itu dan memohon maaf karena telah menceraikan dan menelantarkan Inggit. Menanggapi itu, Inggit menyatakan bahwa dia telah lama memaafkan Soekarno dan meminta dia menjalankan tugasnya sebagai pemimpin negara.
Perjumpaan kedua terjadi pada 1960-an. Saat itu Inggit menepuk baju Soekarno dan mengingatkan bahwa baju yang dikenakan Soekarno adalah dari rakyat. Ia meminta Soekarno untuk menjaganya seperti cita-cita yang mereka impikan dulu.
Kemudian saat Soekarno meninggal, beberapa hari usai melayat, ada seorang jurnalis yang mendatangi rumahnya dan menanyakan perihal warisan yang diberikan Soekarno kepadanya. “Kemerdekaan Indonesia,” jawab Inggit.
“Cinta Bu Inggit lebih kepada cinta platonis ,” terang Deni Rachman.