Perempuan Keraton dalam Perubahan Zaman
Dari manuskrip yang ada, perempuan keraton sejak dulu sudah sejajar dengan laki-laki. Mereka punya peran yang tak bisa diremehkan begitu saja. Bahkan beberapa perempuan memegang jabatan politik.
Dalam bahasa Sansekerta, wanita dan pria memiliki arti yang sejajar. Wanita berasal dari vanita. Akar katanya, van yang berarti tercinta, istri, perempuan, anak gadis. Sementara pria berasal dari kata priyá. Artinya, yang tercinta, kekasih, yang disukai, yang diinginkan, dan sebagainya.
Pada era Jawa Kuno, di bidang politik, jabatan pemerintahan bisa diduduki laki-laki maupun perempuan. Jabatan itu mulai dari raja atau ratu, putra atau putri mahkota, rakai (penguasa wilayah/ watak), pejabat hukum, pejabat keagamaan, pejabat desa seperti hulu wanua (pengawas desa), huluair (pengawasa saluran air), wariga (ahli perbintangan), dan seterusnya.
Kendati demikian, dalam perkembangan kebudayaan, kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan tak selalu sama. Gender dikonstruksi secara sosial dan budaya. Dalam budaya Jawa kita mendengar kerata basa wanita sebagai wani ditata ( berani diatur).
Bukan sekadar kanca wingking
Menurut Dr. Sri Ratna Saktimulya, M.Hum, berdasarkan informasi dari sejumlah manuskrip kuna (abad ke-19), diperoleh gambaran bahwa perempuan pada masa lalu tidaklah sekedar sebagai kanca wingking. Memang secara nyata tidak diposisikan sebagai pemimpin dan penentu kebijakan, namun senyatanya peran perempuan cukup tinggi dan berpengaruh dalam mewujudkan keberhasilan suatu rencana atau tujuan sesuai visi-misi Sang Raja sebagai patron.
“Dari sejumlah babad (cerita sejarah bercampur sastra), antara lain Babad Ngayogyakarta dan Babad Pakualaman, diperoleh informasi bahwa di balik kesuksesan seorang tokoh pemimpin, terdapat perjuangan para ibu dan neneknya. Ada pun peran permaisuri atau istri lebih ke pencipta suasana damai, sesuai
Yang dimaksud dengan wanita (wani ditata “berani diatur”) berdasarkan manuskrip seperti Piwulang Estri dan Wulang Wanita, mensyaratkan bahwa sebagai ciptaan Tuhan, mereka yang ditakdirkan menjadi perempuan haruslah mampu menata sikap berdasarkan pedoman yang digariskan oleh para leluhurnya.
dengan sebutan perempuan adalah wanita dan wadon,” kata - Penghageng Urusan Widyapustaka Pura Pakualaman ini.
Yang dimaksud dengan wanita (wani ditata “berani diatur”) berdasarkan manuskrip seperti Piwulang Estri dan Wulang Wanita, mensyaratkan bahwa sebagai ciptaan Tuhan, mereka yang ditakdirkan menjadi perempuan haruslah mampu menata sikap berdasarkan pedoman yang digariskan oleh para leluhurnya.
Hal ini dilakukan mengingat tugas perempuan dalam menjaga keberlangsungan hidup bahagia sejahtera cukup besar. Untuk itu harus mau dan mampu menata diri dalam sikap dan sifat sehingga terbentuk karakter, seperti: sabar, tulus, pandai bersyukur, rajin, kuat jiwa dan raga adil, berani berkorban, serta mengasihi sesama.
Sebagai wadon, seperti yg tertera dalam manuskrip Piwulang PutraPutri disebutkan sebagai berikut.
-… dipun eling yen wong wadon sira, wa don nggon pepa don, padu reksa yaiku, kang kareksa gupiting wadi, yaiku paguneman, nggon nges-ngesing semu, semu semua drebèknya, ing lakine yen saeka prayeng galih, bungahaken priyanya.
(Ingatlah kamu sebagai wadon. Wadon iku wa dung nggon pepa don, artinya ‘ senjata untuk menyatukan’. Menyatukan penjagaan yaitu yang dijaga adalah batasnya rahasia. Maksudnya batasilah pembicaraan pada hal-hal yang penting saja, yang dimilikinya. Terhadap suami jika satu tujuan dan satu rasa pasti akan membahagiakan suaminya).
Hirarkinya tua-muda
Kesetaraan wanita dan pria pun berlaku pula dalam perlakuan raja terhadap putra-putrinya.
Hal ini diketahui dari beberapa manuskrip seperti Piwulang Putra-Putri, Serat Tatacara, dan
Sastra Ageng Adidarma, yang menganjurkan kepada anak cucu agar selalu memupuk rasa tanggung jawab, saling menghormati, saling mengasihi, dan mau mengembamgkan kualitas diri melalui proses pembelajaran.
Hal ini juga diakui oleh Dra. G.R.Ay Koes Raspiyah, putri dari Paku Buwono XII, raja Kasunanan Surakarta (1945 - 2004). “Enggak ada perbedaan. Di keraton hirarkinya bukan laki-laki – perempuan. Tapi tua muda. Jadi misalkan ada tamu keraton, dan anak-anak yang boleh menemui tamu berjumlah 10 orang, ya diambil dari yang tertua sampai nomer 10,” kata Gusti Ras, sapaan
akrabnya.
Urut sepuh (urut dari yang tua) juga berlaku dalam kegiatan menari. Dalam banyak komposisi tari hanya dibutuhkan beberapa penari saja, sementara putraputri raja bisa berjumlah puluhan. Seperti Gusti Ras saja punya saudara 34. (PB XII memiliki enam istri). Nah, yang muda-muda baru bisa tampil menari ketika yang tua sudah tidak aktif lagi.
“Jabatan-jabatan di keraton juga didasarkan pada tua muda. Bukan kompetensi. Kebanyakan begitu. Secuil saja yang berdasarkan kompetensi,” kata Gusti Ras sambil menambahkan jika putra-putri raja yang berusia muda kemudian mencari pekerjaan di luar keraton.
Meski demikian, porsi piwulang kepada perempuan lebih banyak, terutama piwulang prapernikahan saat seorang perempuan harus benar-benar menyiapkan secara fisik, psikis, mental, dan spiritualnya. “Ada beberapa bacaan untuk tujuan itu. Misalnya Suluk Batik, Suluk Tenun, Suluk Tanen,” kata Sakti, panggilan Sri Ratna Saktimulya.
Menghidupkan “batik naskah”
Ketika berbicara sosok perempuan hebat di lingkungan Puro Pakualaman, berdasarkan Babad Pakualaman, Sakti menyatakan bahwa ada dua tokoh perempuan hebat. Ibu dan putrinya. Sang ibu dikenal dengan sebutan Gusti Kanjeng, telah mengawal para Paku Alam (III, IV, dan V, kisaran tahun 1858 – 1878).
“Dengan kiprahnya sebagai permaisuri maupun ibusuri, Gusti Kanjeng telah turut membentuk sebuah dinasti yang dapat dilihat
keberadaannya hingga kini,” kata Sakti, dosen pada Program Studi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Gusti Kanjeng, perempuan berkharisma yang mendidik anakturunnya dengan disiplin tinggi berlandaskan rasa kasih itu selalu menanamkan pengertiannya kepada putrinya yang bernama
Siti Zaleka ( kemudian menjadi permaisuri Paku Alam VI). Berkat didikan sang ibu, Siti Zaleka menjadi figur yang cinta sastra, yang memprakarsai adanya
Babad Pakualaman dan beberapa manuskrip lainnya.
( Babad Pakualaman terdiri atas tiga jilid, dengan jumlah halaman total 2.908 halaman, awal penulisan tahun 1918.)
Siti Zaleka pulalah yang merintis adanya koleksi naskah-naskah (manuskrip) di Pura Pakualaman, yang kemudian menjadi sebuah perpustakaan yang koleksinya dapat dinikmati hingga kini.
Di masa kini, permaisuri Paku Alam X menghidupkan kembali batik tulis istana Pura Pakualaman dengan lebih berkonsentrasi pada “batik naskah”, yakni motif batik didasarkan gambar yang terdapat dalam naskah, dilekati dengan makna filosofisnya. Hingga kini sudah sekitar 120 motif tercipta. Tujuan penciptaan “batik naskah Pakualaman” ini selain menyajikan produk batik nan indah (dalam wujud batik tulis maupun cap) adalah menyebarkan piwulang para leluhur Pakualaman melalui penamaan batik dan coraknya.
Selain mengaktifkan produksi batik Pakualaman, permaisuri pun melakukan pembinaan di sentra-sentra batik di DIY. Karena kiprahnya di berbagai bidang itu, permaisuri Paku Alam X dipercaya sebagai ketua asosiasi Traditional Textile Arts Society of South East Asia (TTASSEA), wakil ketua pada Komite Seni Budaya Nusantara, wakil ketua Tim Penggerak
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga,, dan beberapa jabatan lain.
Memberi makan pusaka
Jika permaisuri PA X mencoba menghidupkan “batik naskah”, Gusti Ras yang dipercaya sebagai ketua Yayasan Pendidikan Kasatriyan melebarkan sayap yayasan dengan mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan Pariwisata (SMKP) dan Badan Pendidikan dan Latihan Pariwisata (BPLP). “Saya pada 1987 dapat surat keputusan dari ayah saya, PB XII, untuk mengelola Yayasan Pendidikan Kasatriyan ini,” kata Gusti Ras.
Cikal bakal Yayasan Pendidikan
Kasatriyan adalah sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan yang didirikan PB X ( berkuasa dari 1893 – 1939) untuk pendidikan putra-putri dan kerabat keraton. Pamardi Putri untuk putri dan Kasatriyan untuk putra. Setelah Indonesia merdeka, sekolah itu dibuka untuk umum dan pengelolaannya harus dalam bentuk yayasan.
Sebelum Gusti Ras ditunjuk sebagai kepala yayasan, sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan tadi sudah berkembang menjadi sekolah TK, SD, dan SMP. Lokasinya di dalam keraton, yang dikenal dengan nama Baluwarti. “Sekarang menjadi kampung kawasan itu. Kampung Baluwarti,” kata Gusti Ras.
Pada 1989 Gusti Ras melebarkan
sayap yayasan dengan mendirikan SMKP dan BPLP. Lokasinya juga di dalam keraton. Kompetensi SMK Pariwisata kasatriyan tadi meliputi akomodasi perhotelan dan tata boga/restoran. “Untuk mendirikan rumpun otomotif modalnya lebih besar. Sarana-sarana buat praktik kan mahal,” Gusti Ras memberi alasan mengapa memilih rumpun pariwisata.
Selain mengelola Yayasan Pendidikan Kasatriyan, Gusti
Ras juga masuk dalam Bebadan Keraton bagian Keputren. “Setelah PB XIII memegang pemerintahan baru, harus punya semacam kabinet. Nah di keraton namanya bebadan,” terang Gusti Ras. Tentu ada bermacam bagian dengan urusan yang berbeda-beda. Ada bagian Sentono. Administrasi, Abdi dalam, dan Keputren.
Bagian Keputren ini mengurusi soal keputren yang sudah berlangsung turun temurun. Misalnya caos dahar ke pusakapusaka keraton. Secara harafiah, caos dahar bermakna memberi makan. Tentu bukan makan secara fisik. Aktivitas ini dilakukan pada Kamis dan Senin. Caos dahar di sini adalah memberi sesaji ke pusakapusaka keraton. Ritualnya dengan membakar arang di atas anglo, lalu di atas arang itu ditebar kemenyan dan ratus sehingga mengepulkan asap putih pekat.
“Kami kemudian mengidungkan sekul pethak gondo arum. Nasi putih berbau harum. Di atas pusakapusaka itu kami juga menaruh bunga ronce. Sementara pada tempat-tempat tertentu kami menaruh kembang setaman. Nah, pada hari Senin, ketika bungabunga itu sudah layu kami ambil. Istilahnya nglayoni. Bunga-bunga itu kami kumpulkan dan pada bulan tertentu dilarung di tempat khusus seperti Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta,” tutur Gusti Ras.
Begitulah salah satu upaya keraton sebagai bagian masa lalu untuk tetap berperan di masa kini. Di balik upaya itu ada sosok-sosok perempuan seperti GKBRAy Adipati Paku Alam X dan GKRAy Koes Raspiyah.
Secara harafiah, caos dahar bermakna memberi makan. Tentu bukan makan secara fisik. Caos dahar di sini adalah memberi sesaji ke pusaka-pusaka keraton. Ritualnya dengan membakar arang di atas anglo, lalu di atas arang itu ditebar kemenyan dan ratus sehingga mengepulkan asap putih pekat.