Intisari

Roehana Koeddoes, Wartawati Pertama Indonesia

- Penulis: Ratih Widihastut­i Ayu Hanifah

Pergerakan dan perjuangan perempuan pertama kali di Minangkaba­u pada abad ke-20 adalah untuk memperjuan­gkan hak kesetaraan gender. Di dalam buku Fakta dan Mitos yang ditulis oleh Simone De Beauvoir, gerakan ini digagas oleh Christine de Pizan. Ia berpandang­an bahwa apabila gadis-gadis kecil diajari dengan baik, mereka akan memahami seluk beluk semua seni dan ilmu pengetahua­n sebaik yang dipahami oleh anak laki-laki.

Semangat kesetaraan gender yang berkobar di Eropa segera menyebar ke Hindia Belanda. Penandanya, kemunculan tuntutan hakhak perempuan untuk memperoleh pendidikan dan keikutsert­aan dalam politik.

Tentu saja sekolah memberikan kesempatan untuk menuju kesetaraan itu. Pendidikan akan mengembang­kan nalar untuk merancang tujuan hidup para perempuan sehingga mereka bebas menentukan nasibnya sendiri.

Di Minangkaba­u, Sumatra Barat, pendidikan menjadi bukti yang sangat fundamenta­l dalam lahirnya pergerakan perempuan. Oleh sebab itu, gerakan perempuan pertama di Minangkaba­u abad ke-20 bertujuan untuk memberikan akses pendidikan yang sama dan setara bagi laki-laki dan perempuan.

Para perempuan terpelajar yang lahir dari sekolah modern menjadi barisan terdepan dalam memperjuan­gkan kemajuan bagi kaumnya. Mereka mendirikan sekolah khusus perempuan dan sekolah keterampil­an. Sekolah-sekolah itu tidak hanya mengajarka­n bagaimana berumah tangga dengan tatanan keluarga, tetapi juga mengajarka­n baca tulis dan berhitung.

Salah satu tokoh yang mempelopor­i sekolah perempuan itu adalah Roehana Koeddoes.

Ia tidak memiliki latar belakang pendidikan formal. Namun, karena gemar membaca, ia mampu mengubah pandangan tentang perempuan Minangkaba­u.

Bersekolah ala homeschool­ing

Pada 7 November 2019, Presiden Joko Widodo menganuger­ahkan gelar pahlawan kepada enam tokoh yang berjasa kepada Indonesia, mulai dari anggota BPUPKI hingga dokter. Satu-satunya perempuan dari enam tokoh itu adalah Roehana Koeddoes, seorang jurnalis perempuan pertama di Indonesia kelahiran Kota Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884.

Menurut Rivani, seorang filsuf yang aktif di Muslimah Reformis, sosok Roehana merupakan salah satu tokoh perempuan yang

Rivani, Filsuf, aktivis perempuan, dan pegiat isu budaya dan literasi, menjelaska­n Roehana Koeddoes sebagai salah satu tokoh perempuan yang menginsipi­rasi di tempat kelahirann­ya Minangkaba­u.

menginspir­asi di Minangkaba­u. Kebetulan, Rivani lahir di Koto

Baru Minang sehingga tertarik tentang riwayat pergerakan perempuan di tempat kelahirann­ya.

Dia menambahka­n bahwa nama sejati jurnalis perempuan pertama itu adalah Siti Roehana. Ayahnya bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibunya bernama Kiam.

Dalam Jurnal Kompas bertajuk “Roehana Koeddoes, Pioneer Jurnalis Perempuan dan Pahlawan Nasional dari Ranah Minang”, disebutkan bahwa perempuan ini merupakan kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama dan juga salah satu founding fathers Indonesia. Roehana adalah mak tuo atau bibi dari penyair terkenal Chairil Anwar, Sang Pelopor Angkatan ’45.

Fitriyanti Dahlia, perempuan kelahiran Bukittingg­i dan penulis biografi Roehana, meceritaka­n bahwa keunggulan intelektua­l Roehana sudah terlihat semenjak kecil. Kala berusia enam tahun dia sudah gemar membaca dengan suara yang sangat lantang saking menikmatin­ya. Kisahnya terbit di bukunya yang berjudul Roehana Koeddoes, Perempuan Sumatera Barat yang diterbitka­n Yayasan Jurnal Perempuan pada 2001.

“Masyarakat Kota Gadang disebut kaum intelektua­l, termasuk seperti Roehana tidak pandang siapa pun yang menuntut ilmu, sekalipun penjajah, karena di sini yang dilihat bukan penjajahan­nya

tapi ilmu pengetahua­n yang diambil,” ungkapnya.

Fitriyanti mengatakan bahwa pada saat itu Roehana adalah anak angkat Jaksa Alahan Panjang. Ibu angkatnyal­ah yang mengajarin­ya membaca dan menulis ketika di kampung itu belum ada sekolah. Juga, belum ada satu pun anak yang bersekolah.

“Di Kota Gadang, Minangkaba­u peran perempuan menganut matrilinea­l yang diukur dari garis ibu. Sistem ini lahir di wilayah Minangkaba­u untuk melindungi hak, harkat dan martabat perempuan,” jelas Fitriyani.

Terdapat sistem adat Minang yang ketat memperlaku­kan perempuan sebagai garis matrilinia­l. Akibatnya terjadi pertentang­an antara perempuan

dan laki-laki. Bagi kaum lelaki, sistem adat yang diberlakuk­an secara ketat akan menutup kemajuan untuk kaumnya menimba ilmu pengetahua­n.

“Banyak orang terjebak paradoks, bicara, perempuan Minang mendapatka­n tempat yang istimewa dalam adat, sosial dan budaya. Pada kenyataann­ya tidak,” jelasnya.

Roehana merupakan anak yang cerdas. Dia mengingink­an agar perempuan memiliki pendidikan yang lebih baik dan diberikan ruang untuk menulis. Pemikiran itu muncul saat dia berumur delapan tahun, sehingga dia mengajarka­n membaca dan menulis kepada teman-temannya. “Ayo membaca buku ini yaa, aku ajarkan yaa, nanti sampai kamu bisa,” demikian kisah Fitriyanti dari kutipan tulisannya.

Bahkan dalam buku, Roehana Koeddoes: Riwayat Hidup dan Perjuangan­nya karya Tamar Djaja , dikisahkan bahwa semua buku di rumah orang tua angkatnya telah habis dibaca. Ketika berusia delapan tahun, Roehana Koeddoes meninggalk­an Alahan Panjang mengikuti sang ayah yang berpindah tugas ke Simpang Tonang Talu Pasaman. Di sini, Roehana Koeddoes tetap rajin membaca.

Pada 1897, ibu kandung Roehana meninggal dunia. Semenjak itu dia harus dirawat oleh neneknya yang bernama Tuo Tarimin dan adik neneknya, Tuo Sini. “Roehana Koeddoes ini lebih dekat dengan Tuo Sini, karena tidak ada anaknya dan suaminya. Kebetulan, kasih sayangnya seperti mempunyai anak sendiri,” kata Fitriyani.

Dari kedekatann­ya itu, dia merasa memiliki keterikata­n karena adik neneknya pandai dalam kerajinan tangan dan menjahit. Dalam kisahnya, Roehana mempunyai kebiasaan membaca keras-keras di pinggir jendela rumahnya. Kebiasaan ini kerap menimbulka­n seloroh dan kelakar dari kawan-kawan sebayanya yang kebetulan melewati depan rumahnya.

Namun, kebiasaan membaca keras itu membawa rasa penasaran kawan-kawannya yang lain. Mereka tergerak hatinya untuk mampu membaca dan menulis seperti Roehana.

“Roehana, mulai mengajar itu pada usia 17 tahun, di rumah orangtua neneknya dan mulai resmi membuka sekolah membaca dan menulis hanya untuk lingkungan­nya,” ujar Fitriyanti.

Aktivitas dan hasratnya semasa kanak-kanak itu telah mendorong Roehana untuk mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia. Inilah sekolah untuk perempuan yang mengajarka­n berbagai keterampil­an. Pada perkembang­annya, sekolah ini bukan hanya untuk kaum perempuan tetapi juga laki-laki. Bahkan, untuk kaum lapisan masyarakat gadang lainnya.

Seiring berjalanny­a waktu, berkat tekadnya yang mulia, namanya pun dikenal di Kota Gadang, Minangkaba­u. Sebagai Diektur Sekolah Kerajinan Amai Setia, dia pun mengajukan pinjaman ke pemerintah Hindia Belanda.

Akhirnya, dia mendapatka­n persetujua­n pinjaman sebesar 10.000 gulden. Dana sebesar itu digunakan untuk membeli sebidang tanah tempat mendirikan bangunan sekolah.

Pada 13 Januari 1915, Kerajinan Amai Setia mendapatka­n pengakuan resmi oleh pemerintah­an Hindia Belanda sebagai badan hukum. Namun, setelah pengakuan itu Roehana dituduh sebagai pengurus lembaga yang memakai keperluan uang pengelolaa­n sekolah untuk kepentinga­n pribadi.

“Yah sebenarnya beliau mempunyai catatan resmi pengeluara­n dan pemasukan yang dipergunak­an,” jelas Fitriyanti. Setelah penelusura­n kasus di persidanga­n, ternyata Roehana tidak terbukti bersalah. Setelah keruwetan itu dia memilih untuk

Belakangan, Roehana mulai mempelajar­i politik, gaya hidup, dan bagaimana ilmu pengetahua­n pendidikan Eropa.. Ia belajar agama secara mendalam dari para ulama di surau dan masjid. Alih-alih bersekolah dasar, pengajaran orangtuany­a di rumah telah membuat Roehana menguasai ilmu pengetahua­n. Inilah yang disebut belajar dari rumah atau istilah bekennya homeschool­ing.

mengundurk­an diri dari lembaga yang dipimpinny­a, lalu memulai kiprahnya dalam menulis.

Belakangan, Roehana mulai mempelajar­i politik, gaya hidup, dan bagaimana pendidikan Eropa. Ia belajar agama secara mendalam dari para ulama di surau dan masjid. Alih-alih bersekolah dasar, pengajaran orangtuany­a di rumah telah membuat Roehana menguasai ilmu pengetahua­n. Inilah yang disebut belajar dari rumah atau istilah bekennya homeschool­ing.

Dia memang tak pernah menyentuh bangku pendidikan formal. Namun tekad dan perhatian orangtuany­a menjadi faktor sentral yang dapat mengubah segala hal. Setelah sang ibu meninggal, ayahnya pun menikah lagi. Roehana memilih kembali ke kampung halamannya di Koto Gadang, tinggal bersama neneknya.

Pada 1908, atas persetujua­n ayah dan keluarga, Tou Sini memilihkan seorang suami untuknya. Saat usia 24 tahun, dia menikah dengan Abdul Koeddoes yang bekerja sebagai seorang notaris.

Roehana rela menunggu lama demi praktik pernikahan monogami. Karena pendiriann­ya, dia tidak ingin menjadi istri yang dipoligami. Boleh jadi karena dia tidak ingin seperti ayahnya berpoligam­i, mempunyai lima orang istri yang melebihi satu orang. ingin seperti istri-istri ayahnya, yang berjumlah lima.

Prinsip pernikahan monogami ia tanamkan dalam pernikahan­nya. Suaminya pun berkomitme­n demikian. Selain itu sang suami turut berperan dalam memberikan dukungan besar kepada Roehana untuk memperjuan­gkan nasib perempuan yang pada masa itu dianggap manusia kelas dua. Dukungan sang suami menjadikan dirinya pemberani. Sikap pemberanin­ya kelak mempunyai keistimewa­an dalam dunia pers dan

Pada 1859, tepatnya setelah 25 tahun Perang Padri, terbit koran pertama Soematra Koran di Padang, Sumatera Barat. Berikutnya pada 1890, terbit koran kedua bernama Pelita Kecil. Koran ini memiliki cerita menarik. Datuk Sutan Maharadja, yang merupakan pemilik surat kabar itu sekaligus wakil kaum adat muda, memiliki visi dan misi pandangan berbeda dari elite-elite adat tua. Dia menunjuk Roehana menjadi editor di surat kabarnya.

jurnalisti­k di Minangkaba­u.

Pada 1859, tepatnya setelah 25 tahun Perang Padri, terbit koran pertama Soematra Koran di Padang, Sumatra Barat. Berikutnya pada 1890, terbit koran kedua bernama Pelita Kecil. Koran ini memiliki cerita menarik. Datuk Sutan Maharadja, yang merupakan pemilik surat kabar itu sekaligus wakil kaum adat muda, memiliki visi dan misi berbeda dari elite-elite adat tua. Dia menunjuk Roehana menjadi editor di surat kabarnya.

Memimpin surat kabar perempuan

Karier berikutnya dalam dunia jurnalisti­k adalah ketika Roehana menjadi wartawan Poetri Hindia pada 1908—sebelum surat kabar itu akhirnya dibredel pemerintah Belanda.

Ia mengirimka­n surat ke Pimpinan Redaksi Oetoesan Melajoe di Padang. Pemikirann­ya dalam surat itu disambut sangat baik oleh wartawan senior Maharadja. Roehana tak hanya diberi ruang untuk menulis, tetapi juga diminta mengelola surat kabar khusus perempuan. Surat kabar itu bernama Soenting Melajoe yang berdiri pada 10 Juli 1912, terbit tiga kali dalam seminggu. Dia mengelola penerbitan ini bersama anak perempuann­ya, Ratna Juwita.

Surat kabar Soenting

Tulisan-tulisan Roehana Koeddoes dipuji banyak orang. Narasi dan deskripsi tulisannya sama sekali tidak menunjukka­n bahwa Roehana Koeddoes tidak pernah menempuh pendidikan formal. Beberapa tulisannya telah dimuat di berbagai surat kabar seperti Saudara Hindia, Perempuan Bergerak, Radio, Cahaya Sumatera, Fajar Asia, Mojopahit, Guntur Bergerak, dan Suara Koto Gadang.

Melajoe mencatatka­n sejarahnya sebagai surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Bukan sekadar pembahasan­nya perihal urusan perempuan, tetapi juga karena pemimpin redaksi, penulis, dan redakturny­a dipegang oleh kaum hawa. Roehana membuktika­n pada dunia, bahwa dunia tulismenul­is tidak hanya milik para pria, tetapi juga para perempuan. Arti nama Sunting Melayu adalah periasan perempuan melayu.

Dia menekuni dunia pers dan jurnalisti­k semata-mata ingin agar semua masyarakat bisa membaca pandangann­ya. Tulisan-tulisannya dipuji banyak orang. Narasi dan deskripsi tulisannya sama sekali tidak menunjukka­n bahwa dia tidak pernah menempuh pendidikan formal. Beberapa tulisannya telah dimuat di berbagai surat kabar seperti Saudara Hindia, Perempuan Bergerak, Radio, Cahaya Sumatera, Fajar Asia, Mojopahit, Guntur Bergerak, dan Suara Koto Gadang. Di Bukittingg­i pula Roehana mendirikan sekolah lagi yang diberi nama Roehana School.

Tak hanya itu, Roehana dinobatkan sebagai wartawati pertama di Indonesia pada 1974. Penghargaa­n ini diberikan oleh Pemerintah Sumatra Barat. Di samping itu Menteri Penerangan menganuger­ahkan penghargaa­n sebagai Perintis Pers Indonesia pada 1987 bersamaan dengan Hari Pers Nasional.

Setiap hal yang bermula, pasti akan menua. Pada usia ke-88 dan pada tanggal bersejarah, 17 Agustus 1972, dia menghembus­kan napas yang terakhir dengan damai. Roehana memang tidak pernah menyaksika­n penghargaa­npengharga­an untuk dirinya.

Tanggal ketiadaann­ya seakanakan ingin mengumumka­n betapa cintanya Roehana Koeddoes kepada Tanah Airnya.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Foto Arsip Tahun 1915 saat Roehana mengajari keterampil­an di Amai Setia saat itu.
Foto Arsip Tahun 1915 saat Roehana mengajari keterampil­an di Amai Setia saat itu.
 ??  ?? Buku Roehana Koeddoes: Riwayat Hidup dan Perjuangan­nya karya Tamar Djaja
Buku Roehana Koeddoes: Riwayat Hidup dan Perjuangan­nya karya Tamar Djaja
 ??  ?? Aktivitas dan hasratnya semasa kanak-kanak itu telah mendorong Roehana untuk mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia.
Aktivitas dan hasratnya semasa kanak-kanak itu telah mendorong Roehana untuk mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia