Ketika Dinas Rahasia Memata-matai Zus Tri
Barangkali, kita selalu melihat sisi serius perjuangan para pemuda. Namun, ada kalanya mereka berpolah jenaka demi menyiasati keadaan yang serius berbahaya. Soerastri Karma Trimoerti mengungkapkan kejenakaan perjuangan Indonesia kepada kita.
“Waktu itu tahun 1936,” ungkap Zus Tri, sapaan akrabnya. “Saya ditugaskan oleh organisasi wanita yang kebetulan dikenakan vergader-verbod.”
Awal karirnya adalah sebagai guru di Sekolah Dasar Putri, lalu terjun ke dunia pergerakan politik, kewartawanan. Pada masa kemerdekaan, dia turut duduk dalam kepemerintahan. Dari sekian pekerjaan yang diembannya, wartawan menjadi penggilan hidupnya—bahkan sepanjang hidupnya.
Ini cerita ketika Zus Tri masih menjadi pemudi pergerakan. Usianya, 24 tahun. Ketika itu pemerintah Hindia Belanda mengadakan vergader-verbod atau pelarangan untuk mengadakan rapat, imbas dari kian menjamurnya pergerakan politik. Partai atau organisasi sosial kemasyarakatan “yang dianggap progresif revolusioner, menentang kelestarian penjajahan Belanda” dilarang untuk mengadakan rapat, demikan papar Zus Tri.
“Bukan itu saja,” imbuhnya. “Akan tetapi, semua anggotanya tidak boleh berkumpul lebih dari tiga orang.” Betapa repotnya mengurus perkumpulan saat itu. Salah bersuara dan melangkah akan dikenai sanksi pelanggaran atau ditangkap. Apesnya, pengadilan menanti dan bersiaplah menghuni bui. “Kalau ada pimpinan yang lebih senior ditangkap,” ungkapnya, “maka yang lebih junior menggantikannya.”
Kesaksian ini dinukil dari catatan Soerastri Karma Trimoerti berjudul “Sikap Humor dalam ‘Ke-serius-an’ Pejuang-pejuang Muda”. Catatan ini terbit dalam buku Bunga
Rampai Soempah Pemoeda, yang dipersiapkan untuk peringatan 50 tahun peristiwa kebangkitan pemuda itu.
Lalu, bagaimana apabila masyarakat hendak menggelar hajatan pada zaman itu?
Siapapun yang akan menggelar hajatan—dari pernikahan sampai sunatan—harus wajib lapor kepada
Siapapun yang akan menggelar hajatan— dari pernikahan sampai sunatan—harus wajib lapor kepada polisi. Zus Tri mengenang situasi sulit saat itu. Polisi yang bertugas mengawasi kegiatan politik adalah Politiek Inlichtingen Dienst atau Badan Intelijen Politik yang disingkat PID.
polisi. Zus Tri mengenang situasi sulit saat itu. Polisi yang bertugas mengawasi kegiatan politik adalah Politiek Inlichtingen Dienst atau Badan Intelijen Politik yang disingkat PID.
Badan ini dibentuk pada 1916, yang bekerja memata-matai orang-orang pergerakan nasional sampai akhir Hindia Belanda. Polisi rahasia ini berada di sudutsudut masyarakat untuk merekam segala perilaku anggota-anggota pergerakan. Mereka melakukan operasi rahasia, memata-matai pergerakan, dengan pengarsipan yang rapi. Sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer menyebut aktivitas politik ini sebagai aktivitas “perumahkacaan”. Pram menggambarkan bagaimana cara perumahkacaan negara jajahan melalui novel Rumah Kaca. Novel ini pertama kali terbit pada 1988. Namun seperti nasib tetraloginya, novel ini segera dilarang terbit beberapa bulan kemudian oleh rezim Orde Baru.
Bahkan, nama pedengannya “Karma” dan “Trimurti” awalnya tercetus karena dinas rahasia yang sering memata-matai pergerakan pemuda. Operasi rahasia atau aktivitas perumahkacaan memang mampu menekan aktivitas orang-orang pergerakan. Namun demikian, Zus Tri menampik anggapan bahwa pemuda-pemuda menjadi takut sehingga kegiatan politik berhenti.
“Tidak. Bahwa kegiatan menjadi kurang, itu bisa dimengerti,” ungkapnya. Kader-kader junior umumnya bertugas menjalin lini komunikasi dengan para anggota dan perkumpulan-perkumpulan lainnya. Sementara para senior berkewajiban mencari strategi dan berpikir untuk memberikan arah atau anjuran. Akan tetapi, ada juga kader-kader junior yang turut menyumbang pemikiran bagi pergerakan.
Bergabung dalam perkumpulan pergerakan politik adalah pengabdian—alih-alih mendapat bayaran. Lantaran “Negara Indonesia” belum lahir, tujuan perkumpulan pergerakan saat itu adalah pencapaian tujuan-tujuan partai yang menjadi cita-cita rakyat umumnya. Apabila dana mencukupi, Zus Tri mendapat ongkos transport. Namun, apabila dana tidak mencukupi, dia harus mencari sendiri dana untuk menutup ongkos transport.
Apakah saat itu pemerintah
Hindia Belanda sama sekali tidak memberikan bantuan terhadap perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan?
Tentu ada ‘dana pembinaan’ bagi organisasi atau perkumpulan yang tidak membahayakan—bukan perkumpulan pergerakan nasional.
Perkara agen polisi PID yang memata-matai kaum pergerakan, Zus Tri mempunyai kisah kenangan sebagai pelaku sejarahnya. Sejatinya, pada zaman kiwari pun aktivitas penghimpunan informasi secara rahasia semacam ini masih dilakukan polisi untuk ormasormas yang nakal atau tidak tertib hukum. Bukan perkara garib.
Pada saat aturan vergaderverbod masih gencar-gencarnya, Zus Tri melakukan perjalanan tugas organisasi bersama kawan perempuannya dengan angkutan jasa becak. Keduanya mengetahui bahwa perjalanan mereka dikuntit oleh seorang polisi rahasia PID yang bersepeda.
Tiba-tiba, kedua perempuan muda itu mengatur siasat.
“Yuk, kita turun saja berjalan kaki,” ajak Zus Tri kepada kawannya.
Akhirnya, mereka bersepakat meminta becak untuk berhenti, meski tempat tujuan masih jauh. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Zus Tri dan kawannya sengaja berjalan perlahan-lahan. Tujuannya, merepotkan agen polisi itu.
Benar saja. Agen polisi PID itu turun dari sepedanya. Lalu, dia berjalan kaki sembari menuntun sepeda dan mencoba untuk menjaga jarak dengan dua mangsanya itu.
“Saya kira, dia agak capai juga,” ungkap Zus Tri. “Karena umurnya lebih tua dari kami. Kami masih muda, masih kuat berjalan, biar berapa jam pun.”
Namun, kedua perempuan itu merasa iba kepada lelaki polisi rahasia, yang tampaknya kepayahan. Alih-alih bersiasat untuk membuat repot si polisi tadi, kedua perempuan itu memilih untuk beristirahat di sebuah pohon yang rindang.
“Kasihan,” kata Zus Tri kepada kawannya. “Yuk, kita berhenti di sini saja, sambil makan getuk, agar supaya dia bisa mengaso.” Mereka membuka bungkusan daun pisang, lalu mulai menyantap singkong
Pada saat aturan vergader-verbod masih gencar-gencarnya, Zus Tri melakukan perjalanan tugas organisasi bersama kawan perempuannya dengan angkutan jasa becak.
yang sudah direbus dan ditumbuk itu. Selepas santap siang darurat, keduanya bersandar di pohon. Semilir angin membuat mereka terlelap untuk beberapa saat.
Tampaknya saat itu si polisi
PID sudah kelaparan juga sembari menanti dua mangsanya yang sedang leyeh-leyeh dalam naungan bayang-bayang pohon rindang. Rupanya polisi itu semakin resah karena waktu kian mendekati jam kantornya yang segera tutup. Pun, tampaknya dia harus membuat laporan hasil memata-matai dua perempuan ini.
Akhirnya, polisi PID itu mendekati keduanya sembari berkata dengan nada kebapakan, demikian kenang Zus Tri.
“Saudara jangan begitu, to,” ujar si polisi. “Saya ini cuma sekadar melakukan tugas. Jangan bikin saya cape begini.”
“Lho, yang bikin cape siapa,
Pak? Kami tidak apa-apa. Apa ada larangan kami makan getuk di sini? Kami cuma berdua. Jadi tidak melanggar vergader-verbod,” ujar kedua perempuan itu.
Setelah percakapan itu si polisi PID memberi salam lalu meninggalkan tempat itu. Zus Tri dan kawannya pun membalas salamnya. Namun, gara-gara aksi mematamatai itu tugas kedua perempuan itu belum terlaksana. “Tugas kami lakukan esok hari saja,” ungkapnya.
Kebijakan vergader-verbord memberikan dampak pada perkumpulan pemuda. Kendati demikian, Zus Tri memaknai masamasa pahit itu sebagai sesuatu yang lucu. Ada ketegangan dalam siasatsiasat jitu dalam mengakali patrol polisi PID, yang belakangan muncul kembali di benaknya sebagai kenangan jenaka.
Demi mengelabuhi polisi
PID, pemuda dan pemudi yang mengadakan rapat harus bersandiwara dengan cara seolah mereka sedang pacaran atau bersenang-senang. Celakanya, pada zaman itu pergaulan belum sebebas sekarang. Justru orang-orang tua mengira anak-anaknya sedang berpacaran sungguhan. Zus Tri menambahkan, “Berpacar-pacaran
“Semua langkah selalu ada kegembiraannya, ada lucunya, ada humornya, dan ada harapan-harapan manis yang selalu mendorong kami untuk maju terus.” Harapanharapan itu bisa tercapai setelah kita melewati lika-liku pengalaman, yang kadang mencemaskan, menggelikan, atau menakutkan.
secara ‘ bebas’ masih dicela keras.”
Siasat menghadapi polisi PID juga diterapkan oleh kawan-kawan seperjuangan Zus Tri yang berada di Jawa Timur. Perkumpulan mereka juga terkena vergaderverbod sehingga tidak mungkin untuk menggelar pertemuan.
Tak kuran gagasan, para pemuda menggelar rapat sembari berjalan di gang-gang. Sementara itu polisi PID membuntutinya.
Ketika polisi PID menyangka mereka sedang mengadakan rapat terselubung, tiba-tiba para pemuda itu menari-nari sejadi-jadinya dengan diiringi suara gamelan dari mulut mereka sendiri. “Kelihatannya memang seperti orang sinting,” ungkapnya. “Tapi apa boleh buat demi keselamatan.” Kemudian dia menambahkan, “Setelh PID pergi, tentu saja mereka masih meneruskan ‘menari’ sambil meneruskan ‘omong-omong’ organisasi.”
Setiap langkahnya mungkin akan dianggap berbahaya bagi orang lain, kendati baginya sebuah perkara yang biasa-biasa saja. “Semua langkah selalu ada kegembiraannya, ada lucunya, ada humornya, dan ada harapan-harapan manis yang selalu mendorong kami untuk maju terus.”
Harapan-harapan itu bisa tercapai setelah kita melewati lika-liku pengalaman, yang kadang mencemaskan, menggelikan, atau menakutkan. Kemudian dia menambahkan, “Inilah yang dinamakan romantika perjuangan.”