Para Perempuan Pengukir Mimpi
Arnila tak menyangka perjalanannya ke Belawan membawanya menjadi pendidik bagi anak-anak nelayan di sana. Lusty berbeda, pelecehan yang ia alami membawanya menjadi perempuan yang terus hidup di hari ini. Lain dengan Wilda, dilecehkan ayah tiri sejak kecil membawanya ke dunia prostitusi dan terus bergelut di dunia itu dalam jalan yang berbeda.
“Miris. Anak-anak belum bisa baca padahal sudah ada yang
SMP,” kata dr. Arnila Melina saat pertama kali menginjakkan di Kampung Nelayan, Belawan, Medan.
Sebelum langkah kaki Nila, sapaan Arnila, tiba di Kampung Nelayan itu, ia sudah aktif bergerak dalam bidang literasi, utamanya berbagi buku di Kampung Aur, Medan. Bersama teman-temannya pula di kampung ini pernah mengadakan aksi sunatan massal.
Setelah beberapa bulan membagikan buku di Kampung Nelayan, Nila mulai paham kondisi sosial di sana. Anak-anak ratarata telah bekerja sejak kelas 3
SD, membantu perekonomian keluarganya. “Ada yang menjadi penjaja makanan di dekat rel kereta api, ada pula yang menjadi nelayan. Rata-rata anak di sana diajarkan orientasinya duit,” katanya.
Tak heran ketika Nila memutuskan untuk mengajari anak-anak di sana membaca dan berhitung, beberapa orangtua malah menyambanginya dan minta digaji. Lucu! Pikir Nila. Mana ada orang yang mengajari anaknya gratis, malah di- mintain duit? Tapi, begitulah pola pikir orangtua saat itu. Mereka kehilangan anak-anak yang membantu mereka bekerja mendapatkan penghasilan.
Tak tahan dengan cara pikir ini, setahun kemudian Nila memutuskan untuk mendirikan “Pondok Belajar Arnila.”
Diiming-imingi narkoba
Butuh waktu untuk mendirikan pondok belajar yang nyaman.
Mulai dari mengumpulkan uang pribadi sampai mencari lokasi yang nyaman untuk belajar. “Mulanya di halaman musala kemudian pindah ke sekolah yang belum direnovasi tapi kami diusir,” terangnya.
Beruntung, seorang warga menawarkan tanah kosong di sampingnya untuk mendirikan pondok dengan sistem membayar hak pakai. Warga itu juga menawarkan bantuan untuk menjaga pondok tersebut nantinya.
Berdirinya pondok tak menghentikan perdebatan antara orangtua murid dengan Nila. Pernah suatu waktu ia menghentikan bantuan sembako kepada para orangtua selama enam bulan. Para orangtua kelihatan gusar dan menyuruh anak-anaknya untuk tidak belajar di pondok itu.
Pondok Belajar Arnila akhirnya berdiri pada 2015 di kampung Banjar, Deli Serdang, satu dari empat kampung yang berada Belawan.
Berdirinya pondok tak menghentikan perdebatan antara orangtua murid dengan Nila. Pernah suatu waktu ia menghentikan bantuan sembako kepada para orangtua selama enam bulan. Para orangtua kelihatan gusar dan menyuruh anak-anaknya untuk tidak belajar di pondok itu. Nila tersenyum miris, mengubah pola pikir butuh waktu memang.
Sering Nila menjumpai hal-hal yang tidak mengenakkan selama di Kampung Nelayan. Seperti melihat orang dewasa yang berbuat tak senonoh kepada anak kecil. Ia pun lantas mengintimidasi orang dewasa itu, dan mengajak anak kecil itu ke pondok. Karena malu, orang dewasa itu menutup jendela rumahnya.
Kasus narkoba juga marak di kalangan anak muda. Awalnya para pengedar memberikan obat terlarang itu cuma-cuma. Ketika sudah mencandu, anak-anak itu lantas mengupayakan segala cara untuk menikmati barang haram itu. Salah satu korban itu ada
yang dikenalnya. Tak lama si anak terpaksa berhenti di bangku kelas 6 SD. Nila mencoba memediasi pihak sekolah untuk memberi kesempatan namun pihak sekolah malah menyuruh si anak kembali ke kelas satu.
Tak habis akal akhirnya Nila meminta si anak untuk aktif datang ke pondok belajarnya. Anak itu lantas mengejar ketertinggalan dengan mengikuti Kejar Paket A. Alhasil, anak itu bisa menduduki bangku SMP.
Semangat tujuh anak
Butuh waktu sekitar empat tahun sampai akhirnya orangtua di Kampung Nelayan luluh, setelah melihat anak didik Nila bisa menempuh kuliah. Sebagian orangtua mulai memikirkan pendidikan anak-anak mereka. Kebetulan, salah seorang anak didiknya berhasil mendapatkan beasiswa dari Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia di sekolah dinas perikanan.
Ada kebanggaan tersendiri setiap anak didiknya itu pulang ke kampung. Para orangtua berdecak kagum memandang baju kedinasan yang dipakainya. Bukan hanya satu, pada 2020 ada lagi yang diterima kuliah di jurusan Pendidikan Anak Usia Dini di sebuah perguruan tinggi di Medan.
Mereka yang telah kuliah kerap datang mengajar anak-anak di Pondok Belajar Arnila saat libur kuliah. Sejak itu pula, para orangtua
malah memaksa anaknya untuk belajar.
Namun sebelum masa-masa pencerahan itu, rupanya ada yang menjadi sumber semangat Nila untuk tetap bertahan. “Tujuh anak,” ujarnya. Anak-anak itu rutin menunggui Nila di dermaga untuk mengajar dan mengantar Nila pulang sampai dermaga. Untuk menuju pondok memang Nila harus menumpang perahu kecil. Bila
Nila tidak datang, warga sekitar menanyai perihal dirinya karena anak-anak itu telah menunggunya.
Nila pun tak tega hati meninggalkan anak-anak ini. Meskipun awalnya motivasi anakanak ini datang bukan untuk belajar, tapi mengisi presensi. Nila memang cerdik dengan membuat reward, bagi yang sering hadir akan ikut study tour ke kota Medan.
Untuk acara study tour itu,
Nila menyewa angkutan umum untuk pergi ke objek-objek wisata di Medan. Salah satunya Istana Maimun. Anak-anak yang lebih tua diminta menjaga yang lebih kecil saat mereka pergi, “Bahkan ada orang tua yang ikut bersama kami.”
Nila harus pintar mencari cara untuk membiayai operasional pondoknya. Selain menggunakan dana pribadi, ia membeli hasil tangkapan laut para orangtua muridnya dan menjualnya kepada teman-temannya. Juga menjual makanan hasil masakan sendiri berbahan baku kepiting kepada teman-temannya.
Sistem Beasiswa
Jejak Nila di Kampung Nelayan harus berakhir pada 2020 karena ia pindah tugas ke Pekanbaru, Riau. Ia tak tega meninggalkan tempat ini begitu saja. Apalagi kala itu ia masih berusaha mengubah pola pikir warga disana. Ia kemudian merekrut para pengajar relawan.
Murah memang, hanya Rp500.000 honor yang relawan terima per bulan. Beberapa kali
Nila mencoba merekrut relawan dari kota Medan, namun selalu gagal. Waktu dan lokasi menjadi penyebabnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk merekrut orang
“Tujuh anak,” ujarnya. Anakanak itu rutin menunggui Nila di dermaga untuk mengajar dan mengantar Nila pulang sampai dermaga. Untuk menuju pondok memang Nila harus menumpang perahu kecil. Bila Nila tidak datang, warga sekitar menanyai perihal dirinya karena anak-anak itu telah menunggunya.
kampung sekitar dan beberapa mahasiswa lulusan pondok sebagai relawan. “Ada yang tamatan SMA, ada yang mahasiswa, ada orang kampung,” terangnya.
Meski honornya murah tapi Nila menerapkan sistem beasiswa. Bagi para relawan yang bisa mengabdi selama setahun, ia memiliki kesempatan kuliah sesuai dengan jurusan yang ia mau. Biayanya dari dana pribadinya. Untuk memacu para relawan tetap bertanggung jawab serta kreatif, mereka juga dituntut untuk membuat laporan perkembangan anak-anak. Metode ini berhasil hingga saat ini.
Meski saat ini Nila tidak lagi berada di pondoknya namun komunikasi tidaklah putus. Ia sering memantau lewat media Whatsapp maupun video call terutama di tengah pandemi ini. Memberikan semangat kepada para relawan untuk tetap konsisten.
“Aku berharap anak-anak pondok yang nantinya telah berhasil terus memacu generasi berikutnya untuk tetap belajar,” tuturnya.
Kurang empati
Bila Nila menanamkan pentingnya pendidikan bagi anak-anak Kampung Nelayan,
Mila Ulfah berjuang keluar dari bayang-bayang masa kelam akibat pelecehan seksual yang dialaminya. Kasus yang menimpanya membuat heboh universitasnya. Lebih dari itu, ia tersudut sebagai korban yang membuat malu kampusnya. Beberapa kali ada dosen mencemoohnya karena pelaporan yang muncul dari mulutnya.
“Mereka pernah enggak, ya, berpikir di posisi aku?” begitulah pertanyaan yang muncul di benak perempuan berjilbab itu.
Sang dosenlah pelakunya, orang yang harusnya mendidik malah melecehkan mahasiswa di mobil pribadi miliknya. Saat itu Mila sedang bernasib apes. Ketua kelasnya lupa memberikan tugas kelompoknya, sehingga ia dan teman sekelompok memperoleh nilai C.
Mila lantas mendatangi dosen pengampu karena ia merasa itu kesalahannya. Ia yang meyerahkan tugas kelompok ke ketua kelas. Ia meminta perbaikan nilai
Sebagai sesama perempuan yang pernah mengalami pelecehan, Lusty paham bagaimana perasaan itu. Ia berharap ruang penyintas ini tak hanya sekedar ruang yang bercerita kesedihan namun juga sebagai penyembuh bagi korbankorban kekerasan seksual.
karena kesalahapahaman yang terjadi. Entah alas an apa, sang dosen mulai mengajaknya bicara, menanyakan kampungnya, dan memintanya menemani penelitian di kampungnya itu. Sempat terpikir ada keanehan tentang penelitian di kebun sawit.
Demi menepis prasangka buruknya, Mila menelepon seniornya. Tak ada tanda-tanda dosen ini akan berlaku bejat. Di mata mahasiswa ia begitu baik. Kira-kira itulah pencitraan yang diberikan.
Mila pun menuruti permintaan dosennya tersebut. Awalnya sang dosen menjanjikan pergi bersama mahasiswa lain namun saat sang dosen sampai ke kostnya. Mila tak mendapati siapa pun. Ada urusan lain, begitu kata sang dosen tentang mahasiswa lain yang mau diajak. Tempat yang dituju lumayan jauh dan sepi. Di sinilah sang dosen melancarkan aksinya.
Begitulah cerita Mila yang akhirnya dengan para penyintas kekerasan seksual lainnya membentuk ruang aman penyintas bersama Komunitas Perempuan Hari Ini (PHI) serta akitivis HAM yang berfokus pada kasus LGBT pada Maret 2021.
Ruang aman yang dimaksud adalah wadah bagi para korban kekerasan yang memiliki kesulitan dalam penanganan kasus yang ia hadapi. “Kadang ada tebang pilih dalam penanganan kasus pada
lembaga tertentu,” jelas Lusty Ro Manna Malau, pendiri PHI.
Sebagai sesama perempuan yang pernah mengalami pelecehan, Lusty paham bagaimana perasaan itu. Ia berharap ruang penyintas ini tak hanya sekedar ruang yang bercerita kesedihan namun juga sebagai penyembuh bagi korbankorban kekerasan seksual.
Keinginan belajar
Lusty akhirnya dipertemukan dengan Mila. Lusty tahu, Mila perlu seorang teman untuk menghibur dan mendukungnya berani bersuara. Kasus-kasus seperti Mila pasti masih banyak, namun mereka tak berani bersuara.
Tak salah memang panggilan hati Lusty mendirikan komunitas Perempuan Hari ini sejak tahun 2017. Beragam kisah tentang perempuan terus eksis, “Simple! Kita masih berada di cengkeraman patriarki,” ujar Lusty.
Sejak mendirikan komunitas PHI, Lusty tidak pernah diam menyerukan hak-hak perempuan dan ketidakadilan tanpa memandang gender. “Nilai-nilai feminis adalah nilai humanis,”ujar perempuan yang sangat suka membaca buku itu. Lewat nilai yang dipahaminya, ia bukan hanya belajar tentang perempuan tetapi juga laki-laki, anak, pendidikan, sistem negara, maupun sistem
sosial ekonomi.
Tak heran, Lusty jatuh cinta pada dunia ini. Ia kerap ditunjuk menjadi pembicara dalam berbagai forum publik terkhusus mengenai perempuan. Menurutnya mendirikan PHI adalah kewajiban untuk mendukung para perempuan yang mencari keadilan. Maka tak heran, PHI aktif membuka berbagai diskusi atau membedah buku demi mempelajari akar penindasan.
Lusty ingin perempuan belajar. Begitulah keinginan sederhananya. Dengan perempuan melek informasi maka peradaban baru kala perempuan tidak didiskriminasi lagi bukan impian belaka. Keinginan ini juga ia utarakan tak hanya pada perempuan namun juga semua golongan insan yang ingin kesetaraan tanpa memandang gender.
Masih terus bergerak
“Sebenarnya kesetaraan itu sudah ada antara laki-laki dan perempuan dalam berbagi peran,” jelas perempuan yang berprofesi sebagai guru itu. Ia menceritakan, para perempuan dahulu ikut berburu kemudian bertani. Namun setelah perempuan memasuki masa pubertas, lalu hamil dan melahirkan, mereka mulai menetap sedangkan para lelaki terus berekspansi.
Karena fase perempuan ini maka muncullah beberapa kultur yang mendiskriminasi keberadaan perempuan sebagai objek. Bahkan praktik itu masih kerap ditemuinya. “Praktiknya masih kental,” kata Lusty. Beberapa kasus yang ia temui adalah saat perempuan ikut berdemonstrasi atau bersuara, perempuan dianggap sok tahu. Bahkan ketika perempuan memimpin, sering kali ada pengaitan dengan emosional.
“Baper!” (Terbawa perasaan), ceritanya. Padahal setiap orang punya gaya sendiri dalam memimpin. Belum lagi masalah buruh perempuan yang digaji lebih kecil daripada laki-laki padahal merekalah tulang punggung keluarga.
Isu tentang perempuan memang tidak habisnya namun memang itulah kenyataannya. Lusty tidak bisa diam karena dia adalah perempuan. “Bagaimana bisa aku mengatakan diriku merdeka bila masih ada perempuan yang tertindas?” begitulah prinsipnya yang terus bergerak melawan ketidakadilan.
Terjerumus lubang hitam
Mirip dengan kisah Mila dan Lusty, Wilda Wakkary juga mengalami pelecehan seksual. Bahkan sejak ia kecil. Kedua orangtua Wilda telah bercerai saat usianya tujuh tahun. Setahun kemudian Ibunya menikah kembali.
Dari sinilah muasal masalahnya.
Ayah tirinya melecehkan Wilda ia duduk di bangku SD hingga
SMP. Wilda memang tak mengerti apa yang dilakukan ayahnya adalah pelecehan seksual. Tak nyaman dengan sikap ayahnya di rumah, pada usia 15 tahun Wilda memutuskan pergi dari rumah dan bergabung dengan temannya yang telah lebih dahulu berkecimpung di dunia prostitusi.
“Rasanya seperti berada di lingkaran setan,” kata Wilda. Selama sepuluh tahun di dunia prostitusi, Wilda menjadi pecandu obat-obatan terlarang. Beberapa kali Wilda nyaris kehilangan nyawa akibat overdosis. Kehidupan rumah tangga Wilda juga tak pernah mulus kala itu. Tiga kali menikah, semua berakhir. Bahkan ia sempat mengalami keguguran.
Sekitar 2001, ia tak sengaja bertemu dengan seorang pelayan rohani di gereja yang kemudian menjadi kakak rohani yang membimbingnya menuju pertobatan. Kurang lebih sembilan bulan, Wilda melakukan pendalaman Alkitab. Sengaja ia memilih Pematang Siantar, Sumatra Utara agar bisa menjauh dari pergaulannya sementara waktu.
Usahanya tidak sia-sia. Wilda mulai menemukan tujuan hidupnya. Ia mengambil kursus merias wajah dan menata rambut sebagai bekal keterampilan setelah beralih profesi. Pada 2012 ia mendirikan sebuah gerakan bernama Perkumpulan Peduli Perempuan Medan atau P3M. Tak hanya mengurusi para pekerja seks, P3M juga fokus kepada perempuan yang mengalami KDRT maupun menderita HIV.
Sebelum pandemi, Wilda rutin membimbing para pekerja seks perempuan untuk beralih profesi Ia mengadakan pelbagai pelatihan seperti belajar merias wajah atau membuat kue-kue. Diakuinya, masih sedikit para pekerja yang
Usahanya tidak sia-sia. Wilda mulai menemukan tujuan hidupnya. Ia mengambil kursus merias wajah dan menata rambut sebagai bekal keterampilan setelah beralih profesi. Pada 2012 ia mendirikan sebuah gerakan bernama Perkumpulan Peduli Perempuan Medan atau P3M. Tak hanya mengurusi para pekerja seks, P3M juga fokus kepada perempuan yang mengalami KDRT maupun menderita HIV.
ia bimbing mau beralih profesi.
Dari 1.400 pekerja yang ia bimbing bersama Yayasan Medan Plus, baru lima orang yang mau beralih profesi.
Selain membimbing pekerja seks komersial beralih profesi, Wilda juga turut membantu kasus kekerasan pada pekerja seks perempuan. Salah satunya soal ancaman dan kekerasan fisik yang diterima oleh pekerja seks perempuan dari pelanggannya. “Ia diancam dan dipukuli saat meminta berpisah,” cerita Wilda. Padahal lelaki itu sudah menikah. Tak tahan, akhirnya Wilda mengajak perempuan itu ke kantor lelaki dan melakukan mediasi sekaligus membuat perjanjian agar tidak menghubungi perempuan itu lagi. Alhasil, lelaki itu tidak pernah mengganggu lagi.
Kegiatan lain yang kerap dilakukan Wilda adalah membagikan kondom gratis dan menasehati mereka untuk menggunakan pengaman. Bukan tanpa sebab Wilda melakukan ini. Ia tak ingin mereka tertular atau menulari penyakit seks kepada pasangannya. Bukan untuk mendukung profesi ini, lebih untuk menghindari penyakit itu terus berkembang.
“Kita enggak tahu, apakah pelanggan mereka sudah berumah tangga? Kalau iya kasihan istri sama anak di rumah,” jelasnya.
Titip kondom
Wilda tak memungkiri, pandemi telah menguncang perekonomian para anggota di P3M. Karenanya bulan November lalu ia mencoba program pemberdayaan ekonomi, yakni berjualan baju kaos dari modal kecil-kecilan yang mereka kumpulkan.
Awalnya berjalan lancar di bulan pertama apalagi ada temannya yang baik hati menyediakan lapak gratis untuknya berjualan di Tjili Square, Medan. Namun imbas pandemi lokasi itu harus ditutup. Wilda memutar otak, dan akhirnya kaos itu dipasarkan dari rumah ke rumah.
Meski ekonomi seret tapi ada saja bantuan yang menghampirinya. Salah satunya adalah membiayai pertemuan yang mereka buat. Sebanyak tiga kali pertemuan tatap muka mereka adakan, yakni tentang program pemberdayaan ekonomi, kepatuhan minum antiretroviral (ARV) untuk AIDS, dan kekerasan pada perempuan dan sekitarnya.
Pertemuan langsung ini dilakukan Wilda karena tidak semua orang yang dinaunginya melek terhadap penggunaan internet. Walau pandemi, Wilda mengaku masih tetap turun ke lapangan meski dibatasi. Ia takut anak dan suami terpapar Covid-19. “Biasanya aku titip kondom,” kata Wilda, soal alasan turun ke
lapangan.
Di Yayasan Medan Plus Wilda juga aktif melakukan bimbingan rohani kepada laki-laki penganut agama Kristen di salah satu tempat rehabilitasi narkoba di Medan. Rentang usia yang ia bimbing antara 23 dan 40 tahun. Di yayasan ini Wilda pun aktif menjadi guru sekolah minggu bagi anak-anak.
Wilda merasa apa yang dilakoni saat ini adalah takdir dan kepercayaannya dari Tuhan. Mengajak mereka yang tersesat untuk bersama-sama kembali ke jalan kebaikan adalah mimpi Wilda untuk teman-teman pekerja seks perempuan.
Kisah Wilda, Nila, Mila, dan Lusty adalah kisah-kisah perempuan yang bergelut dengan mimpinya. Berjuang mengukir mimpinya, menghidupkan mimpinya, dan berpetualang dalam mimpinya. Mereka adalah petualang dan pemimpi sejati.
Seperti yang dikatakan Oprah Winfey, presenter sekaligus orang berpengaruh di Amerika Serikat, “The biggest adventure you can take is to live the life of your dreams.” Petualangan terbesar yang bisa kita ambil adalah menghidupkan impian kita.