Intisari

Yuliati Umrah Ibu Para Anak Jalanan

Kepedulian kepada anak-anak telantar, membawa Yuli kepada beragam persoalan anak Indonesia. Salah satunya adalah prostitusi para pelajar yang magang di industri pariwisata. Ia rela menjual hartabenda demi menjalani misinya.

- Penulis dan Fotografer: Gandhi Wasono M.

Suatu hari, bulan Juli 2016, ketika berada di Ubud, Bali, berlibur bersama keluarga, Yuliati Umrah mendapat informasi jika di Pasar Ubud, Bali, terdapat tiga orang anak berwajah bule memulung bersama ibunya yang orang lokal. “Mendapat kabar itu saya langsung bergegas ke pasar tersebut. Ternyata benar ada tiga orang gadis cantik berwajah blasteran dengan baju kumal membawa karung tengah mengaisnga­is botol air mineral di bak sampah,” cerita Yuliati Umrah (45).

Ia yakin, pasti ada sesuatu yang tidak biasa pada keluarga tersebut. Seketika seketika itu juga keempatnya diboyong ke hotel tempat Yuli menginap. Dari sana ia mengetahui, ketiga anak tersebut bernama Lisa Bet Hoekstra,

Ester Carolina Hoekstra, dan si bungsu Erina Hoekstra. Ibunya sendiri, I Made Ayu Ariani. “Di hotel ketiganya saya mandiin, saya keramasin, kemudian saya bawa ke toko untuk beli baju ganti,” papar Yuliati.

Dari perjumpaan itu ia juga mengetahui latar belakang keempatnya sampai akhirnya menjadi pemulung. Cerita singkatnya I Made Ayu Ariani menikah dengan Cornelis Hoekstra. Pria dari Belanda itu bertemu Made Ayu ketika berwisata di Pulau Dewata. Selama menikah ia mendapat kekerasan fisik. “Bahkan dia dipukuli sampai lebam-lebam.”

Namun setelah memberikan tiga orang anak, Cornelis yang pengusaha itu pada tahun 2011 meninggal dunia. “Akibatnya ekonomi Made Ayu berantakan dan akhirnya jadi pemulung,” ceritanya.

Beruntung atas bantuan kawan Cornelis di Belanda, keluarga itu berhasil ditemukan dan mereka bersedia membantu ekonomi. “Alhamdulil­lah, meski tidak terlalu banyak, tetapi bisa membantu kebutuhan anak-anaknya. Tetapi, sejak akhir tahun lalu kiriman macet lagi lantaran saudara Cornelis tersebut meninggal dunia.”

Terjerumus prostitusi

Tak hanya itu, perjumpaan­nya dengan Lisa juga membawa berkah.

Lisa yang sempat sekolah sampai kelas 2 SMK tersebut, memberi informasi, banyak siswi SMK pariwisata yang tengah mengikuti praktik kerja lapangan di tempat-tempat wisata di Bali mulai hotel, spa, atau tempat hiburan, di luar jam praktik terjerumus dunia prostitusi.

Lisa yang sempat sekolah sampai kelas 2 SMK tersebut, memberi informasi, banyak siswi SMK pariwisata yang tengah mengikuti praktik kerja lapangan di tempattemp­at wisata di Bali mulai hotel, spa, atau tempat hiburan, di luar jam praktik terjerumus dunia prostitusi.

Dugaan kuat yang menjadi penyebab adalah akibat para siswi SMK itu masih di bawah umur, sehingga secara mental mereka belum siap melihat gemerlapny­a Bali. Faktor berikutnya, jauh dari pengawasan orangtua, karena rata-rata siswa yang ikut magang dari luar Bali. Selain itu anak PKL tidak diberi upah, meski jam yang dibebankan kepada mereka sama seperti karyawan hotel, bukan layaknya anak yang tengah praktik kerja lapangan.

“Secara ekonomi mereka terbatas, di mana harus kos dan makan sendiri, jauh dari pengawasan orangtua, sehingga dengan mudah mereka tergiur ketika ada wisatawan terutama bule yang mengajak kencan,” kata Yuli.

Berbekal informasi dari Lisa tersebut Yuli bersama anak buahnya di Alit (Arek Lintang), sebuah LSM yang fokus menangani anak-anak melakukan investigas­i. Ternyata memang benar.

Bahkan Yuli sudah menemui secara langsung seorang guru di

Banyuwangi yang mencarikan lelaki hidung belang bagi anakanak didiknya. Alasannya untuk membantu memenuhi kebutuhan selama PKL, mengingat anak didiknya tersebut lemah secara ekonomi. “Bu Guru tersebut di depan saya menangis menyesali perbuatann­ya,” papar Yuliati yang direktur LSM yang berbasis di Surabaya tersebut.

Sebagai orang yang sudah puluhan tahun menggeluti dunia pelindunga­n anak, ia kini gencar menggelora­kan isu tersebut agar menjadi perhatian publik. “Isu ini harus segera di sampaikan ke masyarakat, karena data dari BPS ada 3,5 juta siswa atau 70 persen dari jumlah siswa SMK yang ada di Indonesia terserap di dunia pariwisata,” papar Yuli.

Saat ini ada sekitar 21 jurusan di SMK yang menjadi bagian dari jurusan pariwisata. “Saya bukan anti program pemerintah yang tengah menggalakk­an pariwisata sebagai andalan. Tapi, harus ada tata kelola yang baik sehingga tidak menghancur­kan masa depan mereka,” kata Yuli yang pernah menulis novel berjudul Anak-Anak Pembawa Pesan.

Pemerintah lanjut dia, harus membuat aturan agar bagaimana anak-anak tersebut tetap bisa

belajar tetapi tetap terkontrol orangtua dan praktik kerja dengan waktu batas kewajaran. “Saya pernah menginap di sebuah hotel berbintang. Saya lihat waiters restoran anak SMK yang kemarinnya melayani pagi sampai malam, keesokan paginya sudah bekerja lagi layaknya karyawan hotel. Itu baru di hotel, belum spa, massage, dan lain-lain,” papar Yuli dengan nada miris.

Tanpa bermaksud menyudutka­n, ia menduga ada korelasi antara murahnya harga hotel di Bali dengan pemanfaata­n siswa magang menjadi “karyawan” di hotel setempat. “Coba lihat, mulai

petugas yang membersihk­an halaman hotel, room boy, sampai waiters, semua dari anak magang yang notabene adalah gratisan,” ujarnya.

Flores, Bali kedua

Sejak itu ia kemudian meyebarkan isu tersebut ke daerah yang selama ini menjadi kawasan dampingann­ya yaitu Sikka kepulauan Flores, Bali, Malang, Banyuwangi, serta Bromo. Daerah-daerah yang menjadi titik pergerakan­nya tersebut adalah kawasan pariwisata dengan suasana alam indah yang mulai berkembang. ”Pemerintah belum sampai memikirkan dampak yang ditimbulka­n. Konsentras­inya baru sebatas bagaimana meningkatk­an ekonomi melalui pariwisata saja,” imbuhnya.

Pada setiap daerah Yuli menerapkan pola pendekatan yang berbeda. Untuk kawasan Sikka, ia melakukan pendekatan dengan Gereja Katolik melalui para pastor yang berada di bawah keuskupan Maumere, di antaranya Paroki Sikka, Lela, Nita, dan Bola. “Bagi saya Flores sangat penting dibentengi, sebab beberapa saat lalu majalah luar negeri merilis bahwa Flores merupakan salah satu kawasan tereksotis di dunia. Makanya cepat atau lambat Flores akan menjadi Bali kedua,” kata Yuli.

Baginya pendekatan dengan Keuskupan, sangat tepat. Karena di Flores hubungan gereja dengan masyarakat sangat dekat. Suara pastor masih dijadikan panutan umat. Untuk itu di Keuskupan Maumere ia mengajari puluhan relawan utusan dari pastor masing-masing paroki tentang perlindung­an anak dengan modul yang sudah ia buat.

Modul tersebut menjadi buku pegangan bagi para relawan di lapangan atau Stasi (wilayah di bawah paroki) untuk merangkul anak-anak di desa-desa, mengajak bermain, sambil menerapkan bagaimana seharusnya menangani anak dengan baik. Anak-anak diajari menolak dan mengatakan tidak apabila mendapat perlakukan yang tidak baik dari orang lain.

Kedekatan Yuli dengan Flores, khususnya kabupaten Sikka amat erat. Bahkan dia sudah menganggap kawasan tersebut seperti rumah keduanya. Sebenarnya ia sudah lama bolak-balik ke Flores tetapi kapasitasn­ya sebagai konsultan asing dalam hal perlindung­an anak.

Akan tetapi pada tahun 2010, Yuli keluar sebagai konsultan dan berketetap­an hati membantu masyarakat Flores setelah berdiskusi dengan Romo Dominikus, pastor dari keuskupan Sikka. Ia ingin membantu masyarakat setempat agar lebih berdaya dalam berbagai aspek sosial terutama soal pendidikan

dan perlindung­an anak. “Lalu saya balik ke Surabaya menjual mobil, kemudian uangnya saya gunakan bersama suami, Gunardi Aswantoro, untuk biaya bolakbalik Surabaya- Sikka membantu memberdaya­kan masyarakat setempat,” papar ibu tiga anak tersebut.

Alit lanjut Yuli lebih banyak menyasar ke peningkata­n kualitas perlindung­an dan pendidikan anak. Karena saat itu anak di desa-desa mayoritas tamat SD, kemudian merantau menjadi tenaga kasar. “Alhamdulil­lah kehadiran Alit mengubah paradigma masyarakat tentang pentingnya pendidikan. Sekarang anak-anak di Sikka yang jadi dampingan kami minimal SMA,” paparnya.

Ada sebuah momen yangh tak pernah dilupakann­ya. Pada 2012 ia sukses membuat acara nasional bertajuk “Maumere in Love”. Sebuah acara yang mengangkat potensi Sikka. Selama lima hari ribuan masyarakat memadati kota Maumere untuk menyaksika­n acara tersebut.

Karena keberhasil­annya itu ia dipeluk erat oleh Marie Elka Pangestu dan Komjen (Purn) Gories Mere yang datang di acara. Marie Elka Pangestu dan Gories Mere, memuji sebagai seorang

Muslim tetapi peduli dengan masyarakat Flores yang notabene beragama Katolik. “Saya sampaikan kepada Bu Marie dan Pak Gories, untuk membantu saudara saya yang Katolik, tidak harus saya menjadi Katolik,” cetusnya.

Pola pendekatan yang sama dilakukan di daerah lain.

Bedanya kalau di Maumere pendekatan­nya dengan pihak gereja, untuk kawasan Malang, Banyuwangi dengan lembagalem­baga keagamaan yang ada di bawah naungan PB NU. “Sama seperti Gereja di Maumere, PB NU dengan pesantren-pesantrenn­ya di Jawa Timur itu juga erat dengan masyarakat sekitar,”papar Yuli.

Sedang untuk di kawasan Bromo, pendekatan­nya dengan masyarakat adat suku Tengger, dan di Bali ia bekerjasam­a dengan beberapa banjar di Denpasar. “Tetapi, yang lebih dulu memang dengan keuskupan Maumere, sebab Alit sudah 10 tahun terjun di sana,” papar Yuli.

Tuhannya sama

Di tengah getol-getolnya Yuli membangun Alit Center di Sikka atas bantuan seorang teman, pada 2013 ia bisa menjalin kerjasama dan mendapat dana dari Kindermiss­ionwerk. Agen donor ini secara struktural berafilias­i kepada Vatikan dan fokus pada anak. Lembaga ini sebenarnya didirikan oleh seorang pastor pada tahun 1800-an. Uang yang masuk ke Kindermiss­ionwerk itu didapat dari anak-anak misioner yang dipungut

dari masyarakat melalui program Children Helping Children.

Program ini mengajarka­n bagaimana anak-anak Katolik bersolidar­itas pada sesama teman. Awalnya di Prancis kemudian oleh Vatikan ditetapkan untuk program seluruh dunia, berkantor pusat di Jerman.

“Jadi sejak bekerjasam­a dengan Kindermiss­ionwewrk ini, uang digunakan oleh Alit untuk pemberdaya­an perlindung­an anakanak baik untuk Sikka maupun di pesantren, Tengger, maupun Bali,” jelas Yuli yang selain merekrut orang lokal, juga merekrut mahasiswa Unair menjadi relawan.

Paus mengatakan, Vatikan tidak mempermasa­lahkan jika uang yang bersumber dari anak-anak Katolik juga dimanfaatk­an untuk anak nonKatolik. Karena Tuhan orang Katolik sama dengan Tuhan umat manusia yang ada di dunia.

Berkaitan dengan sex tourism pihak Vatikan juga sangat konsen. Bahkan Mei 2019, Paus untuk kedua kalinya mengeluark­an pernyataan bahwa gereja harus menindak tegas pelaku kejahatan seksual pada anak bagaimanap­un bentuknya dan di mana pun tempatnya.

“Paus geram karena pelaku kejahatan juga tak jarang orangorang Gereja sendiri. Paus mengatakan kejahatan yang paling berat adalah kejahatan yang menghapus masa depan anakanak,” imbuh Yuli yang pada tahun 2018 diundang oleh Vatikan untuk berpidato di sana.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Di Bali Yuli bekerjasam­a dengan beberapa banjar demi program perlindung­an anak terhadap dampak negatif pariwisata.
Di Bali Yuli bekerjasam­a dengan beberapa banjar demi program perlindung­an anak terhadap dampak negatif pariwisata.
 ??  ?? Yuli menemukan kasus siswi-siswi SMK yang terseret prostitusi saat praktek kerja lapangan.
Yuli menemukan kasus siswi-siswi SMK yang terseret prostitusi saat praktek kerja lapangan.
 ??  ?? Pendekatan dengan Gereja Katolik—melalui para pastor di Keuskupan Maumere— menjadi strategi Yuli dalam upaya perlindung­an anak.
Pendekatan dengan Gereja Katolik—melalui para pastor di Keuskupan Maumere— menjadi strategi Yuli dalam upaya perlindung­an anak.
 ??  ?? Di Vatikan, Paus pernah mengatakan bahwa kejahatan yang paling berat adalah kejahatan yang menghapus masa depan anak-anak.
Di Vatikan, Paus pernah mengatakan bahwa kejahatan yang paling berat adalah kejahatan yang menghapus masa depan anak-anak.
 ??  ?? Yuli, berkerudun­g, diundang berbicara di Munster, Jerman, ketika perayaan Hari Katolik Dunia pada 2018.
Yuli, berkerudun­g, diundang berbicara di Munster, Jerman, ketika perayaan Hari Katolik Dunia pada 2018.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia