Serba-serbi Mencintai Diri Sendiri
Karya musik dan seni visual bertopik self-love belakangan kembali mengemuka seiring sejumlah seniman mancanegara membuka cerita tentang kesehatan mentalnya. Bagaimana sebetulnya relasi antara mencintai diri sendiri dan memulihkan kesehatan mental dalam pandangan klinis?
Terkenal dan dipuja saat mengalami gangguan depresi begitu membingungkan bagi penyanyi peraih empat Grammy 2020, Billie Eilish. Pada usia 14 tahun, lagu Ocean Eyes yang ia rekam di kamar Finneas— kakak laki-lakinya sekaligus si pencipta lagu—meledak segera setelah diunggah ke SoundCloud pada 2015.
Satu tahun sebelumnya, Billie kecil serius menekuni tari di sebuah dance company sambil berhomeschooling. Body dysmorphic disorder yang dialaminya, membuat ia terus-menerus cemas dan malu akan rupa tubuh yang dirasa tidak cukup baik, dibandingkan dengan anak-anak kelas tari yang di matanya cantik-cantik. Terlebih, mereka semua dari satu sekolah yang sama, sudah akrab duluan. Tubuhnya yang cepat berkembang di usia sembilan menambah rasa keterasingan Billie.
Seakan tidak cukup menyulitkan perasaannya, Billie kemudian mengalami cedera berat sehingga tidak bisa lagi mengikuti kelas tari. Saat itu ia merasa depresi mulai mengganggu hingga terkadang melukai dirinya sendiri. Terkadang ia menuliskan emosinya ke dalam sebuah jurnal, yang menyatu dengan potongan-potongan kalimat. Kelak, beberapa di antaranya menjadi bagian dari lirik lagu Billie yang kita dengar hari ini.
Di awal popularitasnya, musik
Billie mengaku saat itu belum mengenal apapun tentang self-love atau self-care. Perasaan kelam itu yang baginya ingin dituangkan ke dalam lagu. Mungkin, tuturnya, itu juga yang membuat orang merasa terhubung dengan karya-karyanya.
dari Billie kerap dinilai terlalu kelam, terlalu sedih, terlalu depresif, dan tidak cukup bahagia. Ada kalanya ia terus menerus mendengar saran untuk tersenyum dan berbicara tentang bagaimana ia begitu mencintai dirinya sendiri. “Padahal saat itu merupakan masa ketika aku tidak mencintai diriku sendiri,” kata Billie mengenang masa kala usianya 14 tahun kepada Variety.
Billie mengaku saat itu belum mengenal apa pun tentang self-love atau self-care. Perasaan kelam itu yang baginya ingin dituangkan ke lagu. Mungkin, tutur dia, itu juga yang membuat orang merasa terhubung dengan karya-karyanya. “Maksudku, bahkan The Beatles punya lagu yang menuturkan ‘I’m miserable’!” kata Billie.
Di tengah proses terapi dan pemulihannya, rasa depresi kerap muncul lagi saat melihat bekas luka self-harm di lengan anakanak perempuan yang datang ke pertunjukannya. Bekas luka Billie sediri sudah lama hilang. Sambil memegang pundak mereka, satu per satu, ia berujar, “Please take care for yourself and be good to yourself, don’t take the extra step and hurt yourself further, you can’t take it back.”
“Sebab aku tahu, aku pernah di posisi mereka,” kata Billie kepada Rolling Stone.
Kesan kelam pada karyanya sedikit berubah ketika lagu my future dirilis pada 2020. Liriknya kurang lebih menyisipkan bagaimana Billie mencoba mencintai diri sendiri dahulu sebelum orang lain, dengan belajar mengenali dirinya lebih jauh.
Pada radio Apple Music Beat 1 Billie bercerita, proses menulis lirik lagu ini membuatnya merasa penuh pengharapan, excited, sambil merefleksikan diri dan membayangkan dirinya bertumbuh. Proses self-love dan pemulihannya ini, tutur Billie, dipengaruhi keluarga dan temannya yang selalu ikut dan menjaganya di sepanjang tur.
Selebritisasi?
Kisah musisi yang mengalami masalah mental dan kebangkitannya seperti Billie, di
sisi lain rupanya sering dipandang sejumlah orang sebagai bagian dari kapitalisasi selebritas.
Salah satunya yakni penelitian Gaston Franssen yang mencoba merunut kronologi selebritisasi isu kesehatan mental penyanyi Demi Lovato yang dilakukan pihak industri.
Penyanyi dan aktor internasional jebolan Disney ini didiagnosis mengalami gangguan bipolar pada 2011. Media massa Amerika menyoroti persona teladan, baik hati, dan pekerja keras khas bintang Disney pada Demi di ujung tanduk, kendati terus menjalani beberapa tur dunia sejak 2011. Demi juga menelurkan album perihal kondisi kesehatannya, Unbroken (2011) dan Confident (2015).
Pada tahun yang sama, Demi juga mulai membuka diri dalam beragam talkshows tentang bipolar dan bulimia yang dialaminya. Selain itu ia berbicara tentang self-care sebagai penyintas dan menjadi pembicara kampanye kesehatan mental Be Vocal. Demi dan kesehatan mentalnya juga direkam dalam dokumenter Demi Lovato: Stay Strong (2012), Demi Lovato: Simply Complicated (2017), dan buku Staying Strong: 365 Days a Year (2013).
Penelitian Gaston, The Celebritization of Self-Care: The Celebrity Health Narrative of Demi Lovato and the Sickscape of Mental
Illness, menyimpulkan, beragam industri mengemas ulang cerita gaya hidup penyintas seperti
Demi yang terus melakukan selfimprovement untuk mendapat keuntungan. Demi Lovato, menurut Gaston, menjadi sickscape— representasi sosial yang konsep dan karaktristikya diyakini masyarakat—dalam konteks ini.
Kisah Demi sebagai sickscape didukung media dengan iklan soal anjuran berobat dengan resep, adanya diskursus ilmiah, kemudahan teknologi, budaya, dan ekonomi. Dengan begitu, sejumlah orang merasa dapat mengalami gangguan kesehatan mental yang sama, merasa harus disembuhkan, dan jika diberi obat atau produk farmasi lainnya, maka mereka benar-benar sakit.
Dukungan dan kritik yang diterima para musisi di atas menyisakan pertanyaan, apakah self-love – yang dinarasikan berbagai pihak dapat mendukung kepulihan Demi dan Billie— sesungguhnya bisa kita lakukan untuk merawat mental?
Cinta tujuh rupa
Psikiater Shainna Ali, PhD, LMHC, ACS, NCC mendefinisikan self-love sebagai praktik menerima, merawat, dan mendukung diri. Konsep lama ini kembali populer beberapa tahun belakangan dengan kemunculan kisah self-love para
selebritas muda internasional.
Seperti Billie, banyak di antaranya yang menyadari bahwa mencintai tidak hanya muncul dari interaksi dua orang, namun juga dari mengenal diri sendiri. “Terkadang, kebutuhan mencintai diri sendiri bahkan lebih besar daripada saling mencintai dengan orang lain,” kata Shainna.
Terlebih, paparan lebih dari internet selama pandemi juga rentan menghadapkan kita pada kecenderungan membandingkan diri dengan seseorang di media sosial, dibanding-bandingkan oleh keluarga dan teman-teman, dan cyberbullying. Dampaknya berisiko lebih buruk pada orang yang tengah mengalami masalah dan gangguan kesehatan mental.
Di situasi ini, self-love menjadi kian penting untuk kita lakukan. Positifnya, kendati self-love paling krusial ditumbuhkan saat remaja, Shainna menekankan, siapa pun bisa memulainya saat mau memberanikan diri berproses sepanjang hidup.
Dalam The Self-Love Workbook: A Life-Changing Guide to Boost SelfEsteem, Recognize Your Worth and Find Genuine Happiness, Shainna membagi self-love ke dalam tujuh segmen, yakni self-awareness, selfexploration, self-care, self-esteem, self-kindness, self-respect, dan selfgrowth.
Dengan kata lain, mencintai diri sendiri juga termasuk di antaranya kemampuan kita untuk menghargai, belajar mengerti,
menghormati, merawat, dan berbuat baik pada diri sendiri, serta bertumbuh menjadi versi terbaik diri sendiri.
Mengenali emosi
Shainna menuturkan, selfawareness ( kesadaran diri) tumbuh dengan mengamati pemikiran, emosi, keyakinan, dan dialog dalam diri kita. Emotional awareness
( kesadaran emosional) merupakan aspek kunci kesadaran akan diri.
Billie sendiri mencobanya dengan menuangkan emosi lewat gambar dan tulisan ke atas kertas. Dalam jurnalnya, terkadang ada gambar seperti monster babadook, terkadang tulisan kerinduannya pada seseorang. Di beberapa bagian lain, ia menuliskan pikiran-pikiran yang terlintas saat depresi. “Ini ketika aku tidak sehat,” tuturnya kepada Rolling Stone.
Melatih mawas diri juga membantu kita mengembangkan self-care, kegiatan yang membantu merawat kebugaran mental dan fisik. Contoh, kemampuan menyadari rasa kewalahan saat bertugas membantu kita berpikir mencari bentuk self-care, seperti berjalan kaki sebentar ke luar rumah.
Upaya ini pula yang dilakukan Billie ketika lelah mental setelah menjalani tur panjang. Tumbuh menyenangi kuda, Billie kecil sempat bekerja di istal dekat rumahnya dengan imbalan diperbolehkan belajar naik kuda. Kini ia mengunjungi Jackie O, kuda kesukaannya sejak kecil hanya untuk melihat-lihat dan menenangkan hatinya. “Bukan hobi, hanya untuk kesehatan
mentalku,” kata Billie kepada Rolling Stone.
Shainna menggarisbawahi, perlu dibedakan mana yang self-care dan sepaket kebiasaan. Dimensi self-care mencakup pemenuhan kebutuhan fisik, kreativitas, spiritual, sosial, dan personal. Bentuk-bentuk kegiatannya pun berbeda tiap orang—melukis bisa jadi memenuhi kebutuhan kreativitas dan personal seseorang, namun tidak bagi orang lain.
Self-awareness juga merupakan kemampuan untuk mengenali siapa dirimu, bagaimana kamu memengaruhi dunia, dan bagaimana dunia memengaruhimu. Ketika memiliki kesadaran diri, kita akan lebih peka dengan pikiran, emosi, dan perilaku. Self-awareness membuat kita dapat melihat kekuatan diri seiring mengambil tanggung jawab akan diri sendiri.
Langkah ini yang coba diambil Billie untuk terus berkarya dan melanjutkan tur. Pada wawancara bersama Zane Lowe, Clobal Creative Director Apple dan host radio global Beats 1 ia menuturkan, depresi seperti mengontrol apapun di kehidupannya. Belum lagi kecenderungan emosinya pada melankolia.
Namun di tengah proses kreatif, muncul pemikiran bahwa menjadi musisi baginya amat membanggakan dan membuatnya ingin berkarya total. Rasa depresi dan rasa tidak menyukai diri sendiri, diolahnya jadi lagu yang ia harap bisa membuat para penggemar—yang banyak dari kalangan remaja dan prepubescents— tidak merasa sendiri, dan merasa lebih baik. “Sehingga anak-anak (remaja) menggunakan laguku layaknya pelukan,” tuturnya.
Menajamkan self-awareness, tutur Shainna, juga bisa dengan intensionalitas. Berintensi, atau meniatkan diri, meliputi mau menjadi lebih baik, lebih reflektif, dan tidak bersikap terlalu keras pada tiap emosi yang muncul.
Intensionalitas sejalan dengan mindfulness, momen kesadaran saat kita membawa perhatian penuh pada apa yang tengah dilakukan. Distraksi sehari-hari terkadang menyulitkan kita mempraktikkan self-awareness. Belajar mindful, tutur Shainna, membantu mengatasi kesulitan ini.
Kendati sederhana, peraih penghargaan Pete Ficshsen Humanitarian untuk bidang konseling ini mendapati praktik mindfulness terus-menerus mampu mengurangi gejala post-traumatic stress disorder pada veteran dan gejala stres negatif pada pasien kanker. Risetnya akan praktik mindful sehari-hari mendapati manfaat akan meningkatnya kemampuan memori, empati, mengatasi stres, dan mengambil
keputusan.
Resep bahagia
Ketika self-awareness sudah kuat, self-exploration menjadi opsi selanjutnya. Self-exploration sejatinya berupa kemauan untuk mendalami dan belajar tentang diri sendiri, dalam upaya untuk menjadi orang yang lebih baik lagi.
Shainna menuturkan, wajar bila terkadang self-exploration terasa sulit. Sebab, di satu titik, bisa jadi kita lupa apa harapan dan mimpi ke depan. Bisa jadi pula pada orang dengan anxiety disorder, karena tengah fokus pada saat ini, dan mencoba menjalani hidup pelanpelan, hari ke hari.
Namun di sisi lain, pemicunya bisa jadi karena kita menghindari memikirkan masa depan. Entah karena membuat kewalahan atau memunculkan rasa takut yang terpendam, baik takut kecewa, takut gagal, takut terluka, dan lainnya. Atau, berpikir ingin mencapai sesuatu, tapi pikiran tersebut tidak konsisten dengan apa yang kita ucapkan dan kita perbuat.
Ketidakselarasan ini, jelas Shainna, memunculkan ketidakbahagiaan. Eksplorasi diri memungkinkan kita membawa masalah tersebut ke permukaan dan berlatih menyelaraskannya, meski respons eksternal bisa jadi belum sesuai kemauan kita. Kendati demikian, saat pikiran, perasaan, keyakinan, nilai, pengalaman, dan perilaku kita sejalan, konsistensi usaha memudahkan kita mencintai diri sendiri.
Konsistensi ini yang diupayakan Billie bersama ibunya agar tidak kembali ke titik yang ia takutkan. Ia sadar, di saat sendiri, ia terkadang kembali ke dalam pikiran-pikiran negatif.
Kita layak
Untuk mengatasinya, Billie mencoba terapi dengan tenaga ahli, kendati semula tak mendapat sosok yang ia harapkan—yang cukup mendengarkan saja. “Sulit, karena aku biasanya tidak akan melakukan
Peningkatan selfcompassion, kombinasi dari self-kindness, rasa kemanusiaan, dan mindfulness, memengaruhi turunnya gejala posttraumatic stress disorder (PTSD) dan dampak akan paparan trauma. Penelitian Sarah-Jane Winders dkk., Self-compassion, trauma, and posttraumatic stress disorder: A systematic review ( 2020)
sarannya,” tutur Billie.
Di sisi lain, ia berusaha membuang pikiran negatifnya pada terapi yang semula tak berjalan lancar. Billie takut, berpikir negatif terus-menerus akan membuatnya tidak dapat melihat cara lain untuk berpikir.
Kondisi ini terjadi saat ia kembali mengalami panic attack saat melakukan tur di Berlin yang hampir membuatnya mengakhiri hidup. Untuk mengatasinya, sang ibu mengondisikan waktu tambahan di antara setiap tur dan mengajak Zoe, teman kecil Billie, ikut di sepanjang tur.
Merawat self-esteem, tutur Shainna, dapat membantu memudarkan negative inner self talk yang dapat mengancam jiwa.
Self-esteem adalah bagaimana kita melihat nilai diri sendiri, serta bagaimana kita berpikir, merasa, dan bersikap akan penilaian diri itu.
Dibangun dari persepsi yang kita yakini akan diri sendiri, seseorang dengan self-esteem rendah cenderung menilai rendah dirinya, rentan pada stres, depresi, materialisme, insecurity dalam hubungan, dan coping mechanism (mekanisme mengatasi stres) yang tidak sehat.
Self-esteem sendiri juga merupakan faktor risiko berkembangnya gangguan kesehatan mental seperti gangguan makan, gangguan kecemasan, dan depresi. Fokus akan self-esteem perlu ditajamkan pada orang dengan masalah dan gangguan
mental karena saling berkait. Kondisi ini yang dialami Billie dengan body dismorphia yang rentan membuatnya merasa tidak pernah cukup bernilai.
Kendati negative inner selftalk bisa muncul sewaktu-waktu, Shainna menuturkan, afirmasi diri berulang bahwa kita berharga sebagai manusia, dan meminta bantuan support system seperti Billie ketika tendensi melukai diri sendiri muncul.
Merawat self-esteem sederhananya dengan menanamkan self-worth dalam diri. Shainna menekankan, laiknya manusia biasa, kita layak ( worthy) untuk diperlakukan dengan baik, dicintai, dihargai batasannya, dan sikap baik lainnya.
Shainna menekankan, self-worth tidak berakar dari posisi, jabatan, pencapaian, dan pengalaman.
Karenanya, ketika merasa kecewa karena perbuatan diri sendiri atau tidak mencapai sesuatu, cobalah bersikap baik pada diri sendiri ( selfkindness). Laiknya diperlakukan baik oleh teman, self-kindness membuat kita merasa dipedulikan dan divalidasi.
Praktik ini, tutur Shainna, menurunkan kecemasan, swakritik, penghindaran, stres, dan depresi. Self-kindness pada dasarnya merupakan keseimbangan yang kita upayakan antara mendedikasikan diri untuk pertumbuhan personal dan tetap memerhatikan kebutuhan kita untuk menerima diri yang tengah berproses, menyayangi diri sendiri, bersabar, memaafkan diri sendiri, dan bersyukur di sepanjang proses tersebut.
Upaya ini yang dicoba Billie dari waktu ke waktu dan diteruskannya pada para penggemarnya. “Ayo
bersabar. Aku bersabar. Aku tidak mengambil jalan terakhir itu,” tuturnya.
Bertumbuh
Menyadari nilai diri, tutur Shainna, membantu kita menerapkan self-respect. Pada dasarnya, self-respect adalah meyakini dengan rendah hati bahwa kita sama bernilainya dengan orang lain. Karenanya, selfrespect juga berarti mengenali dan menegaskan boundaries ( batasan) antara diri dan orang lain.
Shainna menggarisbawahi, selfrespect menjadi rambu-rambu yang melindungi kita dengan batasan diri yang dapat terbuka untuk terhubung dengan orang lain, dan menutup untuk menghindarkan diri dari bahaya.
Menumbuhkan kembali batasan dan fleksibilitasnya ini menjadi kian penting, dan menjadi pemicu utama, bagi orang yang tengah mengalami kekerasan domestik atau kekerasan di ranah profesional untuk menyelamatkan diri dan mencari pertolongan. Sebab, mengupayakan self-respect membantu kita mengenali bahwa kita tidak bisa diobjektifikasi.
Shainna mengingatkan, dari waktu ke waktu, orang di sepanjang hidup kita akan terus mengetes batasan diri kita. Perundung kerap memilih melukai orang yang mereka yakini rapuh. Kendati tidak mudah, self-respect membantu kita untuk mencari cara mengatasi perundung sehingga mereka melihat batasan diri yang jelas pada diri kita dan tidak bisa—atau menahan diri untuk tidak— menerabas lagi.
Aral melintang
Self-love merupakan perjalanan berkesinambungan yang membuat kita mengakui selalu ada ruang untuk berkembang, selalu ada kesempatan untuk belajar dan bertumbuh. Karenanya self-growth, tutur Shainna, merupakan proses berkelanjutan dalam mencari kesempatan untuk belajar, mencintai, dan berkembang, dengan semua kejadian baik-buruk yang sudah atau tengah kita alami.
Di tengah proses, akan ada setback yang membuat kita mempertanyakan kembali gol kita, dan apakah masih penting. Terkadang, aral melintang ini mengggulung laiknya bola salju ke berbagai aspek personal dan profesional kita.
Memprediksi setback, tutur Shainna, membuat kita lebih siap secara mental. Di sisi lain, kendala terus-menerus bisa jadi pertanda bahwa bisa jadi ada pendekatan kita yang perlu diubah. Pada akhirnya, merefleksikan diri dapat membantu kita mengenali aspek self-love mana yang kuat dalam diri, dan area mana yang butuh pengembangan.